Merindukanmu, Pangeranku

Merindukanmu, Pangeranku

Merindukanmu, Pangeranku
Oleh: Arnosa

Namaku Mira. Aku anak seorang tukang becak yang tinggal di sebuah desa yang indah dan damai. Wajahku tidak cantik, bisa dibilang biasa saja, tetapi kalau tersenyum ada lesung di pipi. Kulitku sawo matang, rambutku panjang sebahu. Aku anak pertama dari 4 bersaudara. Ketiga adikku masih kecil-kecil, yang bungsu masih kelas 2 SD. Sudah setahun lebih aku bekerja sebagai asisten rumah tangga di desa sebelah, membantu Bapak menjadi tulang punggung keluarga.

Aku bekerja di sebuah rumah mewah, rumah yang selama ini kuimpikan. Halaman depan rumah itu begitu luas. Di dalam rumah ada 6 kamar tidur dengan kamar mandi di tiap-tiap kamarnya. Ruang tamunya berisi sofa bergaya Eropa dan di dindingnya terdapat sebuah lukisan. Selain itu majikanku begitu ramah, bernama Ibu Anita dan Bapak Alvian. Mereka mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Namun dari awal aku bekerja di sana, aku tidak pernah bertemu dengan kedua anak mereka. Waktu aku bertanya dengan pembantu yang lain, kata mereka kedua anak itu bersekolah di luar negeri.

Setiap hari aku harus bolak balik dari rumah ke tempatku bekerja. Ingin sekali aku tinggal di rumah besar itu. Sayangnya, aku tidak tega meninggalkan Ibuk sendiri. Ibuk harus mengurus rumah dan ketiga adikku.

Nduk, apa ndak sebaiknya kamu tinggal di rumah majikanmu itu? Ibuk ndak tega kalau kamu harus berangkat pagi, pulangnya malam,” tanya Ibuk.

Ndak usahlah, Buk,” jawabku singkat.

Yowes, terima kasih to Nduk,” kata Ibuk sambil memelukku. Dan tanpa kusadari aku meneteskan air mata. Dalam hati aku berbicara, aku yang harus berterima kasih kepada Ibuk. Engkau begitu tegar dan kuat dalam menjalani hidup ini. Engkaulah pahlawanku, Buk.

***

Suatu hari, saat aku memasak, tiba-tiba Ibu Anita datang menghampiriku dan bertanya, “Masak apa, Mir?”

“Oh, Ibu. Ini, Bu, saya masak sayur asem,” kataku.

“Kamu itu kok pintar masak ya, Mir. Belajar dari mana? Pasti ibumu bangga sekali mempunyai anak sepertimu,” kata Ibu Nita.

“Saya sudah sejak kecil membantu Ibuk memasak, Bu. Karena saya punya tiga adik yang masih kecil, ya mau tidak mau harus turun tangan membantu Ibuk.”

Sambil mengusap kepalaku, Bu Nita berkata, “Seandainya anak-anak Ibu ada di rumah, pasti Ibu senang sekali, tapi mereka punya keinginan untuk mengejar cita-cita mereka.”

Aku melihat ada kesedihan dan kesepian di mata Bu Nita.

“Oh ya, kenapa kamu tidak melanjutkan pendidikan? Ibu dengar nilaimu bagus, dapat tiga besar di sekolah. Apa sekolahmu tidak memberikan beasiswa kepada murid yang berprestasi?” lanjut Bu Nita.

“Kepengennya sih melanjutkan kuliah, Bu, tapi ya bagaimana lagi, uang hasil becak hanya cukup untuk biaya sehari-hari. Lagi pula sekolah hanya memberikan beasiswa kepada siswa yang mendapat peringkat satu saja, Bu,” jelasku

“Seandainya kamu Ibu kualiahin, mau apa tidak? Tidak usah bingung sama biaya kuliah, nanti Ibu yang tanggung semua. Kamu boleh kuliah, tapi yang dekat dengan rumah sini saja, jadi masih bisa bantu-bantu Ibu di rumah.”

“Tapi, Bu. Nanti pekerjan di rumah malah terganggu. Saya jadi tidak bisa bekerja sepenuhnya,” kataku.

“Tidak usah khawatir. Kan masih banyak pembantu yang lain. Masak juga pada enak, tapi tidak seenak masakanmu sih, Mir,” ucap Bu Nita sambil tertawa.

“Ini beneran toh, Bu?”

“Loh, ya benaran. Apa wajah Ibu ini kelihatan lagi bercanda?”

“Terima kasih, geh, Bu. Saya senaaang sekali bekerja di sini. Ibu begitu baik sama saya dan keluarga,” ucapku yang tak mampu menggambarkan betapa bersyukurnya aku saat ini. Oh, Tuhan. Mimpi apa aku semalam. Begitu banyak nikmat yang kau berikan melalui perantaraan Bu Nita. Tak henti-hentinya Engkau memberikan nikmat pada hamba-Mu ini.

***

Aku kayuh sepedaku dengan cepat biar segera sampai di rumah. Ingin memberitahukan kabar gembira ini pada Ibuk dan Bapak. Maka sesampai di rumah aku langsung memanggil Ibuk.

“Eee, udah malem kok teriak-teriak ki, ada apa, to?” tanya Ibuk heran.

“Ibuk, aku ada kabar gembira.”

“Kabar gembira opo, Nduk?”tanya Ibuk yang masih bingung.

“Aku mau dikuliahin sama Bu Nita, Buk. Aku kuliah sambil kerja di rumah’e Bu Nita, Buk,” kataku.

“Ooooh, Ya Allah …. Terima kasih, Ya Allah. Engkau telah menjawab semua doa hamba.” Ibuk menangis dan memelukku.

Ki ada apa to, kok kalian berdua ki nangis?” tanya Bapak heran.

Ki loh, Pak, anakmu dikuliahin sama Bu Nita, majikannya Mira,” jelas Ibuk mendahuluiku.

“Alhamdulillaah, Ya Allah. Nduk … kamu harus sekolah yang bener. Jangan kecewain Bu Nita. Kamu juga harus inget, kamu ini bukan anak orang kaya. Jadi jangan sok-sokan kalau sudah kuliah nanti. Kejar cita-citamu setinggi langit. Tapi, jangan sampai lupakan Bapak dan Ibuk d rumah yooo. Seperti pepatah Jowo, jo koyok kere munggah bale. Kita harus ingat, kita berasal dari mana,” ucap Bapak menasihatiku.

Geh, Bapak. Cita-cita saya tetap kok, Bapak, ingin membahagiakan Bapak dan Ibuk,” sahutku sambil memeluk mereka berdua.

***

Aku sudah kuliah semester akhir dengan selalu mendapat IPK cum laude. Bu Nita begitu bangga padaku dan merasa rugi telah menyekolahkanku. Sampai-sampai waktu ada acara dengan teman-temannya, Bu Nita mengajakku ikut serta dan membelikanku baju bagus. Sekarang pekerjaanku tidak lagi memasak di dapur karena Bu Nita tahu kalau kuliah semester akhir itu banyak sekali tugas. Jadi tugasku hanya membersihkan rumah saja.

Aku mengambil jurusan design mode untuk mengembangkan bakatku yang suka menggambar dan menjahit. Aku tidak tertarik dengan pekerjaan sebagai PNS, karena aku tidak ingin menjadi pegawai. Aku ingin menjadi bos. Dan Bu Nita sangat mendukungku, bahkan beliau juga menawarkan ruko miliknya yang belum terpakai untuk dijadikan butik untukku kalau aku sudah selesai kuliah nanti.

“Mir, kamu ada waktu libur kuliah apa tidak?” tanya Bu Nita.

“Sepertinya minggu depan Mira libur dua minggu, Bu. Ada apa ya, Buk?”

“Oh, kebetulan. Ini loh, Ibu mau jemput Bian di bandara. Kamu bisa temani Ibu?”

“Bisa, Bu. Tapi … Bian itu siapa ya, Bu? Saya kok baru dengar nama itu,” tanyaku penasaran.

“Bian itu putra Ibu, yang kuliah di luar negeri. Dia libur kuliah. Jadi dia pulang, kangen Ibu, katanya,” jelas Bu Nita sambil tersenyum senang.

“Oh, siap, Bu,” jawabku yang juga ikut senang melihat senyum Bu Nita.

***

Aku tak tahu seperti apa wajah Bian. Saat perjalanan Bu Nita bercerita kalau Bian begitu pendiam, belum pernah pacaran sampai sekarang. Hanya fokus sekolah saja. Aku jadi penasaran, bagaimana wajah dari Bian ini. Kalau dilihat dari wajah Bu Nita dan Pak Alvian, mereka pasangan yang ideal: cantik dan tampan. Pasti anaknya juga ganteng. Aku jadi tersenyum sendiri membayangkannya. Namun, aku langsung tersadar. Siapa aku? Bagaikan pungguk merindukan bulan. Meski begitu aku berkata dalam hati, seandainya aku adalah Cinderella, yang punya ibu peri di sampingnya, pasti aku senang sekali.

Sesampainya di bandara, aku yang berjalan di belakang Pak Alvian dan Bu Nita celingukan mencari yang namanya Bian. Karena tidak melihat depan, aku tidak tahu kalau Pak Alvian dan Bu Nita berhenti, sehingga tanpa sengaja aku menubruk mereka. Malunya aku. Lantas saat aku kembali memusatkan pandangan ke depan, aku begitu terpana, bagaikan melihat seorang artis datang di depanku. Ya, itulah Bian. Dia begitu tampan. Kulitnya putih, tatapan matanya tajam bagai elang, rambutnya hitam lurus, hidungnya mancung dan tubuhnya tinggi tegap.

Oh, hati ini langsung meleleh saat dia menyapa dan tersenyum kepadaku. Dia begitu cool, dingin seperti salju. Aku ingin berbincang banyak dengannya, tetapi langsung jadi pendiam. Beku.

Saat perjalanan pulang, walau dia ada di sampingku, dia tidak bertanya apa pun kepadaku.

***

Setelah menjemput Bian, beberapa minggu aku izin tidak masuk kerja, tugas kuliah di semester akhir menumpuk dan harus diselesaikan. Saat aku kembali bekerja, tidak sengaja aku berpapasan dengan Bian. Aku menyapa dengan begitu percaya diri, tetapi dia hanya membalas dengan senyuman simpul.

Aku sedikit kecewa. Sebetulnya aku ingin sekali berbincang-bincang dengannya, menanyakan seperti apa kehidupan di London, bagaimana orang-orangnya, bagaimana cuacanya, dan banyak lagi.

Maka saat bersama Bu Nita, aku iseng-iseng bertanya kenapa Bian cuek seperti itu. Kata Bu Nita, ya memang anaknya seperti itu, tapi kalau sudah kenal, dia akan banyak bicara.

Setelah mendapat sedikit bocoran, aku memberanikan diri untuk dekat dengan Bian, menanyakan semua yang ada di pikianku.

“Pagi, Mas?” tanyaku.

“Pagi,” jawabnya singkat.

“Oh ya, Mas. Kata Ibu, Mas kuliah di London ya?”

“Iya, kenapa?” dia balik bertanya.

“Nggak. Hanya ingin tahu ceritanya saja, di London itu seperti apa. Hehe ….” kataku agak kikuk.

Awalnya Bian tidak terlalu merespons atau menjawab dengan jawaban singkat, tetapi kini dia menceritakan tentang London, kuliahnya dan kehidupannya di sana dengan antusias. Aku mendengarkan dengan saksama, sambil menikmati paras tampan Bian. Sampai akhirnya Bian mengagetkanku.

“Halo ….” Aku tersadar dari lamunanku. “Yah, jangan-jangan aku cerita panjang kali lebar tadi tidak kamu dengarkan ya?” Dia kelihatan kesel dan ingin berdiri. Tanpa sadar aku langsung memegang tangannya untuk menahanya agar tidak pergi.

Dia tersentak dan menatapku. Hening. Kami sama-sama diam saat tatapan kami bertemu. Ya ampun, bagaimana bisa aku selancang ini. Buru-buru aku melepas peganganku.

“Ngobrol apa sih? Kok kelihatannya asyik banget, sampai-sampai Ibu tidak digubris,” kata Bu Nita menggoda kami berdua.

“Ini loh, Mira, kepengen tahu London itu kayak apa. Terus aku cerita panjang kali lebar dianya malah melamun, Ma,” sahut Bian.

Aku tertunduk malu mendengar betapa jujurnya ucapan Bian kepada Bu Nita.

“Oh ya, Mir, kuliahmu sudah selesai ini, kapan yudusiumnya?” tanya Bu Nita.

Geh, Buk, sudah. Insyaallah, minggu depan sudah yudusium, dan rencananya tanggal 20 ini wisudanya, Buk,” kataku.

“Alhamdulillah kalau begitu. Oh ya, Bian. Nanti kalau si Mira wisuda kamu ikut ya?”

Mataku terbelalak mendengar pertanyaan Bu Nita barusan, terlebih Bian tak langsung menjawab. Dia seperti menimbang-nimbang, dan itu membuatku berdoa dalam hati agar dia mau ikut.

“Iya, Ma, insyaallah,” ucapnya yang membuatku merasa melayang saat ini juga.

***

Tidak terasa, aku sudah wisuda. Aku bahagia karena sudah menyelesaikan kuliahku dan membuat keempat orangtuaku bangga. Aku mendapat peringkat pertama, nilaiku sempurna dengan IPK 4,00. Bu Nita dan Pak Alvian bahkan memberikan ruko sebagai hadiah buatku. Yang tidak pernah aku lupa, saat aku dipanggil dan mendapat peringkat pertama, Bian berdiri membawa buket bunga mawar merah yang indah sekali. Oh, Ya Allah, hati ini semakin tak menentu. Aku membayangkan kalau Bian mengambil mikrofon dan melamarku saat ini juga. Maka jika itu terjadi, aku akan mengangguk segera. Namun sayangnya, itu hanya bayanganku semata.

Setelah acara wisuda selesai, keluargaku sibuk membuat acara syukuran di rumah. Bian, Bu Nita dan Pak Alvian dan teman-teman pembantu yang bekerja bersamaku juga hadir di acara ini. Namun, ada satu hal yang tak pernah aku duga. Kehadiaran Bian tak semata-mata untuk menghadiri acara syukuran wisudaku, dia datang untuk melamarku. Memintaku secara langsung kepada Ibuk dan Bapak.

***

“Hati-hati di rumah ya, Mir. Kalau bekerja jangan terlalu capek. Ingat setiap jam harus menelepon aku. Dan satu lagi, kamu harus setia meunggu aku pulang ya?” kata Bian sambil mencubit hidungku yang pesek ini.

“Iya, Mas. Aku akan selalu ingat pesanmu. Aku akan setia menunggumu pulang. Kamu jangan tergoda dengan wanita bule di sana ya?” candaku. Bian mencubit pipiku, lalu mencium keningku.

Hari ini dia berangkat ke London untuk menyelesaikan studi S-2-nya yang kurang dua semester lagi. Rencananya, setelah masa kuliahnya selesai, kami baru akan menikah. Maka sampai saat itu tiba, aku akan menunggunya sambil mengurus bisnis baruku, yaitu Boutique Miryan. Walaupun aku sedikit khawatir karena di London tentu banyak wanita cantik, tetapi aku mengenal Bian meski itu hanya melalaui perkenalan singkat.

 

Arina Novita Sari dilahirkan di Nganjuk, pada 9 November. Dia salah satu guru SD di Kota Kediri, Provinsi Jawa Timur. Belum punya karya buku sama sekali. Tapi, dia mempunyai keinginan kuat untuk menghasilkan sebuah karya yang indah. Yang bisa membuat orang lain mengenang tulisannya. Yang ingin membuat generasi kita menjadi generasi yang literat dengan karya-karyanya. Ia sedang proses menulis novel pertamanya yang diberi judul, Jiwaku Ingin Menjadi Istrimu. Semoga novelnya bisa terselesaikan tepat waktu.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata