Patahan Sayap yang Terabaikan

Patahan Sayap yang Terabaikan

Patahan Sayap yang Terabaikan
Oleh: Wiwin Isti Wahyuni

Kau bertanya, apakah aku pernah merasakan hatiku sakit. Mengeluh dalam amarah tak berkesudahan. Kujawab iya, tak cuma sekali, bahkan berkali-kali aku dibohongi, disakiti, dirajam kata hingga berhenti pembuluh nadi.

Lantas aku tengadah, kuhirup udara kuat-kuat hingga masuk ke dalam paru-paruku, menyebar dalam aliran darahku. Bebas … membayangkan bagaimana Sang Khalik, pemilik hidup dan matiku, yang sering kali kuabaikan dalam kenikmatan dunia. Kubohongi ribuan bahkan jutaan kali dengan janji taubat yang kemudian sering kuingkari dan sembunyi dalam kata khilaf, masih saja dan terus membuka pintu taubat, pintu maaf, dan memberiku nikmat tanpa jeda.

Lantas aku … yang terabai satu dua kali, yang mendengar caci masih dengan spasi, terus saja mengeluh, berpeluh. Ah, apalah semua ini, aku menghirup udara bebas kembali. Bebas tanpa amarah, tanpa sakit, lantas kembali liar mengurai imaji.

“Aku suka caramu bangkit, Dek.”

Aku tersenyum, mengulurkan bahu di tangan-tangan lemah tanpa daya, atau memapah lengan-lengan tanpa kata … hidupku terasa lebih indah, hidupku terasa lebih hidup.

“Bukan kalian yang mengabaikanku, tapi aku yang ingin pergi, agar kalian bebas dari masalah yang tak semestinya.”

Kalimat itu mengawali perjalananku selanjutnya. Menyempurnakan keihklasan dalam melupakan. Meniti tiap pagi dengan rengkuhan sayap malaikat. Tak sekadar mendengar keluh, sesekali aku mengusap peluh. Kelelahan tampak dari mata-mata yang berkaca. Ibu-ibu yang patah karena tak sempurnanya tumbuh kembang para buah hati. Kakek nenek yang berangkat senja tanpa rengkuhan kasih generasinya. Marahkah mereka pada takdir. Cemburukah mereka pada yang sempurna tanpa cela.

Kuangkat sayap yang tersisa dari patahan kemarin. Mendongak untuk kemudian menunduk. Aku diberi Allah SWT kekuatan lebih untuk merangkul kesedihan, membuka mata dan hati lebar, agar tidak larut dalam alur kisah yang monoton.

Tak penting lagi kini bagiku hadirmu, abaimu, atau caci-makimu. Karena tanpamu aku mampu, meski perlu beribu kisah patah untuk mengusir kenangan yang tercipta sempurna antara aku dan kau.

Jika masih kau tanya, apa aku pernah sakit. Kujawab pasti … sakit itu membuatku memahami betapa berartinya hidupku bagi orang lain, bagi sekitarku, bagi duniaku, bukan hanya sekadar bagi seorang ‘mu’ saja.

 

Kediri, 11 Januari 2019

Wiwin Isti, perempuan yang pernah menjadi terhebat dalam kisahmu.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata