Pada Sebuah Tebing
Nama: Loisa Lifire
Jalan setapak ini basah dan licin. Namun Lusia tetap saja nekad melangkah.
Tiba-tiba … “Lusia … Lusia!” seseorang menyebut namanya.
Dia berhenti sejenak. “Bisikan alam,” gumannya.
“Lusia … Lusia!” suara itu kembali terdengar. Lembut terbawa semilir angin pagi.
Dia mempercepat langkah. Berharap bisa mencapai tebing sebelum matahari terbit.
* * *
Lusia bersandar pada tebing. Ingin melepas lelah dari kejaran suara lembut, tapi penuh nuansa mistik. Di sampingnya, sebuah batu berbentuk wajah manusia dengan tetes-tetes bening di sekitar matanya.
“Lusia ….” Kali ini disertai isak tangis. Terdengar sangat dekat di telinganya.
Lusia terperanjat. Mulut yang tadinya seperti menempel pada batu mulai bergerak. Sepasang mata yang tertutup, kini perlahan-lahan terbuka dan mulai menumpahkan air dari kelopaknya.
“K—kau … hidup? Kau yang menyebut namaku tadi? Bagaimana kau bisa tahu namaku?” Seluruh tubuh Lusia gemetar.
“Ya, aku yang memanggil kau tadi. Aku selalu memanggil semua orang yang berkeliaran di sekitar sini, tapi belum pernah ada orang yang bisa mendengar suaraku.”
“Tentu saja mereka tidak mendengarmu. Kau anak durhaka.”
“Durhaka? Tidak. Dengarlah ceritaku yang sesungguhnya.”
* * *
“Aku dan Ibu tinggal di puncak bukit ini. Ibuku penyihir muda yang cantik. Dia suka menanam aneka sayur dan ramuan obat-obatan. Hasil kebun biasa kami jual ke pasar untuk biaya hidup sehari-hari. Makananku adalah daun-daun muda. Minumanku diambil langsung dari mata air. Ibu tidak memperbolehkan aku bekerja di kebun, karena bisa membuat kulit ini rusak. Setiap malam purnama, kami pergi ke dunia gaib. Di sana, setelah menguliti tubuhku, dia membentuk sesuai keinginannya, membalur dengan formalin agar tetap awet, kemudian memakaikan lulur, sebelum membersihkan tubuhku. Terakhir dia menyemprot dengan minyak wangi yang harumnya mampu bertahan sampai purnama berikutnya. Itulah sebabnya aku sangat cantik. Bentuk tubuhku sangat indah. Rambutku mengikal sampai ke mata kaki dengan poni yang tersisir rapi pada keningku yang sehalus cendana. Aku bagai boneka di tangannya. Aku tak boleh bicara, apalagi berteriak untuk melawannya.”
Lusia terdiam mengawasi mulutnya.
“Ibu ingin aku menikah dengan pemuda yang tidak saja tampan dan kaya, tapi juga harus perjaka, karena dialah yang berhak untuk menikmati malam pertamaku.”
Lusia terperanjat. “Kenapa bisa begitu? Dia penyihir ‘kan? Kenapa dia tidak melakukannya sendiri?”
“Ibu terlanjur menampakkan dirinya sebagai perempuan miskin dan tua dengan seluruh tubuhnya yang keriput.”
Dia jeda sejenak. Lusia pun mencoba untuk tidak bertanya lagi.
“Setiap kali selesai purnama, kami pergi ke pasar. Aku berdiri di samping dagangannya sebagai pajangan untuk menarik pembeli. Ibu akan mengatakan bahwa sayuran dan ramuan dari kebunnya bisa membuat orang terlihat awet muda, sepertiku. Percayalah, dagangannya selalu laris, tapi aku tidak berhasil menarik perhatian satu pun pemuda yang sesuai dengan kriteria Ibu.
Purnama berikutnya, Ibu tidak lagi memberiku formalin, tapi merendamku dalam bak susu setelah seluruh tubuhku dikulitinya. Dengan parau dia berujar,
“Kali ini, kau harus berhasil. Jika tidak, kaulah yang akan kusihir menjadi pemuda untuk memuaskan berahiku.”
Aku hanya mengangguk untuk mengiyakannya.
“Besok, pergilah duluan ke kota. Berjalanlah seperti putri raja. Ibu akan bertatih-tatih di belakangmu. Jika ada yang bertanya, kenapa kau tidak membantu ibumu? Jawab saja, dia bukan ibuku.”
* * *
Matahari belum juga keluar dari peraduannya, saat aku menuruni bukit tempat tinggal kami. Ibu, seperti biasanya, bersembunyi di balik kulit keriput dan pakaian compang-camping, tertatih-tatih dengan bakulnya yang berat.
“Hai Cantik, apakah wanita tua di belakang itu ibumu?” seorang pemuda tampan tersenyum padaku.
“Bukan!”
“Kenapa kau tidak membantu ibumu?” tanya pemuda yang lain.
“Dia bukan ibuku!”
Banyak pasang mata menatapku sinis. Mereka tidak tahu bahwa aku sedang menjalankan perintah ibuku. Ibu, yang berhasil menarik simpati mereka dengan semua kebohongannya.
“Hai! Maukah kau menjadi istri keduaku? Hartaku cukup banyak untuk menghidupi kau dan ibumu, ” ujar seorang lelaki yang sangat tampan.
“Mauuu!” teriakku girang.
Tak kusangka, Ibu sudah berdiri di sampingku.
“Darmi! Kau tidak layak menjadi anakku karena kau gagal membuatku bahagia.” Bumi berguncang karena murkanya. Sebelum Ibu menyihirku, aku memohon kepada Tuhan agar mengembalikanku ke wujud semula. Dari batu kembali ke batu. Kini, setiap kali datang hujan dan angin kencang, aku menangisi anak-anak yang masih bertahan dalam badai ciptaan orang tuanya.
Matahari mulai bergerak ke arah barat. Lusia masih bersandar pada tebing itu.
Plasma V, 19 Januari 2019.
Dari legenda Batu Menangis, asal Kalimantan Barat.
Loisa Lifire, pecinta dunia literasi. Lahir dan besar di Alor-NTT, tapi memilih tinggal di Kalimantan Barat.
Tantangan Lokit adalah tantangan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata