Kabut yang Disembunyikan
Oleh: Nurul Istiawati
Mata bening Ibu tertambat pada bulan purnama di langit luas. Di tepi jendela, Ibu tetap bergeming bahkan ketika semilir angin memainkan helai rambutnya. Ini sudah pukul tujuh malam, seperti biasa Ibu buru-buru ke dapur menyiapkan kopi untuk Ayah. Setiap kali aku ingin membantunya, ia selalu menolak. Katanya, ini adalah tradisi: hanya seorang istrilah yang boleh menyiapkan kopi untuk suaminya. Ibu bahkan pernah memarahiku karena dulu aku pernah menyiapkan kopi untuk Ayah. Ia bilang, aku boleh membantu pekerjaan rumah apa pun itu tetapi tidak dengan menyiapkan kopi Ayah, harus Ibu yang melakukannya, titik! Aku heran kenapa Ibu semarah itu, lagi pula kopi tetaplah kopi, entah siapa pun yang menyajikannya. Ah, mungkin karena agungnya cinta Ibu kepada Ayah. Selain dirinya, ia takkan rela orang lain membuatkan kopi untuk Ayah. Namun apakah benar cintalah yang membuat Ibu bersikeras melakukan itu?
***
Perlahan Ibu mengaduk kopi hitam yang masih panas. Matanya memandang serbuk hitam di dalam cangkir. Seolah-olah dia ingin menerobos ke dasar cangkir, mencari sesuatu yang gumpalan hitam yang mengendap di dasar sana, seperti hatinya.
Kopi telah siap dan Ibu sendiri yang mengantarnya ke ruang depan. Uap kopi meliuk-liuk romantis, aromanya menyebar ke semua penjuru ruangan. Ibu hanya duduk dan menatap Ayah lekat-lekat. Ia akan beranjak pergi jika cangkir yang penuh tadi menyisakan ampasnya saja. Betapa setianya Ibu sampai-sampai untuk urusan kopi saja ia rela menunggu. Kelak, aku juga ingin menyajikan kopi setiap pukul tujuh untuk suamiku. Mengantarnya dengan tanganku sendiri lalu menemani suamiku menyesap kopi hingga tetes kenikmatan terakhir. Sama seperti yang Ibu lakukan.
Begitulah malam-malam yang dilewati Ayah dan Ibu. Semuanya terlihat baik-baik saja. Namun bukankah baik-baik saja dalam sebuah hubungan adalah kemustahilan?
***
Pagi merekah bersama embun di muka daun. Berkas sinar matahari jatuh dan memainkan dedaun yang basah karena sisa gerimis semalam. Aku dan Hanum (adikku) merasa terkejut ketika Ayah melangkah pergi ke luar rumah, membawa koper besar.
Ibu mengikuti langkah Ayah.
“Gak usah ikutin saya! Kamu urusin rumah dan anak-anak saja!” bentak Ayah kepada Ibu.
Seketika langkah Ibu terhenti. Ia berbalik dengan perasaan sembilu di lubuk hati. Dengan langkah gontai Ibu berjalan sambil telinganya terus merekam derit koper yang Ayah tarik ke luar rumah. Merasakan sesuatu mencabik-cabik dadanya.
Di sisiku Hanum terus merengek. Ia ingin ikut Ayah. Aku berusaha membuatnya mengerti dengan mengatakan bahwa Ayah pergi sebentar, membelikannya mainan. Ia menurut saja.
Kukira, Ayah akan pergi tanpa menjanjikan kembali. Ternyata Ayah memang pergi sebentar. Dua bulan kemudian, Ayah kembali. Ia membawa seekor anjing. Warnanya hitam dan senang menggonggong.
“Anjing ini untuk Hanum. Hanum jagain, ya,” ucap Ayah.
Wajah Hanum riang tak terkira. Namun wajah Ibu … muram seperti ada lorong-lorong gelap.
Ayah memberi nama anjing itu Ken. “Nama yang pantas untuk seekor anjing, kan?” kata Ayah melirik tajam ke Ibu.
Hari-hari berikutnya, aku mulai terbiasa dengan kehadiran anjing di rumah. Ayah senang melihat aku dan Hanum bermain-main dengan anjing. Ia sering tertawa lepas dan keras melihat anjing itu menyalak saat dipanggil namanya. Itu menjadi hiburan tersendiri bagi Ayah, tetapi aku merasa tawa Ayah berlebihan untuk hal biasa seperti itu.
Seingatku Ibu benci anjing. Namun segala yang dibenci Ibu adalah kesukaan Ayah. Seperti saat Ayah menyuruh Hanum menggoda Ibu dengan mendekatkan anjing itu kepadanya. Ayah tertawa puas betul ketika Ibu salah tingkah, mengusir anjing itu agar menjauh, tergesa menguncikan diri di kamar. Hal ini berlangsung terus menerus sampai akhirnya Ibu muak.
“Cukup! Kenapa tidak sekalian kau bakar aku hidup-hidup!” teriak Ibu.
Teriakan Ibu membuat aku dan Hanum bungkam, kaget, dan takut. Sedangkan Ayah justru kelihatan senang, aneh memang.
***
Suatu sore, Ibu mengira aku menyuruh Hanum meletakkan anjing di kamar Ibu. Ia memarahiku habis-habisan, meskipun sebenarnya aku tak pernah menyuruh adikku begitu. Ayah tak terima aku dibantai kata-kata pedas. Lalu terjadilah pertengkaran hebat. Aku dan Hanum hanya bisa menangis di sudut kamar.
Di kemudian hari, Ayah mengatakan kebenaran alasan ia memberi nama anjing itu Ken. Kata Ayah, “Ken adalah nama kekasih gelap ibumu. Dan Hanum, buah pengkhianatan itu.”
Untuk pertama kalinya, dadaku terasa sesak. Langkahku berat laksana tengah ditimpa langit dan seisinya. Kenyataan getir ini menghancurkan keyakinanku tentang kesetiaan Ibu. Ternyata kesetiaannya semu.
***
Beberapa tahun kemudian semua kembali terlihat baik-baik saja. Meskipun aku yakin kata baik-baik saja tak pernah hadir di antara Ayah dan Ibu.
Ini sudah pukul tujuh malam, Ibu sudah di dapur menyiapkan kopi hitam untuk Ayah. Aku sengaja menemaninya sebab kurasa akhir-akhir ini ia kesepian.
Perlahan Ibu mengaduk kopi. Dan entah kenapa malam ini terasa hampa. Sangat hampa.
“Ayahmu sudah cerita tentang Hanum, ya?” tanya Ibu tiba-tiba.
“Tadi ada tetangga mencari Ibu,” jawabku ngasal.
“Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan!” seru Ibu.
Ah, Ibu memang pandai menebak isi hati. Kini usahaku menghindari pertanyaan itu telah gagal.
“Sekarang kamu punya alasan untuk benci Ibu. Kamu sudah dewasa, kamu juga perlu tahu sesuatu yang disembunyikan bertahun-tahun.” Wajah Ibu mulai tegang.
“Tentang apa?”
“Jati dirimu.”
“Sejak kecil kamu sering bertanya kenapa harus Ibu yang menyajikan kopi ini, bukan?” tanya Ibu.
“Ya, sejak dulu pula Ibu selalu menjawab, tak semua hal memerlukan alasan seperti kenapa Ibu menikah dengan Ayah dan bertahan hingga detik ini,” jawabku.
Ibu mulai bercerita. Matanya menerawang udara hampa seperti sedang menangkap kembali kenangan masa silam yang berterbangan. Ah, kenangan … seperti apakah bentuknya sampai-sampai ia bisa datang dan pergi seenaknya.
“Dulu, Ibu adalah pelayan di kedai kopi. Sebelum bertemu ayahmu, hidupku sangat bahagia. Malam itu Selasa kedua di bulan Maret, tepat pukul tujuh malam, ayahmu datang ke kedai kopi. Ia bilang, ibuku kecelakaan dan ada di rumah sakit. Aku percaya dan ikut dengan ayahmu. Biadab! Dia menipuku. Dia membawaku ke gudang bekas pabrik tua. Semalaman ia memperkosaku. Sialnya, aku hamil. Mengandung dirimu.”
Lidahku kelu. Rasanya jantungku ingin runtuh.
“Demi nama baik keluarga, akhirnya kami terpaksa menikah. Aku melimpahi ayahmu dengan cinta. Dan cinta itulah yang membuatnya lemah. Namun, tetap saja, dalam hatiku masih mencintai Ken. Ken adalah kekasihku sebelum aku menikah. Dan sejak ayahmu tahu hubungan gelapku, kami memulai perang kami. Kami saling menyiksa dan membunuh. Aku akan membunuhnya dengan cinta dan pahitnya kopi pukul tujuh malam, sebagai pengingat akan dosanya telah memperkosaku. Dan ayahmu juga akan membunuhku dengan membawa anjing bernama Ken, sebagai pengingat akan pengkhianatanku.”
Aku hanya bungkam. Mataku redup, berkilat-kilat seperti cermin retak. Benda bening meleleh dari mataku. Kulihat Ibu masih sesenggukan, tetapi aku tetap merasa hampa. Bagaimana bisa kabut sepekat itu disembunyikan Ayah dan Ibu bertahun-tahun?
Kurasa aku tak betul-betul mengenal ayah dan ibuku. Dan aku tak mau menyajikan kopi setiap pukul tujuh malam, mengantarnya dengan tanganku sendiri lalu menemani suamiku menyesap kopi hingga tetes kenikmatan terakhir, kelak.(*)
Pemalang, 13 Januari 2019
Nurul Istiawati, gadis 17 tahun yang hobinya dengerin musik klasik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata