Api dan Dandelion [1]
Devin Elysia Dhywinanda
Prim membenci orang-orang Capitol. Ia tidak tahu kapan pastinya kebencian itu tumbuh, tetapi dapat dipastikan semua bermula jauh sebelum kebenaran orangtuanya terungkap, bahkan mungkin kebencian itu telah bercokol usai Capitol mendeklarasikan diri sebagai “tuan” yang mesti dilayani oleh 12 distrik di Panem. Ini seperti api. Prim sendiri tidak menolak dan justru membiarkannya berkobar, terutama setelah pihak sekolah menceritakan sejarah negara mereka: pemberontakan distrik-distrik terhadap Capitol, muda-mudi yang dikirim oleh masing-masing distrik untuk bertarung sampai mati di Hunger Games dan dikomersilkan tanpa memedulikan berharganya nyawa 24 orang, serta orangtuanya yang selamat dari permainan laknat ke-74.
Dulu, ia selalu bertanya alasan sang ibu tidak pernah bisa tidur nyenyak tanpa bantuan obat tidur atau morfin. Atau, mengapa wanita yang piawai berburu itu menangis sembari membuka buku yang amat tebal. Sayangnya, pertanyaan itu selalu menyangkut di tenggorokan sebab Prim terlampau takut menyuarakannya … takut Ibu akan marah, mengamuk, dan akhirnya menangis di pelukan ayahnya.
Lalu, pria berahang tegas itu—yang mata hitamnya selalu bersinar tiap menceritakan Ibu, persis seperti Ayah—datang di musim gugur. Mereka duduk di lapangan luas yang berbatasan dengan hutan. Gale, pria itu, menceritakan banyak hal, seperti ia yang dulu melanggar batas wilayah dan berburu kijang di hutan; para remaja Distrik 12 yang mesti membanting tulang di tambang; pertemuannya dengan ibu Prim yang juga terjadi di hutan.
“Paman kenal baik dengan Ibu?”
Gale tersenyum tipis. “Sangat, sangat baik.”
Kala itu, Prim menanyakan seperti apa ibunya di masa muda, apakah ia banyak tersenyum meskipun hidup bersama hutan, dan apakah ia dapat tidur tanpa menelan obat-obat sialan itu. Mendung turun di mata Gale dan tiba-tiba pria yang tangannya penuh bekas luka itu mengusap rambut Prim seraya berkata, “Ibumu punya banyak luka … terlalu banyak sampai untuk sepenuhnya bangun pun sulit.”
Prim belum menanyakan seperti apa luka yang tertoreh hingga ibunya menjadi sedemikian rusak, tetapi ia diam dan membiarkan Gale datang tiap musim gugur—mengajarinya berburu serta memanah sambil sesekali menanyakan kabar Ibu atau mencuri pandang ke kawasan rumah Prim—hingga guru kelasnya mengisahkan sejarah itu. Orang-orang bersorak, menyanjung orangtuanya sebagai legenda karena menjadi satu-satunya pasangan perwakilan distrik yang selamat, tetapi Prim justru tertegun sambil berpikir, semengerikan apa yang keduanya alami? Seberapa banyak malam yang mereka lewati dengan gelisah, memikirkan langkah terapik agar tidak tertombak atau dicabik-cabik saat terlelap? Seberapa sering mereka melihat kematian orang-orang, bahkan teman mereka sendiri?
Hari itu, Prim mengetahui alasan ibunya nyaris seperti orang gila ketika mengandung sang adik. Setelah sekian lama, Prim menyadari bahwa lagu yang dinyanyikan Ibu tiap menjelang tidur—yang disuarakan sembari memegang tangan kecil Prim erat-erat, seolah sang sulung bakal hilang kalau dilepas sedetik saja—adalah bukti bahwa permainan itu mengubah Ibu sepenuhnya hingga ia hidup dalam ketakutan … bahwa suatu hari kebahagiaan dan orang-orang tersayangnya bakal direnggut. Lagi.
Musim gugur selanjutnya, Prim, dua belas tahun, bertemu Gale dan mendengar kronologi lengkapnya. Ia kehabisan napas di akhir cerita, sedangkan Gale menatap langit sambil berkata, “Pemerintah yang baru memberikan pilihan bagi para pemenang Hunger Games untuk membuat Hunger Games yang mengikutsertakan anak-anak Capitol. Kupikir, setuju adalah alternatif terbaik … tetapi banyak hal terjadi dan kita sepakat untuk berdamai.”
Dunia tidak lagi sama di mata Prim. Ia pulang dengan kepala pusing, berbaring di kamar sambil mengingat perkataan Gale, “Prim, aku berusaha menerima dan meyakini bahwa ibumu jadi begini bukan hanya karena perbuatan Capitol, tetapi juga rencanaku yang tidak sengaja menewaskan adiknya. Tapi, ini sulit. Aku tidak bisa melakukannya … bahkan jika diberikan umur panjang oleh Tuhan.”
Hari itu, Prim sedikit-banyak mengamini pernyataan Gale terkait memaafkan dan balas dendam.
*
Ayah Prim serupa dengan aktivitis kemanusiaan. Pria berambut pirang itu kerap diundang Walikota untuk dimintai saran terkait rencana distrik mereka ke depannya. Ia juga suka menceritakan konsep kemanusiaan, perbedaan perspektif, kesalahpahaman, dan kasih sayang … termasuk welas asih terhadap pihak musuh. Finn, adik laki-laki Prim yang terobsesi dengan bunga hingga jendela kamarnya yang menghadap matahari terbit dipenuhi bunga dandelion, selalu mendengarkannya dengan khidmat. Prim sendiri tidak suka berpura-pura. Ia tahu persis “welas asih” yang dimaksud Peeta dan tidak tertarik untuk melakukan hal serupa.
Mereka sudah merusak banyak hal, termasuk ibunya, jadi buat apa mengasihani para pendosa itu?
Musim dingin ketika Prim berumur 16 tahun, sekelompok orang dari Capitol melakukan gerakan bawah tanah. Mereka menyusup ke Distrik 2—pusat produksi senjata—dan Distrik 3—yang mayoritas penduduknya adalah ahli mesin; menyabotase beberapa pabrik besar; menyerang gedung pemerintahan kedua distrik tersebut. Pergerakannya tenang dan berani, tetapi belum cukup cerdas hingga mampu melakukan konfrontasi dengan tiga belas distrik lainnya.
Gerakan tersebut dapat diredam dua hari kemudian. Namun, langkah preventif mesti dilakukan.
Pagi itu, Pemerintah meminta orangtuanya pergi ke Distrik 2. Orang-orang bersenjata datang. Prim memeluk Finn yang ketakutan.
Keduanya pergi selama seminggu. Selama itu, beberapa kenalan serta orang-orang Balai Kota silih-berganti menemani Prim dan Finn. Tidak ada kabar yang datang dan itu membuat Prim berdoa agar keduanya tidak lagi diterjunkan dalam perang hingga berakhir menderita. Beberapa isu merebak tentang probabilitas dari pertemuan darurat tersebut, salah satunya adalah hukuman Hunger Games bagi rakyat Capitol, dan Prim justru amat senang jika kabar burung itu menjadi kenyataan.
Namun, hal yang berbanding terbalik justru muncul di hari kelima, ketika Pemerintah mengeluarkan maklumat bahwa Capitol harus membayar ganti rugi atas kerusakan di Distrik 2 serta 3 dan mendapat pengurangan pasokan impor dari distrik-distrik lain. Keputusan ini disambut baik hingga mereka menyatakan bahwa tidak akan ada Hunger Games bagi rakyat Capitol.
Prim—dan mungkin jutaan orang lain—tertegun amat lama ketika menyaksikan siaran langsung tersebut. Peeta naik ke podium, kembali menceritakan konsep yang selama ini ia pegang teguh. Ada sorakan persetujuan. Ada banyak cemoohan serta makian. Lalu, tiba-tiba ada suara tembakan; Peeta yang terjatuh dari podium; ibunya yang histeris.
Kepanikan massa. Siaran yang diputuskan tiba-tiba. Seorang anak yang merasa takut dan panik luar biasa.
Prim tidak bisa tenang dan terus bertanya-tanya alasan ayahnya mengambil keputusan sedemikian kontroversional. Capitol menciptakan banyak luka serta sejarah kelam, jadi buat apa membela mereka dan berakhir dibenci banyak orang? Buat apa bersikap sok manusiawi jika kenyataannya dunia tidak selalu menghargai kemanusiaan?
Prim ingat pernyataan Gale … juga sinar matanya. Lalu, ia berpikir, apakah ibunya akan memilih mengadakan Hunger Games seandainya bersama dengan Gale?
Orangtua Prim pulang dua hari kemudian. Peeta mendapat luka di bahu. Tangan Ibu diperban karena berulang kali meninju si penembak. Sedangkan, Prim merasa ada jarak yang jauh antara ia dengan Peeta.
Prim masih menyukai masakan Peeta, tetapi tidak bisa duduk diam mendengarkan Peeta bercerita. Ia bukan tipe orang yang bisa berpura-pura menyukai apa yang ia benci, tetapi juga tidak bisa mengatakan ketidaksetujuannya pada pemikiran Peeta. Oleh karena itu, Prim memilih diam, mengerjakan sesuatu di luar sana, sembari menutup telinga bila masyarakat Distrik 12 bergunjing perihal pidato Peeta beberapa waktu lampau.
Semestinya, Ayah tidak perlu bertindak sebodoh itu demi hal utopis bernama perdamaian … Ayah tidak pantas dibenci banyak orang.
Sore itu, tatkala memandang salju sembari menghitung sisa waktu menuju musim gugur, Prim dikejutkan oleh kedatangan Peeta yang tiba-tiba. Senyumnya punya pemantik kehangatan tersendiri sebelum pria berwajah kotak itu berkata, “Hei, Putri Ayah … semisal kamu nakal lalu Ayah memukulmu, apa yang kamu lakukan?”
Prim mengernyitkan dahi. Menyusun jawaban. “Aku akan marah, tentu.”
Peeta membelai helai cokelat pohon Prim sambil berkata lembut, “Kau benar, semua orang pasti akan marah bila diperlakukan seperti itu. Tapi, bagaimana jika mereka tidak hanya marah tetapi juga balik membalas perbuatan sang pemukul? Bagaimana pula bila si pemukul juga merasa tidak terima dan balas memukul mereka? Prim, kau bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya, ‘kan?”
Prim mengerjapkan mata. Memahami. “Tidak akan ada yang berhenti memukul.”
Angin musim dingin berembus kala Peeta membalas, “Benar, Prim, pertengkaran itu tidak akan berhenti bila salah satu pihak tidak mengalah … dan kau tahu apa yang lebih menakjubkan? Pertengkaran itu tidak akan terjadi andai Ayah dapat mengontrol emosi dan meluruskan kesalahanmu.”
Prim terdiam. Normalnya, ia akan menjauh, berdalih hendak melakukan beberapa hal. Namun, yang terjadi adalah ia tetap duduk di teras rumah. Kali ini mendengarkan cerita Peeta.
“Hunger Games adalah permainan terburuk. Orang-orang saling bunuh agar menang. Mereka yang dapat kawanan akan menghabiskan malam dengan tidur nyenyak, sedangkan yang sendirian bakal mencari tempat teraman untuk terlelap … lalu mati,” Iris biru itu bergerak acak, “aku pernah mengalaminya dan tidak berharap teman-temanku, anak-anakku, orang lain … merasakan hal serupa. Sejarah memberikan kenangan buruk bagi kita, tetapi bukan berarti turut andil melukiskan masa depan kelam bagi generasi kita. Mereka, yang tidak tahu kesalahan masa lalu, tidak sepatutnya dijadikan ajang balas dendam … karena itu akan membuat mereka menjadi mesin kebencian selanjutnya.”
“Tapi, Capitol kembali memberontak, Ayah. Bila dibiarkan, sejarah itu akan terulang … kenangan buruk itu.”
Peeta membetulkan posisi kaki bioniknya.
“Sekitar seratus tahun lalu, sekelompok orang berkumpul di Capitol dalam jajak pendapat pengadaan Hunger Games yang pertama. Coba pikirkan, Prim, bila saat itu mereka mau menahan pukulan dan memberikan kesempatan bagi distrik-distrik di Panem—jika mereka sudi memberikan kita kehidupan—akankah kekacauan ini terjadi?”
Peeta merapatkan jaket.
“Itulah kesalahan terbesar kita: menjadi egois. Dan, tidak seharusnya kesalahan seperti itu terjadi di masa depan. Capitol butuh berbenah. Mereka kadang melakukan kesalahan, tetapi bukan berhati kehilangan kesempatan.”
Peeta bangkit seraya mengusap rambut panjang Prim. “Kita hidup, Prim … dan tidak ada salahnya membiarkan orang lain hidup seperti kita.”
*
Hari itu, Prim merenung sambil memandangi padang rumput yang kala itu dipenuhi salju. Ia mengingat banyak hal dan berpikir, konsep manakah yang ia setujui? Benarkah memaafkan menjadi alternatif terbaik agar perang tidak lagi terulang? Jika iya, adilkah pilihan itu bila dilihat dari perspektif orang-orang yang menderita berpuluh-puluh tahun atas keegoisan Capitol?
Prim melihat ibunya yang tersenyum sambil membaca buku besar berwarna merah hati. Gadis bermata biru menimbang sejenak, lalu beringsut mendekat. Ibunya kentara terkejut, tetapi ia tersenyum sambil mengisyaratkan agar Prim duduk di sampingnya.
Prim melihat buku itu. Penuh tulisan kasar. Juga foto. Ada keterangan kecil di bawahnya dan Prim sedikit terkejut ketika membaca salah satunya: Primrose Everdeen.
Primrose. Itu namanya.
“Ini adikku. Namanya Primrose Everdeen, sama seperti namamu. Aku secara langsung melihatnya hancur bersama bom kedua yang dijatuhkan para pemberontak. Itu bayangan yang sangat sulit dihapus, sama seperti Rue yang ditombak Marvel atau Finnick yang mati dimakan mutt[2].” Ibu diam sebentar. “Orang-orang berkata ini akan mudah jika aku rela melepaskannya pergi dan sebagainya, tetapi bahkan jika diberi kesempatan untuk kembali, aku akan memilih menyelamatkan Prim. Mereka.”
Prim mendengarkan khidmat. Ibunya memandang lanskap putih dari balik jendela rumah mereka.
“Inilah permainan sesungguhnya, Prim. Kau akan dihantui bayangan buruk ini sepanjang hidupmu. Dia tidak akan berhenti kendati kau memutuskan untuk balik menyiksa orang-orang itu. Seperti rasa haus, tidak habis-habis, dan kau tiba-tiba mati menderita. Aku pernah mencobanya dan itu tidak menyenangkan. Akan lebih baik jika kau langsung mati terbakar atau tertombak, tetapi tidak. Aku hidup.”
Ibunya menghela napas. Berhenti amat lama.
“Itu bukan pilihan yang kita buat tetapi itulah yang harus kita jalani. Seseorang menawarkan sesuatu yang lebih baik—bukan dengan mengobarkan api, melainkan mengumpulkan sebanyak mungkin bunga dandelion—dan aku menerimanya.” Ia balik memandang Prim sambil tersenyum tipis. “Kau mungkin sulit mengerti tetapi ada saatnya seseorang lelah untuk berlari dan memilih untuk jadi pecundang: hidup. Itulah yang kupilih.”
“Itulah … hal yang perlu kau tahu, Prim.”
*
Saat kanak-kanak, Peeta selalu menyuruh Prim untuk mengantarkan makanan ke Haymitch—pemabuk tua yang jadi tetangga mereka. Prim berkali-kali menolak, tetapi Peeta selalu berkata bahwa pria yang hanya mandi seminggu sekali itu adalah orang baik, yang selalu membantu keluarga mereka dulu sekali.
Prim menurut dan mengantarkan makanan itu ke rumah Haymitch. Pria dengan jambang tidak teratur itu kerap mengabaikan dan kembali berjibaku dengan minuman kerasnya. Akan tetapi, ada satu waktu di mana si Pirang menghadangnya sambil berkata, “Kau tahu kenapa ibumu memilih untuk bersama ayahmu?”
Prim berhenti secara otomatis, memperhatikan Haymitch yang kembali meneguk sebotol vodka. “Ibumu itu api. Api yang membakar apa pun yang dia lewati dan tetap berkobar sekalipun tanpa minyak. Ia tidak butuh api lain untuk hidup. Ia butuh sesuatu yang dapat mengontrol kemarahannya … dan itu adalah ayahmu—si Dandelion[3], yang memberikan kehidupan.”
Salju mencair; kuncup pertama mekar; musim gugur tinggal enam bulan lagi … ketika Prim memahami satu hal penting dari masa lalunya.(*)
Ponorogo, 29 Januari 2019
[1] Cerita ini merupakan fanfiction dari trilogi ‘The Hunger Games’ karya Suzanne Collins. Penulis hanya mengambil nama dan garis besar cerita, tidak bermaksud mengubah isi dari cerita asli.
[2] Hewan hasil mutasi yang dikembangkan oleh Pemerintahan Panem.
[3] Merujuk pada perkataan Katniss di akhir novel Mockingjay yang mengasosiasikan Gale sebagai api kebencian, sedangkan Peeta sebagai bunga dandelion.
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001. Sekarang duduk di bangku kelas XI SMA Negeri 1 Ponorogo.
Tantangan Lokit adalah tantangan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata