Bleeding

Bleeding

Bleeding
Oleh: Dyah Diputri

Sudah sebulan aku tinggal di kota Cincinnati. Ketika seorang wanita berkulit putih, berambut pirang, dan bermata teduh membawaku ke rumahnya. Sebuah hunian minimalis di tepi kota yang jauh dari hiruk-pikuk manusia.

Jennie, wanita itu memperlakukanku dengan lemah lembut. Sama seperti caranya bersikap manis kepada suaminya, Edwin. Maka, aku pun berjanji akan selalu membantunya. Ya, meskipun tak banyak yang bisa kulakukan, setidaknya aku ada saat ia benar-benar membutuhkanku.

Setiap hari aku menemani Jennie memasak di dapur. Melihat tingkah konyolnya saat berhadapan dengan sayuran, buah, dan thousand island; roti gandum dan alat pemanggangnya; oat dan selai di botol yang masih tertutup segelnya. Ia sangat tidak berpengalaman mengerjakan pekerjaan rumah tangga di bagian ini. Kikuk, tidak bersih, dan cenderung gagal mengeksekusi bahan makanan. Lucunya lagi, ia seperti takut aku mencibirnya ketika potongan daging tidak sesuai dengan arah serat. Padahal kehadiranku adalah untuk meringankan pekerjaannya.

Dalam hati aku menertawakannya. Menikah di usia muda … lucu sekali! Kau bahkan tak tahu bagaimana caranya membersihkan selada, Jennie!

Namun, Jennie tak pernah berputus asa. Diusapnya keringat yang menetes di pelipis, lalu kembali mengulang resep yang terpampang di ponsel pintarnya.

“Sayang, ini masih tidak enak rasanya!”

“Keasinan!”

“Masih mentah, Jenn!”

“Oh, God! Kapan kau bisa memasak dengan benar?”

Aku mendengar Edwin mengeluh setiap kali sajian Jennie tak berhasil atau mungkin tidak sesuai dengan seleranya. Hari demi hari Jennie terus mencoba agar bisa memuaskan sang suami, tapi hanya celaan yang didapat. Lalu, setelah pria sebaya dengan Jennie itu membanting pintu dan berlalu dengan motornya, Jennie masuk ke dapur. Dibuanglah semua menu yang masih hangat ke tong sampah kemudian ia terduduk di lantai dapur. Terdengar menangis sesenggukan.

Aku bisa apa? Aku tak tega. Namun ….

***

Bulan kelima di rumah Jennie. Tak seperti biasanya, wanita itu kelihatan malas. Entah karena bosan mendapat penghinaan, ataukah karena efek mual-mual di setiap awal hari. Kulihat ia semakin jarang bertandang ke dapur. Hanya sepintas lalu melewatiku, menebar senyum kecut, lalu duduk melamun di kursi. Badannya semakin kurus, tapi perutnya malah membesar.

Sementara Edwin jarang pulang ke rumah. Beberapa kali lelaki itu pulang dalam keadaan mabuk. Diantar wanita lain pula. Kemudian saat pagi menjelang, teriakannya terdengar garang, nyaring memaki-maki Jennie.

“Kenapa kau harus hamil? Aku mulai bosan hidup denganmu!”

“Jadi benar … kau selingkuh dengan wanita itu? Teganya kau!”

“Hei, diam! Gracie lebih cantik dan elegan dibanding dirimu! Kau tahu? Dia pun pandai memanjakan lidahku. Tak seperti kau, Wanita bodoh!”

Edwin kembali membanting pintu depan. Melesat. Tersisa tangisan Jennie yang tak henti-henti.

Hingga malam wanita itu tak makan. Langkahnya gontai menuju dapur hanya untuk meneguk air putih. Aku melihat sembap yang tampak jelas di matanya. Namun, lagi-lagi ia tersenyum memandangku.

Sekali lagi aku mencoba bersuara, “Jennie, kau harus kuat! Demi satu nyawa di dalam perut buncitmu!”

Jennie bergeming. Ia pasti lelah dengan masalahnya. Bukannya pernikahan impian yang dijalani, melainkan kesengsaraan.

Tangannya kembali membelaiku lembut. Entah mengapa aku jadi takut. Takut jika wanita itu benar-benar menyerah.

Terdengar teriakan seseorang di depan sana. Memaksa membuka pintu yang terkunci, suaranya membuat Jennie melepaskanku.

Jennie tergopoh-gopoh membuka pintu. Ternyata Edwin datang. Tidak sendiri. Bersama seorang wanita cantik berpakaian seksi, yang pria itu gamit pinggangnya. Mesra sekali.

Jennie menampar pria berengsek itu. Namun, pria itu balik menampar. Kasihan Jennie, tubuh ringkihnya limbung ke lantai. Bersamaan dengan itu, kulihat darah dari selangkangan mengalir membasahi betisnya yang seputih salju.

Edwin melenggang ke kamar bersama wanita simpanannya, meninggalkan Jennie yang tak berdaya.

“Bangun, Jennie. Kutahu kau kuat!” pekikku.

Jennie bangun walau mimik wajahnya meringis kesakitan. Ia terseok-seok menuju kepadaku.

Aku …
Bukan kilau menenangkan
Bukan pelukan menghanyutkan
Bukan jua pertolongan yang kau butuhkan

Maka, jangan membelaiku
Ketika kau butuh
Jangan mengganggu
Jangan berseru

Aku …
Bukan tikam membunuhmu
Bukan goresan menyayatmu
Bukan gila membencimu

Maka, jangan menggodaku
Jangan cemburu
Jangan menunggu
Jangan menggelitikku

Aku bisa apa? Saat Jennie mengulurkan tangan untuk menyentuhku lebih sempurna, seolah-olah ia telah bisa menguasaiku. Kukira ia akan menyerah, tapi tidak!

Wanita itu lebih kuat dariku. Meskipun aku tak berani, tapi ia lebih hebat mengarahkanku. Meskipun aku benci melukai, nyatanya aku bahagia karena telah menghilangkan tangisannya.

Aku telah menolongnya. Menghapus segala gurat kesedihan di wajah sendunya. Meskipun dari kilauku harus ternoda darah dua nyawa berdosa, aku tak menyesal membantunya.

Keesokan harinya, Jennie mulai pandai memasak. Keren sekali gayanya.

 

Malang, 5 February 2019.

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna. FB: Dyah Maya Diputri. Email: dyahdiputri@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata