MUS

MUS

MUS
Oleh: Fitri Fatimah

Aku menangis memandangi gundukan kecil tanah yang masih basah, meratapi yang namanya sekarang tertera di balok yang tertancap di atasnya: Mus.

Mus adalah kucing berkelamin jantan yang menjadi peliharaanku.

Aku masih ingat betapa menggemaskannya dia. Berlari ke sana kemari mengejar gulungan benang wol, kadang sampai terbelit dan tak bisa melepaskan diri. Aku masih ingat warna hijau matanya yang entah bagaimana seakan menyorotkan sinar kepintaran, lehernya yang sering dia garuk-garukkan ke kakiku, serta warna hitam legam bulunya. Mama awalnya tidak setuju aku memelihara Mus, katanya kucing dengan warna seperti itu adalah kucing pembawa sial.

Aku tidak percaya. Kubilang itu hanya takhayul.

Tepat saat aku bangkit dan berniat melangkah pergi, pandanganku sekilas tertumbuk pada sosok laki-laki yang sedang berdiri menyandar di pohon besar. Aku tak bisa mengalihkan mata. Bukan hanya karena postur tubuhnya yang seperti model, atau pakaiannya yang serba mencolok: celana dan jas berwarna merah tua dengan kemeja hitam di baliknya. Perpaduan warna yang agak menggangguku karena tiba-tiba membuat aku ingat pada Mus dalam genangan darah di aspal. Iya, Mus korban tabrak lari. Tetapi hal yang paling menggangguku dari laki-laki asing ini adalah bibirnya. Entah sungguhan atau tidak, aku tidak begitu yakin karena di samping jarak kami yang lumayan jauh, juga kacamata hitam yang dia kenakan, tapi aku merasa bahwa dia sedang tersenyum padaku. Bukan senyum menggoda ataupun mencibir—aku akan memaklumi kalau dia mencibir, mengingat wajahku pasti terlihat bengkak seperti habis direndam di minyak tanah—tapi senyum yang menabahkan, senyum yang penuh dukungan seakan berkata, “Ayo semangat!”

Aku mengedipkan mata, bingung.

Ah, pasti aku hanya salah lihat. Lebih baik aku segera pulang.

#

Keesokan hari dan keesokan-keesokan harinya lagi, laki-laki itu terus muncul, tepat di tempat pertama kali aku melihatnya. Dan masih dengan setelan baju dan tingkahnya yang sama.

Aku penasaran ingin bertanya apa yang dia lakukan di situ, apakah dia sungguh tersenyum padaku, apakah senyum penuh arti itu memang berarti sebuah dukungan, apakah—kalau memang begitu—dia memang mengerti apa yang sedang kualami, bahwa aku sedang kehilangan.

Aku penasaran. Dan anehnya, selain ingin mengetahui  jawaban-jawaban itu, aku juga mulai dipenuhi rasa penasaran untuk mengetahui tentang dirinya.

#

Ini adalah hari kesekian di pusara Mus. Dan masih seperti biasa, dia ada di sana, dengan segala kebiasaan yang biasanya.

Kali ini ketika aku menatap senyumnya, aku tidak bisa tidak untuk balas tersenyum. Bibirku yang rasanya sudah lupa bagaimana cara tersenyum sejak kematian Mus, mulai berkedut canggung, membentuk sebuah lengkungan ke atas. Entah apa pun niatnya selama ini, kurasa dia sudah berhasil mengangkatku dari lembah kesedihan. Dan kurasa, ada yang mulai berdebar-debar di dadaku.

#

Hari ini aku sudah mengumpulkan keberanian. Aku akan menghampirinya, aku akan menyapanya, aku akan … pokoknya aku akan tidak hanya diam.

Sesampainya di sana, aku tidak melihat siapa-siapa. Apakah dia datang terlambat hari ini?

Aku menunggu dan terus menunggu. Tetapi Hingga langit menggelap, ternyata yang kutunggu tidak juga datang.

#

Keesokan harinya aku kembali ke tempat biasa, dengan tekad yang jauh lebih bulat. Aku mulai menyesali kenapa tidak dari kemarin-kemarin aku punya tekad ini. Kenapa aku menyia-nyiakan waktu.

setibanya di sana, aku harus kembali menelan kekecewaan.

#

Dia tidak datang lagi.

#

Dia tidak datang lagi.

#

Dia masih tidak datang.

#

Ini sudah hari keberapa dia tidak datang? Aku lelah menghitung hari. Lebih lelah lagi ketika mendapati lembah gelap yang kupikir sudah hilang kini kembali datang menggelayutiku. Hah, memangnya siapa dia? Kenapa aku harus merasa seakan aku sedang kehilangan ketika aku bahkan tidak mengenalnya, Ketika aku bahkan tidak tahu siapa namanya.

Ada yang remuk redam di dadaku. Ia menjelma genangan yang lalu tumpah di pipi.

Mungkin sudah jadi takdirku untuk tidak memiliki siapa-siapa. Ketika aku memiliki Mus, dia pergi. Ketika … ah, iya! Aku belum memilikinya, aku belum sempat memilikinya. Dan mungkin inilah alasan kenapa rasanya lebih sakit, sebab aku belum tahu bagaimana rasanya memiliki dia.

Sebuah usapan lembut di bahu tiba-tiba mengagetkanku. Aku mendongak dan tergeragap tak percaya. Di sana, dia berdiri tepat di sampingku.

Aku punya sejuta pertanyaan dan pernyataan yang ingin kulontarkan padanya: Siapa dirimu yang sebenarnya? Ke mana saja akhir-akhir ini?

Jangan pergi, kumohon. Hatiku sudah jadi milikmu.

Tapi sebelum sempat aku mengeluarkan sepatah kata, dia membuka kacamata hitamnya, memperlihatkan sepasang mata yang tampak familier bagiku, sepasang mata berwarna hijau yang menyorotkan sinar kepintaran.

Dia tersenyum lalu berbisik, “Aku Mus. Aku kembali.”

 

Fitri Fatimah, kelahiran Sumenep, suka membaca dan mencoba menulis. Terhadap hal-hal penting ia selalu berkata nanti. Kebiasaan buruk.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply