Laki-laki Berotot Liat (part 2)

Laki-laki Berotot Liat (part 2)

Laki-laki Berotot Liat (part 2)
Oleh: Fitri Fatimah

“Aku nggak mau tunangan sama dia.”

Ibu menatapku seakan-akan aku sedang bilang, aku bisa makan beling dan sekarang mau main kuda lumping. Aduh, padahal makan keripik saja aku suka gentar sama tekstur tajamnya.

“Nak, kamu nggak mau tunangan kenapa? Kamu nggak mau sama dia kenapa? Dia dari keluarga baik-baik, dia juga enak dipandang. Ibu nggak tahu ya selera anak sekarang itu bagaimana, apa tampan harus rambutnya disemir dulu, apa juga harus pakai celak dulu. Ibu kemarin lihat itu yang anggota boy, boy apa itu? Boygon? Baygon? Iya pokoknya itu. Nak Herman emang nggak dandan kayak mereka, tapi di mata Ibu dia udah tampan. Kamu masak masih milih-milih sih, Nak? Ibu nggak keberatan kamu pemilih, tapi laki-laki sesempurna dia ya masak masih belum cukup di standarmu? Kamu mau laki-laki yang bagaimana lagi? Ibu capek selalu dengerin tetangga kepo nanyain kapan kamu bakal nikahnya. Masak kamu nggak dengar mereka sering bilang kamu perawan tua.  Kamu mau cari yang bagaimana lagi coba?!” Ibu sampai terengah-engah berbicara.

Aku mencoba menjawab dengan lebih hati-hati, “Bukannya aku nggak mau sama dia, Bu. Masalahnya itu, kayak yang Ibu bilang tadi, dia terlalu sempurna. Dianya yang nggak mau sama aku.”

“Kamu ngomong apa sih! Nak Herman udah datang jauh-jauh ke sini ya tentu dia mau sama kamu.”

Aku putar mata 180 derajat. “Mau apaan, tadi aku didiemin terus,” gerutuku tak sengaja terceplos.

“Apa?!”

Aku menghela napas berat. Mestinya aku nggak bilang ya? Tapi kalau nggak bilang aku mesti ngarang alasan apa supaya the so called ‘pertunangan’ ini nggak sampai kejadian. Aku masih ingat jelas yang terjadi tadi. Sementara duduk di ruang tamu dan aku komat-kamit semoga dia tidak ingat gadis yang tadi pagi dilihatnya sedang menggila di pelabuhan, tetapi tampaknya dia memang tidak ingat. Setelah basa-basi antara para orangtua, setelah beberapa kali seruputan kopi, tiba-tiba Ayah mengajak Pak Dirman—ayah Herman, untuk menengok burung perkutut yang sedang dijemur di teras belakang, dan Ibu yang secara ajaib menghilang, entah tadi dia bilang mau ke dapur atau ke warung depan, pokoknya tiba-tiba semua orang tidak ada dan hanya tinggal kami berdua di ruang tamu.

Herman, iya, nama si Laki-laki Berotot Liat itu ternyata Herman. Nama yang biasa. Kukira karena dia berpenampilan sangat wah dia bakal punya nama yang … misalnya saja, Justin, Lucas, Leo, dan sebagainya yang kebarat-baratan itu.

Beberapa menit berlalu, aku bisa mendengar dengan jelas detak jam saking heningnya suasana. Kami sama-sama terdiam. Aku jelas tidak tahu harus bicara apa. Aku memang punya pertanyaan sebenarnya, tetapi aku cukup yakin bahwa kalau sampai kusuarakan pertanyaan yang, aku cukup yakin, memang melantur, dia bakal menatapku dengan kerutan lebih dalam dari saat ketika melihatku tadi pagi di pelabuhan. But let’s give it a try. Namun percobaannya dalam hati saja dulu.

Kamu tidak ada niatan ikut audisi jadi artis? Wajahmu sayang banget kalau tidak dicetak jadi kover majalah. Kamu suka lari pagi karena supaya sehat bugar atau sebenarnya cuma mau pamer otot? Kamu ke sini pasti karena dipaksa, ya kan?

Pertanyaan yang terakhir aku sangat yakin jawabannya pasti iya. Karena hingga bermenit-menit kemudian berlalu, dia dengan terang-terangan tetap mengabaikanku, terus menunduk dan hanya sibuk dengan ponselnya.

“Bilang sini sama Ibu. Ih, ini anak malah bengong. Mangkanya apa juga Ibu bilang, jadi perawan tua itu biasanya begini, suka bengong, nanti kalau dibiarkan bisa kesambet setan.”

“Hush, Ibu apaan sih.”

“Ya mangkanya bilang. Kamu tadi didiemin sama Nak Herman? Kenapa nggak bilang sama Ibu dari tadi. Wah, Nak Herman ya ini, dari luar aja kelihatannya santun, ternyata, wah nggak bener ini. Tenang ya nanti Ibu laporin sama bapaknya,” sembur Ibu dengan tekad penuh. Dia sudah ancang-ancang ambil ponsel dari saku dasternya.

Astaga. Makin kacau.

“Bukan gitu Ibuuuu.”

Ibu melempariku tatapan. ‘apa sih maumu sebenarnya?’.

“Aduh aku mesti bilang berapa kali. Dia nggak mungkin suka sama aku. Dan emang dia nggak suka sama aku, kok. Aku bisa jamin. Ibu nggak usah tanya alasannya kenapa. Jelas kali, ya. Lagian soal suka nggak suka, emangnya sekarang masih zamannya Siti Nurbaya sama Datuk Maringgi? Masih jaman gitu dijodoh-jodohin? Jadi Ibu berhenti ya, nggak usah laporan apa-apa sama bapaknya Herman.”

Ibu tampak mau membantah, tetapi aku langsung melanjutkan lagi, “Lagian masak Ibu nggak kasian sama Hermannya, dia dipaksa-paksa tunangan. Mana bisa bahagia. Ibu kan sering bilang bahwa Ibu nggak bakal jadi orangtua yang otoriter.”

“Kamu ini dari tadi ngomongin perasaan Nak Herman terus, perasaan kamu sendiri bagaimana? Beneran kamu nggak suka sama Nak Herman?”

Melihat reaksiku yang tercengang—ya aku tercenganglah, aku tidak menyangka nalar Ibu sampai bisa kepikiran ke situ—Ibu mulai kembali jadi Langit Bulan Desember.

“Aduh, anak satu-satunya Ibu ini gimana. Kamu jadi orang baik banget, kapan mau nikahnya coba!” ucap Ibu sambil diselai sesenggukan.

“Nanti, Bu. Nanti. Kalau udah ada orang yang suka sama aku, dan aku juga suka dia. Sekarang aku fokus kuliah ajalah.”

“Ya kan bisa kuliah sambil nikah,” bujuknya masih.

Duh, sempet-sempetnya juga ya. “Nggak ah. Aku kan nggak bisa multitasking, Bu.”

***

Excuse me, ini beneran Keke yang kukenal?” kata Nora, sahabatku, sambil tangannya berdadah-dadah di depan mukaku, semacam kalau aku pasien kehilangan orientasi. Begini ini, aku sudah menyangka, yang begini yang akan menjadi reaksinya setelah kuceritakan semua dari awal hingga akhir. Iya, soal si Laki-laki Berotot Liat, siapa lagi. Hanya ngomong-ngomong, sekarang karena aku sudah tahu nama aslinya, bahkan sudah bertemu secara personal, rasanya canggung ya kalau masih mau memanggil dia dengan julukan itu.

Aku menepis tangan Nora yang masih tidak berhenti berdadah-dadah. Ini tangan mau dijadiin kipas apa. Dia mendesah dramatis lalu pindah dari lantai—di mana dari tadi kami ngobrol—ke kasurku, lalu menghempaskan punggung. Sambil menatap langit-langit kamarku yang ditempeli guntingan karton berbentuk kepingan salju, biar berasa ala Frozen, dia melanjutkan berkata, “Keke yang aku kenal itu biasanya sekali ngelihat cowok cakep, bakal heboh, norak. Lompat-lompat, jejeritan. Pernah bahkan, kan, kamu sampai mau kelenger gara-gara liat ada cowok yang kata kamu mirip Lee Jong Suk, padahal bibirnya doang yang mirip, potongan badan dan lain-lain mah bumi dan langit. Keke yang aku kenal itu pengabdi muka cakep. Lah, kamu siapa? Kamu bilang tadi dia bukan cuma cakep tapi bahkan kembarannya … siapa tuh gege-mu?”

“Deng Lun!”

“Nah iya, dia. Kok bisa kamu ngelewatin kesempatan emas gini? Emangnya kamu nggak mau tiap pagi bangun-bangun yang dilihat muka seger? Aduh aku kok nggak percaya kamu bisa nolak kalau uda disodorin muka seperti itu.”

“Aduh … jangan ngomong kata nolak lagi dong. Kesannya gimana gitu. Kayak aku yang kecantikan aja bisa gampang nolak-nolak.” Aku meringis.

“Nah, mangkanya aku juga heran,” katanya sambil menoleh ke arahku dan memberi tatapan menilai.

Kulempari dia pakai bantal.

Kuakui, aku memang suka melihat muka cakep—memangnya siapa sih yang tidak. Aku punya banyak sekali bias, idol yang kuidolakan, aktor yang kuelu-elukan, rupa-rupa yang sampai bikin aku norak jejeritan ‘kyaaaaa’, kayak yang dibilang Nora tadi. Ngomong-ngomong kok dari yang dideskripsikan Nora tadi, aku kedengarannya ababil banget sih. Skip. Okay, jadi Aku bisa dengan sangat mudah bilang saranghae, Oppa, wo ai ni, Gege, dan menyerbu akun medsos mereka, membanjiri postingan mereka dengan komentar-komentar memuja, lalu me-repost ke akun medsos-ku sendiri dengan caption halu. Aku seperti itu, tetapi bukan berarti aku … intinya, aku masih bisa sadar diri, mereka yang sudah kusebutkan adalah orang-orang yang dengan sadar aku tahu mereka sangat jauh, mereka seperti bintang, indah dan selamanya tak akan terjangkau, itulah kenapa aku berani menggila pada mereka. Sedangkan pada Herman, dia boleh saja bermuka mirip gege kesayanganku, aku bahkan sempat rajin lari pagi demi melihatnya, tetapi sungguh waktu itu aku tidak pernah punya bayangan ngelunjak apa-apa tentang dia, sehingga bahkan ketika kemarin aku diberi kesempatan lewat “pertunangan” itu, aku tetap tidak mungkin akan lupa batas dan dengan jahat menjeratnya. Hanya karena muka cakep lalu aku membabi buta bilang iya, tidak mungkin. Lagi pula aku tidak mau sebuah cinta yang terpaksa.

Tangan Nora kembali berdadah di depan mukaku, menarikku dari renungan panjang.

“Apa!” ketusku.

“Yang tadi, lanjutin alasannya kenapa?”

“Emm … aku cuma … aku ngerti kondisi dia. Dia pasti dipaksa orangtuanya buat tunangan. Aku juga dipaksa sebenarnya, Ayah kemarin sampai ngancam nggak bakal biayain kuliahku semester ini, tapi senggaknya aku punya Ibu. Ibu mau dengerin dan nerima keputusanku. Jadi ya udah, pertunangan ini bubar jalan. Nanti pokoknya soal Ayah, Ibu yang bakal ngurus. Ini udah yang terbaik,” paparku sambil diakhiri mengangguk mantap.

Nora juga balas mengangguk mantap. Namun dia rese lagi. “Yakin nggak bakal nyesel?”

“Nggaklah. Sini, kubilangin ya, Nona Nora, kalau nanti kami beneran tunangan dan bahkan sampe nikah, tapi dia tetep benci aku seumur hidup, muka cakepnya juga bakal jadi siksaan kali.”

Dia manggut-manggut lagi. Sudah, usai percakapan.

….

Baca Juga: Laki-laki Berotot Liat

 

Sumenep, 13 Januari 2019.

Fitri Fatimah, kelahiran Sumenep, 1996. Suka membaca dan mencoba menulis. Cerpennya pernah dibukukan dalam antologi bersama Bias Nyata (Intishar Publishing) dan Kisah Tengah Malam : 13 Purnama dan Orang-Orang Bermata Kelam (Hazerain).

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply