Cinta Dibawa Mati

Cinta Dibawa Mati

Cinta Dibawa Mati
Oleh: Cahaya Fadillah

Raja Nan Panjang yang terkenal itu memang ayahku. Beliau adalah raja yang sangat disegani dan dihormati oleh rakyatnya. Beliau juga sangat menyayangi aku, sebaliknya aku juga sangat menyayangi Ayah.

Namun, rasa sayang yang Ayah punya tidak jarang membuatku tertekan, Ayah selalu mengatur semua hal yang berhubungan denganku. Aku tahu beliau melakukan itu karena rasa cintanya padaku, tapi tidak harus mengetahui dan mengurus semuanya, bukan? Tapi, Ayah tidak mengerti, ia sering memberikan perintah ini dan itu terhadapku, termasuk siapa yang harus berada di hatiku.

Di istana aku diajarkan oleh seorang guru yang datang dari Aceh, ia banyak bercerita tentang murid yang pernah ia ajarkan. Namanya, Pangeran Goya Kala. Ia terkenal dengan kepandaian dalam syair, menyukai puisi dan suka menulis. Setiap hari sebelum atau setelah pelajaran usai aku selalu mendengar cerita tentang gagah dan kepintaran Pangeran Goya Kola dan setiap hari pula aku selalu menanti cerita-cerita tentangnya.

“Guru, bagaimana kabar Pangeran Goya Kala hari ini? Apakah dia masih suka menulis puisi?” tanyaku suatu pagi sebelum memulai pelajaran.

Sang guru tersenyum padaku, saat itu wajahku terasa panas malu rasanya karena terlalu sering menanyakan kabar sang pangeran.

“Pangeran Goya Kala mengirimkanmu sebuah puisi hari ini, ada dalam tasku ini, tapi bagaimana kalau kita belajar dulu sebelum kau membaca puisi kiriman Pangeran?” Guruku duduk perlahan, mengeluarkan buku-buku yang akan kami pelajari.

Hari itu aku belajar dengan lebih semangat, semangatku terpacu sejak mengenal Pangeran Goya Kala, puisi-puisinya selalu menyentuh, selain menumbuhkan bunga di hatiku, syair-syair yang dia tulis membuat aku merasa sangat dicintai.

***

Kubuka perlahan gulungan kertas kuning yang terbuat dari daun lontar ini. Tulisannya begitu mengesankan, rapi dan entahlah, yang pasti aku menyukai segalanya. Bait demi bait puisi itu kubaca, dengan cepat hatiku terasa hangat. Hangatnya mengalir melalui pembuluh darah dan menciptakan kembang bunga di dadaku. Mekar dan spontan membuat aku tersenyum.

Mayangku di kejauhan
Apa engkau tersenyum di sana?
Karena di sini hatiku terasa hangat membayangkannya
Mayangku di kejauhan
Tidak ubahnya putri raja nan anggun jelita
Tempat berbagai mata menaruh suka akan parasmu yang indah
Apa daya di sini aku hanya bisa menunggu sampai waktunya memelukmu menjadi milikku saja
Bersediakah kau hidup bersama, selamanya?
(Goya Kala di penantian cinta)

“Kau tersenyum, Mayang?” Pertanyaan guru membuat pipiku semakin bersemu, aku malu tertangkap basah sedang melamunkan dia, Pangeran Goya Kala.

“Aku bahagia, guru, sangat bahagia, cintaku terbalas, ia Pangeran Goya Kala menginginkan aku dan dia bersama. Semoga tidak menjadi anganku saja, Guru.” Hatiku berdegup lebih cepat saat menyebut nama pangeran hatiku.

Dia ingin menjadikan aku permaisurinya? Semoga tidak anganku saja.

“Jika engkau ingin membalasnya, silakan. Aku menunggu sebelum besok pagi bertolak ke Aceh, ada hal yang harus kulakukan beberapa hari di sana. Di sini jangan berhenti untuk belajar, saat aku kembali kita kan mengenal sesuatu yang baru untuk kau pelajari, Mayang.”

Ucapan guruku membuat aku terlonjak gembira, ada rasa bahagia yang menjalar di hati saat akan membalas puisi dari Pangeran Goya Kala.

Beberapa daun lontar yang sudah disiapkan jauh-jauh hari oleh pekerja kerajaan, kini sudah di tanganku. Aku mulai sibuk dengan tulisanku. Daun itu kugaris menggunakan tali kecil yang direntangkan agar tulisanku tidak miring dan rapi. Pengropak atau peso pangot kugenggam erat, lalu kuukirlah diksi-diksi yang mengalir dari hati.

Pangeran yang selalu di hati, sering aku bertanya kapan kita bersua sedangkan hati sudah terpaut lama. Kini, aku membaca diksimu yang maha luar biasa, lalu hatiku meleleh seketika. Senyumku terbit terlalu sering akhir-akhir ini, tidak hanya saat membayangknmu, menyebut namamu saja sudah membuat hangat hatiku, lalu aku kembali tersenyum dalam waktu yang lama.

Aku tidak menyangka, jatuh cinta sehebat ini rasanya. Jika kau berkenan jemput dan bawalah aku ke duniamu Pangeran. Hati ini tidak lagi pandai menyembunyikan rindu yang ada. Datanglah, aku menunggu sudah lama.
(Puteri Kaca Mayang)

Surat balasanku selesai, kini kuusapkan kemiri yang sudah dibakar dan mengeluarkan minyak. Aksara itu tercetak hitam karena jelaga kemiri, minyak kemiri pun menghilangkan garis-garis tinta yang dijadikan patokan menulis. Lembaran daun lontar kemudian kubersihkan dengan lap, bersih dan semua selesai.

***

Berbulan-bulan aku menunggu balasan dari Pangeran, namun tidak ada kabar yang mengatakan ia akan membalas. Hatiku mulai pilu karena menunggu hal yang tidak pasti. Mungkinkah Pangeran tidak benar-benar mencintaiku?

Tahun berikutnya terdengar kabar bahwa Raja Aceh akan datang meminangku, dia adalah Pangeran Goya Kala yang kutunggu, maka diutuslah beberapa panglima dari Aceh untuk menyampaikan maksud dan tujuannya kepada Ayah.

“Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja Aceh. Maksud kedatangan kami adalah untuk menyampaikan pinangan raja kami,” lapor utusan tersebut saat berhadapan dengan ayahku.
“Benar, Baginda! Raja kami bermaksud meminang Putri Baginda yang bernama Putri Kaca Mayang.” Tambah utusan yang lainnya.

Tanpa berpikir panjang Ayah segera menjawab, “Maaf, Utusan! Putriku belum bersedia untuk menikah. Sampaikan permintaan maaf kami kepada raja kalian,” jawab Ayah dengan berwibawa. Mendengar jawaban yang dibuat Ayah bukan hanya beberapa utusan itu yang kecewa, aku juga sama.

Aku mengira Ayah mengerti isi hatiku yang menyukai Raja Goya Kola. Tapi, Ayah malah menolak lamaran itu.

Waktu berlalu, tidak ada lagi puisi-puisi yang datang sejak saat itu. Hidupku semakin menyedihkan, patah hati membuatku hilang nafsu makan dan tidak menjalankan kehidupan dengan baik. Aku tahu Raja sangat kecewa, dari kabar yang terdengar ia akan melakukan perlawanan terhadap Ayah. Bgitu sebaliknya Ayah juga telah menyiapkan perlawanan menunggu pasuka Raja Goya.

Singkat cerita, aku diculik setelah menghabisi semua pasukan Ayah. Pasukan Aceh menyeretku keluar istana, aku tidak lagi berdaya setelah berbagai penyakit menggerogoti semangat hidupku. Aku pasrah.

Kedatanganku di tanah rencong Aceh membuat Raja Goya bahagia, tapi belum sempat bertemu, pasukan dari kerajaan ayahku datang menghadang. Membuat perlawanan dengan membawa dua ekor gajah besar. Raja Goya menyerah karena pasukan Ayah dan panglima yang diutus berhasil menghancurkan kerajaan Raja Goya.

Aku kembali dibawa pulang oleh panglima dan pasukan kerajaan ayahku. Hatiku semakin sakit, cintaku tidak dapat kuraih dengan baik. Sekarang hanya tinggal perasaan yang mendalam dan tidak tahu bagaimana untuk menyampaikan kepada Raja Goya yang kucintai.

Di perjalanan, tubuhku semakin tidak nyaman, udara yang masuk ke tubuhku semakin sedikit. Sesak napas membuat sebagian tubuhku terasa mati.

“Panglima, aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini. Tolong sampaikan salam dan maafku kepada Ayahanda, tolong katakan juga sampai detik ini aku mencintai Raja Goya.” Kututup mata perlahan membawa cintaku dalam kematian. “Raja Goya Kala, selamat tinggal.” (*)

Pekanbaru, 27 Januari 2019

* Cerita ini merupakan kisah dari Putri Kaca Mayang (Lahirnya Kota Pekanbaru)
** Pengropak atau peso pangot adalah pisau tulis yang digunakan untuk menulis di daun lontar yang sudah diolah beberapa kali.
*** Daun lontar digunakan sebagai media tulis di jaman kerajaan majapahit dan kerajaan lain yang hampir seusia.

Tentang Penulis:

Cahaya Fadillah, mama anak satu yang suka menulis dan suka rebutan laptop dan ponsel dengan anaknya demi menyelesaikan satu naskah.

Tantangan Lokit adalah tantangan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata