Pesan Singkat
Oleh: Ayu Candra Giniarti
Kelas ramai! Guru belum datang, tentu saja. Bukankah itu suatu yang biasa? Dia melempar senyum kepadaku, aku membalasnya. Tetapi satu detik berlalu, dia mengejekku. Selalu begitu. Entah itu tentang sepeda motorku, atau tentang kawat gigi teman sebangku-ku.
Ada apa dengan sepeda motorku? Hanya dia yang tahu. Suatu hari, dia melihatku berjinjit bahkan sedikit melompat saat menaiki sepeda motor, saat pulang sekolah. Ya, tubuhku memang mungil. Tetapi dia baik, bukan menertawakanku. Dia menolongku, saat aku hampir saja terjatuh. Untung saja beberapa orang yang berada di parkiran sekolah itu, tidak memperhatikan kami.
Dengan senyum usilnya, dia berkata, “Tahu nggak kenapa motor Ana diceperin? Rodanya diganti yang kecilan!” tanyanya pada Vio, teman sebangku-ku.
“Kan biar keren. Gitu ya, Na. Kamu nggak gaul sih, Lan!” jawabnya percaya diri.
“Hahahaha …! Keren apaan!”
Mulutnya kubungkam! Aku kesal sekali. Lagi-lagi Alan mengejekku. Kenapa dia menolongku kalau akhirnya tetap mengejekku seperti ini. Mengesalkan!
“Eh, Vio! Tuh ada cabe di kawat gigi kamu.”
Alan mulai usil lagi. Kali ini Vio yang kena. Dengan sigap, Vio mengeluarkan cermin kecil dari tas nya. “Mana? Nggak ada kok!” kata Vio, mulutnya masih terbuka memperlihatkan jejeran kawat gigi yang rapi.
“Eh, bukan. Aku salah lihat. Aku kira cabe, ternyata warnanya emang merah ya. Hahaha …!” Alan tertawa puas.
“Ih … kamu kok gitu sih, Lan.” Wajah Vio muram, sudah pasti dia kesal.
“Maaf maaf, bercanda. Maaf ya.” Kali ini Alan terlihat tidak enak hati pada Vio.
“Salah sendiri, suka ngejek! Vio kan nggak bisa digituin,” batinku kesal.
Kami kembali tertawa, saat Adi masuk kelas setengah berlari. Dia hampir terjatuh tersandung keramik yang lebih tinggi satu sentimeter di pintu. Suara riuh sekejap hilang, Pak Guru sudah datang.
Aku membuka tasku, entah kenapa aku menoleh ke kanan. Menatap seseorang yang duduk di samping jendela kelas seberang. Senyum simpul terpaut, hati berbunga-bunga dibuatnya.
Sekian jam berlalu, bel istirahat berbunyi nyaring. Banyak yang berhambur keluar. Aku masih bercanda dengan Alan, Adi dan Vio. Kami bermain tebak kata. Yang kalah terkena pukulan buku yang digulung. Tidak keras, mana berani Alan dan Adi berbuat seperti itu. Mereka memang usil, suka mengejek, tetapi hati mereka baik. Tetap saja pukulannya pelan, hanya gayanya saja yang berlebihan! Huh!
Aku terlalu asyik bermain, tiba-tiba mataku terpaut lagi dengan seseorang di seberang kelas. Dia melambaikan tangan dan memintaku menemuinya. Aku malas, tetapi mau tak mau aku keluar kelas dan berjalan ke arahnya.
“Bentar ya, aku mau ke situ!” jariku menunjuk kelas itu.
“Pacaran teruuus!” ejek Adi.
Entah kenapa, aku lebih fokus pada senyum Alan. Dia tampak tak biasa saat itu. Senyumnya sangat terpaksa. Aku yakin, dia tak menyukai ini. Mungkin karena kami sedang asyik bermain tadi. Karena tak mungkin Alan suka padaku, kan.
***
“Aku nggak suka lihat kamu deket-deket sama Alan!” tanpa basa-basi Fadil langsung mengutarakan rasa tidak sukanya pada Alan.
Entah kenapa, aku tak bisa menjawab apa pun. Aku hanya mengangguk, dan mulai obrolan lain untuk mencairkan suasana yang sempat menegang.
Setelah Fadil berkata seperti itu, aku seperti sulit bergerak. Mungkin Alan merasakan itu. Aku tertawa lepas, tetapi begitu Alan mendekat, aku menghindar. Aku tersenyum dan melirik ke arah jendela. Ah! Bodohnya aku! Tentu saja semua akan tahu jika gerak-gerikku seperti itu.
Jam istirahat kedua pun berbunyi. Kali ini Fadil yang datang ke kelasku. Alan langsung pergi menghindar. Aku melihatnya, menoleh padaku sebentar. Aku hanya bisa tersenyum. Ah, entahlah. Aku merasa tak enak pada Alan.
Aku senang saat Fadil ke kelasku. Setidaknya, dia memperlihatkan bahwa dia ingin menunjukkan dialah kekasihku. Namun, aku tak bisa tertawa lepas saat bersamanya. Kata orang, di depan pasanganmu pasti akan ada rasa jaim dan ingin menunjukkan sisi baik kita pada pasangan. Apa benar begitu? Kalau begitu, bisa jadi pasangan kita hanya mencintai kelebihan kita. Belum tentu dia bisa menerima kekurangan kita. Begitu, bukan.
Ah, aku mulai tidak nyaman dengan situasi seperti ini. Aku seperti bukan menjadi diriku seutuhnya. Sedangkan jika bersama Alan, aku bisa tertawa lepas. Aku merasa nyaman bersamanya. Eh, ini bukan cinta. Aku hanya sedang menyimpulkan perasaanku saja. Ya, mudah-mudahan hanya begitu.
***
Hari sudah berganti, aku masih di kelas yang sama. Mungkin dia juga masih memperhatikanku dari jendela. Aku seperti mempunyai mata-mata saja. Akhirnya aku bertekad, bersikap biasa saja seperti dulu. Aku memang tidak ada apa-apa dengan Alan. Fadil hanya cemburu berlebihan saja.
Namun semakin hari, aku semakin nyaman bercanda dengan Alan. Sebenarnya bukan hanya Alan yang ada di dekatku saat itu. Ada Adi dan Vio. Tetapi entahlah, aku hanya menyimpulkan perasaanku saja. Mungkin karena kami terlalu dekat saat bercanda. Bahkan saat kami terdiam, ada rasa janggal. Aku salah tingkah, saat merasa ada dua mata mengamatiku dari dekat. Bukan dari jendela itu. Bukan.
Aku menoleh ke kanan. Alan berkata lantang sambil berkacak pinggang, “Apa lihat-lihat!”
“Ih, siapa yang lihatin kamu sih! Kamu tuh, ngapain lihatin aku dari tadi?” jawabku, berkacak pinggang juga.
“Ye … kamu kira, aku naksir kamu?!” balasnya.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu membuang muka.
Dari arah jendela Fadil memasang mata tajam, bagai elang yang siap menerkam.
“Ah sial!” aku tertunduk.
***
Setelah kenaikan kelas, Alan tak pernah lagi satu kelas denganku. Aku juga masih menjadi kekasih Fadil. Ya, mungkin Alan pun sudah punya dunia sendiri. Saat aku tak lagi bersama Fadil, aku sempat mendengar dia punya kekasih. Baguslah, meskipun saat mendengar berita itu ada rasa kesal dalam dadaku. Aku tak tahu, aku hanya tak suka mendengarnya.
Enam tahun berlalu, aku tak pernah bertemu Alan. Namun cepat atau lambat Allah akan memberi gambaran yang jelas tentang takdir kita, takdirku dan Alan. Ya, melalui sebuah pesan singkat yang berlanjut berbalut rindu. Kenangan lama tak kuasa dipendam terlalu dalam. Semua mencuat, melompat dari hatiku ke hatinya, begitu juga sebaliknya. Bermuara pada kesungguhan menjalin hubungan.
Hai, apa kabar?
Ini siapa ya?
Ana.
Hai, sahabat kecilku! Lama banget nggak ngobrol ya, kita.
Iya. Kamu apa kabar, Lan?
Baik. BTW, ada yang marah nggak kalau kita ngobrol gini?
Ada. Fans aku! Banyak!
Haha …. Kamu masih sendiri, Na?
Pertanyaan apa ini. Entah kenapa, aku merasa ada getaran di dadaku. Aku menarik napas, dan membalas lagi pesan darinya.
Iya. Kamu masih sendiri juga?
Iya. Masa sih cewek cantik kaya kamu nggak ada yang punya?
Ya, aku ngerasa udah bukan saatnya aja main-main.
Aku nggak main-main. Aku serius! Mau nggak jadi pacarku?
Aku maunya ada yang ngajakin nikah. Bukan pacaran. Kaya anak ABG aja pacaran!
Besok aku kenalin kamu ke orangtuaku.
Ih mau ngapain?
Ya, ngenalin calon istrilah!
Jangan bercanda deh, Lan!
Aku serius!
Berawal dari pesan singkat, aku memulai semua dengan Alan. Allah mengemasnya apik, menumbuhkan rasa yang dulu mungkin pernah ada.
Ayu Candra Giniarti, menulis menggunakan rasa, menjelma melalui kata. Berharap tulisannya bisa dinikmati pembaca.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata