Halusinasi
Oleh: Fitri Fatimah
Abang bilang ini karena aku sering lembur, karena aku sering pulang malam, karena aku kecapaian lalu berhalusinasi. Padahal sudah kukatakan kepadanya berulang kali aku sama sekali tidak berhalusinasi. Yang kulihat, yang kudengar, yang kualami semalam itu nyata. Benar-benar ada hantu di pintu rumah kami. Namun Abang tidak percaya. Katanya, oh, hantu memang ada, tapi ngapain dia menghantui rumah kita? Ngapain cuma mampir sampai pintu, kenapa tidak sekalian bertamu ke dalam, kelakarnya, mengira bisa menghiburku. Sungguh, Bang, aku akan lebih terhibur kalau kamu percaya saja padaku. Lagian ke mana kamu semalam saat aku teriak-teriak dan berlari sampai sembunyi di kolong ranjang? Abang jangan nongkrong sama teman-teman Abang melulu. Mereka teman-teman yang tidak baik. Lebih baik Abang fokus cari kerja.
Abang melengos dan melepas lengan yang dari tadi kubikin bantal.
“Maaf, aku tidak bermaksud ….”
Abang tidak mau mendengarkan dan hanya berjalan meraih handuk di cantolan. Suaranya dingin, “Tenang, Dek, Abang masih berusaha kok, buat nyari kerja. Abang tahu diri untuk tidak numpang pada hasil kerjamu. Lagian apa kata tetangga nanti, masak yang jadi tulang punggungnya malah si istri. Abang mandi dulu, mau berangkat cari kerja.”
“Tapi kan ini Ahad. Temani Adek sajalah, Bang. Lagian mana ada kantor buka hari ini.”
“Paling tidak Abang udah nyoba. Lagian Abang kan masih belum karyawan. Jadi tidak punya hari libur tertentu; tiap hari bisa jadi hari libur, atau tiap hari bisa hari cari kerja.”
Aduh. Abang selalu sensitif kalau sudah urusan pekerjaan. Bahkan kadang aku merasa bahwa Abang seakan-akan tidak menerima aku yang lebih dulu mendapatkan pekerjaan sementara Abang terus ditolak. Aku sempat merasa tidak enak. Namun masak aku harus mundur dari pekerjaanku demi tidak melukai egonya sebagai laki-laki? Aku mencintai pekerjaan ini. Dan kami juga jelas butuh uang untuk kehidupan mandiri kami sebagai pasangan suami istri baru. Aku harap Abang lekas mengerti.
***
Lagi-lagi aku mengalaminya, apa yang Abang sebut halusinasi, tetapi sumpah ini bukan. Ini juga bukan mimpi—aku sudah mencubit lengan—lagi pula mana bisa bermimpi kalau kamu belum tidur. Hampir tengah malah aku baru pulang dari kantor, baru menyampirkan tas, ketika bunyi kelontang itu kembali terdengar, bunyi yang seperti kaleng dan benda seng beradu. Meski aku tahu bahwa yang selanjutnya adalah lampu rumah yang akan mati hidup, tetapi tak urung ketika ruangan berubah gelap, jantungku berdentam keras oleh rasa terkejut. Aku ingin berlari dan sembunyi di kolong ranjang, seperti kemarin, hanya saja kakiku seakan terpasak di lantai, aku bahkan tak bisa berteriak sekedar memanggil Abang, seolah ada batu yang menyumbat tenggorokanku. Hanya keringat yang membanjir.
Lalu ketika seakan-akan semuanya kembali normal; suara kelontang berhenti, lampu tak lagi berkedip-kedip, hanya ada sunyi, sunyi mencekam yang seperti tenang sebelum badai, tiba-tiba sosok itu muncul di ambang pintu.
Mula-mula adalah bayangan kepala, lalu perlahan bayangan itu makin memanjang, terus memanjang hingga menutupiku dengan hitam. Bayangan sosok besar. Hal terakhir yang kuingat sebelum roboh dalam ketidaksadaran adalah lengking suaraku yang akhirnya bisa terlepas, memanggil Abang. Bang, kamu ke mana saat aku butuh?
***
Ketika aku terbangun keesokan harinya Abang duduk di samping ranjangku, tampak kalut. Saat sadar bahwa aku sadar, Abang langsung mendekapku. “Apa sudah Abang bilang. Nggak ada lagi lembur-lembur. Abang nggak mau Adek sampai halusinasi dan pingsan begini. Kalau Adek nggak nurut, mending Adek berhenti kerja aja.”
Aku ingin membantah, tetapi aku sudah tak punya tenaga. Entah benar itu hanya halusinasi atau bukan, aku terlalu takut untuk memikirkan ada kemungkinan kejadian itu terulang, sehingga bahkan aku akan memakan mentah saja alasan apa pun yang bisa mendatangkan bayangan menyeramkan itu, betapa pun tidak masuk akal. Halusinasi? Aku tidak gila, Bang.
***
Percaya atau tidak, setelah aku mengikuti perkataan Abang, kejadian itu tidak pernah terulang lagi. Aku mungkin masih sering dihantui perasaan takut ketika melewati pintu rumah. Namun bagaimanapun, kejadian itu tidak pernah terulang lagi, jadi aku baik-baik saja. Atau paling tidak begitu kukira. Ah, sudahlah, berhenti paranoid, ada banyak hal yang lebih mendesak untuk dikerjakan, membersihkan rumah di akhir pekan misalnya. Aku mencari kain pel dan bak yang biasanya diletakkan di gudang.
Hah, memangnya Abang sering nongkrong di gudang sampai banyak puntung rokok di sini? Aku merutuk sambil jongkok memungutnya satu per satu. Mungkin karena agak penat, tak sengaja lututku membentur kaleng bekas cat, membuatnya berkelontangan dan—jantungku seakan kehilangan irama, keringat dingin tiba-tiba mengalir di tengkukku. Bunyi ini, persis seperti ….
Aku berlari menghambur keluar. “Abang, Abang! Bangun! Di gudang ada—“ aku mendengar langkah Abang yang tergesa-gesa, tetapi sebelum aku melihat sosoknya, aku terlebih dulu melihat bayangannya yang muncul di ambang pintu. Bayangan hitam yang besar. Bayangan yang sama persis dengan—oh! Sebuah kesadaran menghantamku.
Sumenep, 17 November 2018
Fitri Fatimah, kelahiran Sumenep, 1996. Suka membaca dan mencoba menulis. Cerpennya pernah dibukukan dalam antologi bersama Bias Nyata (Intishar Publishing) dan Kisah Tengah Malam: 13 Purnama dan Orang-Orang Bermata Kelam (Hazerain).
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata