Year of Being Lonely
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
Apa yang berbeda dari tahun ajaran baru? Apakah itu perihal ruang ekstrakurikuler yang dulu tidak ada di sekolah lama? Apakah itu tentang guru-guru yang sekadar masuk kelas dan membiarkan murid-muridnya belajar secara mandiri? Apakah itu mengenai mata pelajaran yang kian lama kian memorak-porandakan otak?
Entahlah, aku tidak tahu. Namun, aku meyakini satu masalah absolut yang dialami murid anyar macam kami. Adaptasi.
“Menginjak jenjang yang lebih tinggi bermakna menyelaraskan diri dengan orang-orang baru dari tempat, kebiasaan, bahkan sifat yang berbeda,” kata wali kelasku seraya berjalan mengitari kelas yang berukuran 12 m x 12 m. Jam persegi berwarna merah yang ada di depan kelas telah menunjuk pukul delapan. Sesi perkenalan wali kelas masih tersisa dua puluh menit lagi, tetapi kami sudah mengantuk, terlebih lantaran angin berembus sepoi-sepoi dari delapan jendela yang dibuka setengah, ikut menerbangkan gorden biru lusuh pun berbau apak.
Yah, tipikal murid zaman sekarang.
Aku memandang lapangan ber-paving dari jendela lantai satu ketika perempuan beranak satu itu melanjutkan kalimatnya, “Jadi, biasakanlah. Ini saat kalian bersosialisasi.”
Aku merunut memori itu sembari menyusuri hutan sekolah yang penuh sampah serta tempat parkir yang dibatasi oleh tumbuhan rambat. Daerah ini selalu jadi yang paling sunyi saat pembelajaran, baik di SMA maupun di SMP. Aku ingat, sering bolos dan duduk di bangku semen yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon, melihat gedung dua lantai berwarna hijau yang kentara menakutkan. Bising. Yah, bukan berarti aku murid nakal … aku hanya tidak ingin mendengar semua gunjingan yang menggema dari lantai satu dan dua yang menjadi kawasan kelas uzur.
“Orangtuanya sudah bercerai. Katanya, sih, gara-gara dia punya adik dadakan. Ayahnya jadi pengangguran. Ibunya jadi TKW di Malaysia. Cih, memang rusak dari sononya.”
Aku tertawa pahit. Memang begitu. Lagu memuakkan itu. Celaan tak berdasar itu.
Masyarakat selalu mengomersilkan masalah orang lain, menjadikannya batu pijakan untuk menjadi paling kudus di antara tumpukan sampah. Orang dewasa butuh pengakuan akan kedudukan. Sementara, remaja macam kami butuh kambing hitam agar dianggap baik oleh mereka. Ini seperti doktrin berantai, lingkaran ouroboros, bahwa aib seseorang adalah sesuatu yang patut disyukuri.
Padahal, ada banyak jiwa sekarat atas produk yang gencar mereka promosikan.
Aku berdiri di kamar mandi berbau pesing. Lantainya yang terbuat dari marmer merah muda basah. Aku gamang. Ingat seberapa sering aku masuk dan menangis di sana, mengubur sekaligus menguatkan diriku sendiri, meyakinkan bahwa ini semua akan berakhir. Sebentar … sebentar lagi.
Sebentar lagi, aku akan mendapat teman.
Aku melanjutkan langkahku. Berdiri di depan pintu berwarna biru─kelasku─sembari membayangkan visualisasi kebisingan yang acap kuhindari. Anak laki-laki berteriak disertai suara gebrakan (mungkin mereka tengah melontarkan lelucon kasar di deret belakang). Ada derit lemari yang dibuka dari sisi kiriku (sepertinya kelompok tekun di deret depan tengah memanfaatkan waktu istirahat untuk membaca buku-buku tebal). Suara papan tulis yang dipukul dengan penggaris besi. Lalu, hening. Kupastikan, kelompok omong besar di deret tengah berniat membahas sebuah berita panas.
“Hei, kau tahu gadis itu? Iya, yang tidak berjilbab juga jerawatan itu! Katanya, nih ….”
Aku beranjak dari tempat bising itu, melewati setapak berhiaskan tanaman pucuk merah.
***
Jadi, apa yang berbeda dari tahun ajaran baru? Apakah itu ketika kau merasa seperti angin yang masuk di sela kerumunan? Apakah itu tatkala kau berjalan tanpa kawan di lorong sekolah yang penuh sesak orang?
Entahlah. Bagiku, masa SMA tidaklah berbeda dengan masa SMP. Semuanya masih sama. Keheningan itu masih sama. Pandangan mencemooh itu masih sama. Kesepian itu masih bercokol di tenggorokanku. Namun, aku tahu yang membuat ini berbeda.
Aku berjalan menuju gudang yang berada di timur sekolah. Sarang laba-laba di sudut-sudutnya. Perabotan rusak mendominasi. Lebih dari setengah ruangan diisi oleh bangku lawas yang telah rusak. Di langit-langit berbentuk kerucut yang dikungkung gelap, tali itu masih menggantung. Belum dipindah kendati empat hari telah berlalu.
Aku tersenyum miris, memandangi tubuhku yang tidak lagi kasat mata.
“Apa aku bakal sendirian lagi di neraka?” (*)
Devin Elysia Dhywinanda adalah hasil hibridisasi dunia Koriya dan wibu yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata