Harga Delapan Puluh Juta
Oleh: Karna Jaya Tarigan
Beberapa hari yang lalu, berbagai media ramai memberitakan tentang tertangkapnya seorang artis yang sedang melakukan praktik prostitusi di Surabaya. Ada yang mencaci, menghujat, dan ada yang memuji juga mendukung. Bahkan ada pula yang membanding-bandingkan dengan para istri.
Aku lebih memilih diam dan malas untuk ikut berkomentar. Terlalu banyak teman yang turut mem-posting berita ini di media sosial. Sebenarnya sih, bukan tentang artisnya yang bikin heboh. Ia sungguh biasa saja, cantiknya tidak ngepol banget, dan tidak termasuk golongan selebritas papan atas. Namun nominal yang harus ditukar untuk membeli tubuhnya yang dianggap sungguh luar biasa.
Menurut sudut pandang laki-laki, tentunya, ada sesuatu yang bisa dibeli dan didapatkan dengan uang. Dan ada sesuatu yang tidak bisa ditukar dan diukur dengan apa pun. Yaitu waktu dan kesempatan bersama pasangan kita. Hal-hal semacam ini tidak bisa jika ditukarkan dengan uang. Seperti misalnya pada tengah malam ia keluar rumah. Menembus dingin, mencari makanan untuk memenuhi keinginan si istri yang sedang mengidam. Tak terpikirkah olehmu, betapa ia pontang panting, memutar otak, mencari ke sana kemari. Apa pun ia lakukan untuk membahagiakan istri tercinta.
Saat suami menemani seorang istri di ruang persalinan. Di antara hidup dan mati, ia menggenggam erat tanganmu dan mengucapkan doa-doa terbaik dan terpanjang untuk keselamatan sang belahan jiwa. Air mata mengalir sebagai penebus rasa bersalahnya. Melihat betapa susah payah seorang ibu dari anaknya melakukan persalinan.
Belum lagi masalah di rumah, yang tetap dibawa sebagai bekal sarapan di tempat kerja. Sebagai seorang profesional ia harus berkonsentrasi penuh. Bayangkan saja jika di tengah kesibukannya mencari nafkah, kepalanya masih mumet dikarenakan endapan pertengkaran. Untuk suami-suami yang bekerja dekat dan akrab dengan bahaya. Tidakkah itu riskan untuk keselamatannya?
Sambil menulis halaman ini, aku jadi teringat pakde tetanggaku yang belum lama ini meninggal. Bertahun-tahun ia merawat sang istri yang terkena stroke. Coba bayangkan, setiap hari ia harus membersihkan tubuh pasangan hidupnya. Menyuapi makanan dan mencecapkan air minum penuh kesabaran. Ditambah lagi harus membersihkan pup atau kotoran si bude yang tidak sanggup lagi bangun dari tempat tidur.
Sebagai seorang lelaki normal tentu ia juga mempunyai naluri yang sama seperti lelaki lainnya. Sesuatu yang sangat manusiawi. Toh, ia bisa membelinya dari para wanita penjaja cinta. Atau ia bisa menikah lagi. Namun … sebagai seorang suami, ia tak sampai hati melakukan itu semua, meski batinnya pasti tersiksa. Pakde tetap menjaga kesetiaannya sampai maut menjemput nyawa istrinya.
Jika aku mengingat lagi bagaimana pandangan harga delapan puluh juta dikaitkan dengan harga sebuah ikatan, Maka lelaki yang baik tidak akan pernah menghargai istrinya senilai delapan puluh juta rupiah. Itu terlalu murah. Bahkan seorang koruptor busuk yang telah tertangkap tangan KPK memberi nilai yang jauh lebih besar dari pada itu. Mobil dan rumah yang mewah. Apartemen di tengah kota. Menyekolahkan anak ke luar negeri. Properti di sana-sini. Berlian yang menghiasi leher dan jemari sang istri. Semuanya berharga miliaran rupiah.
Perhatian, rasa kasih dan sayang, tanggung jawab, dan cinta yang tak pernah punah. Itu yang dipersembahkan oleh suami sejati. Berapa harga semua itu? Tak ternilai. It’s priceless.
Karna Jaya Tarigan. Seorang penulis pemula. Terdampar di laman Facebook: sebuah dunia baru untuk berkarya. Tinggal di Kota Bekasi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata