Pahlawan Ilmu

Pahlawan Ilmu

Pahlawan Ilmu

Oleh: Asrunalisa

“Mereka itu istimewa, lho. Di balik ketidakmampuannya dalam beraktivitas sebagaimana orang biasa, mereka mampu melakukan hal-hal yang unik.”

Aku masih ingat kata-kata Bu Silvi kemarin. Beliau adalah kepala sekolah di SLB tempat aku mengadakan penelitian. Dia sempat menceritakan kenapa memilih mengabdikan diri di sekolah seperti ini, kenapa bukan di sekolah biasa saja. Aku terkejut mendengar jawabannya, “Karena anakku juga bagian dari mereka,” kata Bu Silvi saat itu.

Tidak mudah bagi seorang guru mengabdikan dirinya di sekolah seperti ini. Begitu banyak perjuangan yang harus ditempuh oleh seorang guru, dan ini juga terjadi pada Bu Silvi dengan memutuskan untuk mengajar di sini. Namun sempat menyerah dalam mengajarkan anak-anak luar biasa, karena interaksi dengan mereka tidak mudah. Butuh teknik tertentu dan kesabaran ekstra sampai akhirnya Bu Silvi yakin untuk terus mengajar dan menjadi kepala sekolah.

O iya, perkenalkan namaku Intan Rosella Putri. Orang-orang sering memanggilku Intan. Aku seorang mahasiswi yang sedang duduk di bangku kuliah S1 Pendidikan Luar Biasa. Sekarang ini aku sedang mengadakan penelitian di sebuah Sekolah Luar Biasa di Makassar. Banyak sekali hal yang aku dapat di sana. Mereka memang unik dan istimewa.

Aku pernah melihat dan memperhatikan seorang siswi duduk di teras ketika jam istirahat. Di pangkuannya ada selembar sapu tangan yang dihimpit dengan sebuah ram, dan di tangan kanannya yang agak pendek dan bengkok ke dalam, memegang jarum dan benang sulam yang menjuntai. Dia mengambil sapu tangan di pangkuannya dengan tangan kiri lalu menekannya pula dengan tangan dan dagunya. Ah, ternyata dia ingin menyulam, pikirku.

Kembali kuperhatikan gerakannya. Sedikit lambat, tetapi cekatan. Dia menusukkan jarum ke salah satu sudut sapu tangan hingga keluar ujung jarum itu pada bagian bawah. Lalu dia menusuknya lagi dari bawah dan ujung jarum keluar dari atas, dan dia membuat jarak agak besar sebelum menusukkan kembali jarum ke sapu tangan tersebut, begitu seterusnya. Wajahnya tampak serius dengan bibir yang menyunggingkan senyuman indah. Rasanya aku tahu, dia sedang membuat itu untuk seseorang.

Mereka mampu melakukan hal-hal yang sangat luar biasa, di antaranya ada yang mampu melukis walaupun kedua tangannya tidak sempurna. Ada yang pandai menciptakan puisi, padahal dia seorang siswa tuna netra dan hanya duduk di kursi roda, namun imajinasinya mampu mengalahkan yang lain. Aku kagum sama mereka. Di samping itu, aku juga salut dengan para guru yang mengajar di sekolah tersebut. Mereka terus berjuang dalam mencerdaskan anak bangsa. Para guru mendidik siswanya dengan penuh kesabaran. Sungguh pelajaran berharga yang aku dapatkan dari mereka.

Dulu, semasa kecil aku sering bertanya-tanya tentang mengapa aku ada, mengapa semua ini ada. Siapa Pencipta kita, kenapa kita diciptakan. Bagaimana dan untuk apa kita belajar, mengapa begini, mengapa begitu, dan begitu banyak pertanyaanku. Lalu terbukalah gerbang ilmu di saat aku diterjunkan ke dunia sekolah. Di sekolah aku mulai mengenal guru, muncullah pahamku teranglah hatiku. Karena usaha para guru dalam mengajarkan untuk mengerti makna kehidupan. Guru merupakan pahlawan ilmu. Dan, kini pun aku sedang belajar menjadi seorang guru. Semoga aku mampu.

***

Mentari kembali menyelimuti pagi. Cahayanya masih malu-malu menyinari sang bumi. Sejuknya angin pagi menambah semangat kembali. Kuteguk segelas susu penambah energi, lalu aku melangkah pergi menimba ilmu yang harus kutuai sejak dini. Segenggam harapan yang selalu menjadi motivasi untuk meraih cita-cita.

Hari ini aku tidak boleh terlambat. Karena di sekolah akan ada acara peringatan “Hari Guru”. Hari ini juga merupakan hari terakhirku berada di SLB ini. Setiba di sekolah, aku langsung disambut oleh wajah garang berkumis tebal. Aku hanya melempar senyum padanya yang selalu setia menjaga pintu gerbang setiap pagi. Dia adalah seorang satpam di SLB ini, namanya Pak Kodir.

Aku melanjutkan langkahku menuju ruang guru. Mataku terpaku pada benda-benda unik yang terletak di mejaku. Siapa yang melakukan ini semua? Tanpa terasa butiran bening membasahi pipiku. Kuraih satu per satu benda tersebut. Ada berupa rangkaian bunga disertai nama dan ucapan terima kasih. Ada pula bingkai foto yang terbuat dari hiasan biji-bijian, serta ada hiasan sulaman pada sehelai sapu tangan. Aku terharu dengan semua ini. Karyanya begitu indah. Begitu banyak bingkisan kreasi dari siswa-siswi, padahal mereka berbeda dari yang lain. Namun mereka mampu melakukan hal di luar dugaanku. Mereka juga telah mampu membuka mata hatiku dalam menjalani hidup.

“Guruku”

Mentari menyelimuti pagi

Tak letih kau melangkah menuai hari

Dengan sepenuh hati untuk memberi sejuta inspirasi

Niatmu sungguh mulia

Kau datang dengan tekad mencerdaskan anak bangsa

 

Kau kenali kata untuk membaca

Membuka jendela dunia

Bagai mentari yang menyinari bumi

Pemberi tanpa harap kembali

 

Tekadmu membangun generasi

Tak gentar bila dicaci maki

Hatimu lembut, niatmu tulus dan suci

Sabarmu selalu menjadi pembersih hati

Terima kasih guruku

Kami tak mampu berbalas budi

Hanya doa pada Ilahi

Semoga hidupmu selalu diberkahi

Para guru saling menjatuhkan mutiara bening di pipinya setelah mendengarkan sebuah puisi dari seorang siswa tuna netra berkursi roda. Dia memang ahli dalam merangkai kata, mampu meluluhkan jiwa.(*)

Tentang Penulis:

Asrunalisa, wanita yang suka membaca dan selalu mencoba menuangkan imajinasinya dalam bentuk rangkaian kata. Lahir di tanah serambi mekkah, 6 Mei silam. Mencoba kuat dalam menjalani kehidupan, dengan tersenyum semua itu tidak terasa berat. Selalu berusaha menebar kebaikan, karena itu merupakan sebagai pengingat bagi dirinya sendiri. FB: Asrunalisa Asnawi

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata