Sebuah Map

Sebuah Map

Sebuah Map
Oleh: Suharti

Aku masih termenung, berdiam diri sampai kelas ini benar-benar sepi. Satu per satu teman sekalasku mulai beranjak pergi untuk pulang. Namun, entah kenapa rasanya aku malas untuk beranjak dari kursi yang kududuki, ini terlalu nyaman dan lagi di indekos tidak ada Vira, temanku. Dia masih ada MK.

Aku merasa hidupku membosankan hanya bangun, pergi belajar, pulang, melakukan aktivitas biasa dan makan. Hampir 80% waktu kuhabiskan di indekos. Aku tidaklah seperti remaja umumnya yang berjalan ke sana sini untuk menghabiskan waktu dengan suatu hal, yang bagiku hanya menguras uang, lebih baik diam di indekos.

Karena kelas ini sudah benar-benar sepi, aku mulai beranjak meninggalkan kelas, tetapi sebelum aku benar-benar keluar, tak sengaja ekor mataku menangkap ada sebuah map di meja barisan belakang ke tiga, tepatnya di barisan meja sebelahku.

Aku baru sekitar dua bulan belajar di sini, aku anak daerah yang kuliah di kota untuk mencari pengalaman. Palembang kotaku, asalku, tanah kelahiranku. Jadi aku tak terlalu dekat dengan teman sekelas, bahkan cuma beberapa nama saja yang kuhafal.

Aku mendekati map itu. “Afdol” nama yang tertera di map. Kuangkat, mencoba mengetahui apa isi dari map yang sekarang berada di tanganku ini.

“Apa ini …,” ucapku setelah melihat isi dari map itu. Sebuah kertas putih yang terdapat tinta print, ada beberapa lembar.

Seperti cerpen, pikirku

Aku mulai mendudukkan diri, untuk lebih fokus membaca sebuah cerpen yang di buat oleh Afdol. Beberapa menit kemudian setelah kubaca, tulisannya bagus, pas untuk seseorang penulis. Dengan kata yang tertata rapi, pemakaian dialog tag, semua bagus dan lagi terdapat banyak kata-kata yang bisa dibilang quote ini sangat mengagumkan. Ada seorang penulis di kelas ini, selain diriku yang penulis abal-abal.

Tak terasa aku tersenyum.

“Permisi,” sebuah suara mengintrupsi kepalaku untuk mendongak.

“Maaf, itu map saya,” ucapnya lagi

Aku masih terdiam, memperhatikan orang yang tiba-tiba datang dan menyapaku. Tidak, lebih tepatnya mengaku bahwa map ini miliknya.

“Halo,” ucapnya sambil menggerakkan tangan kanannya ke kanan dan kiri di depan wajahku.

“E … eh. Iya,” ucapku gugup. “Ini mapmu?”

“Iya, itu mapku, tadi tertinggal,” jawabnya.

“O, ini. Maaf aku lancang membaca isinya,” ucapku sambil menyerahkan map itu kepadanya.

“Tidak apa, ini juga tidak rahasia.”

“Kamu, menulis?” tanyaku.

Ia hanya tersenyum dan mengangguk.

“Waw.” Senyumku langsung terbit. Aku akan mempunyai patner menulis dan itu teman sekelas. Ini hebat!

“Salam kenal, saya Vera. Saya juga hobi menulis,” ucapku sambil menangkupkan kedua tanganku di depan dada.

“Salam kenal, saya Afdol. Kebetulan sekali,” tatanya sambil menangkupkan tangan sepertiku tadi.

Kami sudah keluar dari kelas, berjalan beriringan menuju area parkir sambil terus berbicara masalah kepenulisan. Ternyata dia banyak ikut komunitas menulis di Palembang.

“Ya, aku  kira-kira 2 tahun ini sudah terjun ke dunia kepenulisan. Awal-awalnya aku nulis juga sering berhenti di tengah jalan. Ya gitu … masalah penulis karena kehabisan ide, suka down, masih labil gitu. Tapi aku paksa buat terus nulis dan akhirnya aku ikut-ikut grup kepenulisan dari media sosial sampe bisa ikut komunitas. Karena dukungan dari mereka, aku tambah semangat karena kami juga suka melakukan tour untuk mencari inspirasi, nggak harus mumet di kamar terus,” ucapnya panjang lebar. Aku hanya mengangguk saja.

“Berkesan sekali, kalo aku sih baru 1 tahun ini. Aku juga ikut grup chat, tapi ya itu, sampai sekarang aku belum nemu sama grup yang bener-bener serius. Jadi ya aku gini-gini aja, membosankan,” kataku.

“Hehehe … harus semangat dong. Pantang menyerah, berkarya itu nggak harus orang yang memulai, tapi diri kita sendiri.”

“Nah, gimana kalo kamu gabung di komunitas yang aku ikutin aja. Kebetulan aku juga bagian yang ngatur member baru,” lanjutnya.

“Benarkah, boleh?” tanyaku.

“Iya boleh, siapa yang melarang kreativitas anak bangsa.” Dia tersenyum. “Lain kali jika ada perkumpulan, aku akan mengajakmu. Kau mau, kan?”

“Tentu saja, dengan senang hati,” jawabku gembira.

Tak terasa kami telah sampai di parkiran dan berpisah setelah bertukar kontak untuk membicarakan ini di lain waktu.

Beberapa minggu kemudian, aku sudah akrab dengannya. Bergabung di komunitas penulis Palembang. Bagiku ini adalah pengalaman pertama. Silaturahmi kami terus berlanjut, saling menginformasikan jika ada event-event menulis.

 

Suharti, penulis pemula asal Palembang yang kini berusia 18 tahun.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata