Genre dan Diksi
Oleh: Fitri Fatimah
Kalau ada yang bertanya apa hobi saya, saya akan menjawab membaca dan menonton. Soal menonton tidak untuk dibahas panjang di sini, bisa-bisa nanti saya kambuh bahas siapa itu Deng Lun dan Wu Jinyan. Tapi soal membaca, kalau ditanya lebih lanjut lagi, suka membaca novel genre apa? Yang pertama kali akan meluncur dari lidah saya pasti langsung roman, tapi lalu saya bakal pikir-pikir lagi, saya ngaku suka roman tapi apakah semua atau paling tidak sebagian lebih besar bacaan saya adalah rata-rata roman? Tidak. Saya juga membaca The Da Vinci Code, Angels and Demons, Life of Pi, Harry Potter 1-7, Supernova ‘Petir’, Mantra Pejinak Ular, dll. Dan mereka adalah novel-novel dengan genrenya masing-masing; detektif, mystery-thriller, petualangan, fantasi, fiksi ilmiah, intinya bukan roman, atau kalaupun ada part romannya, paling hanya seupil. Dan ternyata novel-novel semacam ini juga tetap bisa saya nikmati dengan sangat, tak kalah dari yang genre roman yang saya agung-agungkan itu. Novel-novel tersebut tetap bisa bikin saya ketawa, bikin hati saya menghangat, bikin saya nangis sampai sembab.
Jadi kembali lagi ke pembahasan awal, sebenarnya saya suka baca novel genre apa? Saya sedang mencoba memahami diri sendiri di sini.
Akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa ini bukan soal genre. Bagi saya bukan genre yang membuat sebuah novel dikategorikan bagus, bukan genre yang menjadi magnet yang bisa membuat saya dengan kalap membaca hingga mata kering, tapi diksi. Diksi yang indah.
Seperti yang dibahas di Kelas Menulis LokerKata pertemuan minggu kemarin, Bang Berry Budiman selaku pembimbing kelas bilang, diksi yang indah bukan berarti harus ‘Lembayung senja merangkai rama-rama di ujung cakrawala’; tidak harus mendayu-dayu puitis, juga tidak harus terdiri dari bahasa yang berat. Diksi yang indah ialah ia yang tepat dengan makna yang diinginkan penulis, dan sampai dengan jelas di imajinasi pembaca. Diksi yang ‘pas’.
Sehingga kemudian apa gunanya menulis dengan diksi puitis atau berat kalau dengan demikian membuat pembaca sulit mencernanya. Tentu bukan berarti penulisan dengan bahasa puitis dan berat dilarang. Penulis dibebaskan untuk berakrobat dengan kata-kata, dengan catatan mereka tahu apa yang mereka lakukan, bukan hanya asal-asalan pasang demi terkesan keren dan intelek, tapi ternyata malah minim makna.
Diksi yang ‘maksa’ apabila sekiranya hanya akan merusak dan membuat ide bagus yang kita rancang tertimbun, lebih baik tidak saja. Lebih baik menggunakan bahasa yang sederhana. Sederhana tapi menyentuh.
Dan tentu, sederhana bukan lantas berarti ala kadarnya. Berkebalikan dari di atas, sering juga saya menemukan novel yang dari sinopsisnya langsung memikat, saya bahkan terkecoh dan akhirnya membeli. Dan memang benar, ceritanya menarik, atau tepatnya idenyalah yang menarik, hanya saja tidak dibangun dengan diksi yang memadai, hanya memakai diksi ala kadarnya, terlalu biasa sehingga seakan-akan penulis telah menyia-nyiakan idenya, membuat pembaca berdecak menyayangkan.
Ide dan penuangan ke dalam bentuk tulisan sangat berkaitan dan sama penting. Saya membayangkannya mereka adalah resep dan pengolahan. Untuk mendapatkan masakan yang enak kita harus tahu resepnya, lalu kemudian harus kita olah dengan tepat, entah dengan tekhnik kukus, panggang, goreng, dan semacamnya, kemudian barulah ia matang dan dapat dihidangkan.
Bon appétit.
***
Sumenep, 20 Januari 2019.
Fitri Fatimah, kelahiran Sumenep, 1996. Suka membaca dan mencoba menulis. Cerpennya pernah dibukukan dalam antologi bersama Bias Nyata (Intishar Publishing) dan Kisah Tengah Malam : 13 Purnama dan Orang-Orang Bermata Kelam (Hazerain).
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata