Perbedaan

Perbedaan

Perbedaan
Oleh : Cahaya Fadillah

Ini kisah tentangku, kisah seorang anak yang berbeda dari saudara lainnya. Kenapa aku bilang berbeda? Baca kisahku sampai selesai, lalu kubiarkan kau mengambil kesimpulan tentang aku.

Aku dan ketiga saudaraku dibesarkan dalam kehidupan sederhana. Tidak semua yang kami inginkan dengan mudah kami dapatkan. Namun, kami bersyukur memiliki Papa yang sangat bertanggung jawab. Urusan sekolah dan menimba ilmu Papa orang yang selangkah lebih maju dari yang lain, selagi kami mau belajar Papa akan mati-matian memeras keringat untuk hasilkan pundi rupiah demi masa depan kami yang lebih baik.

Aku bangga pada Papa dan Mama, beliau bisa dibilang tidak mengenyam pendidikan. Di usia muda sudah sibuk dengan riuhbya dunia, bangsu sekolah dasar pun tidak pernah selesai ia jalani. Beruntung, Papa dan Mama masih bisa membaca dan menulis. Papa dan Mama juga seorang yang mau belajar, dari belia mereka sudah sibuk dengan hingar bingar pasar. Ya, berjualan adalah suatu kewajiban yang harus kami pelajari dan wajib bisa sebagai ‘orang Padang’.

Di usia beranjak remaja Papa dan Mama memilih untuk menekuni keterampilan menjahit. Di sanalah jodoh mempertemukan, hingga suatu hari mereka menikah dan lahirlah kami keempat anaknya.

Kakak sulungku adalah laki-laki, ia seorang pemimpin untuk kami ketiga adik perempuannya. Abang kupanggil demikian, ia adalah seorang yang paling cerewet demi kebaikan kami adik perempuannya.

Kakak keduaku seorang perempuan, ia bisa kujadikan sebagai ibu kedua. Ia tempatku bermanja, tempatku berbagi suka dan duka. Tempat mencurahkan apa saja.

“Kamu mau jadi apa?” tanya Papa suatu hari kepada kami berempat di ruang tamu sambil menikmati camilan buatan Mama.

Semua terdiam dengan pertanyaan Papa. Abangku bilang, “Aku mau jadi orang sukses.

“Berdagang?” tanya Papa sekali lagi.

“Hmm. Mungkin lewat itu kata Abang dengan semangat.”

“Kalau kamu?” tanya Papa kepada kakak perempuanku.

“Sama kayak Abang aja, Pa,” ucap Kakak datar.

Mata Papa mulai melirik ke arahku, sebuah pertanyaan yang sama terdengar menyesakkan. Aku sama sekali tidak hobi berdagang seperti kebanyakan orang Padang. Mungkin, aku satu-satunya yang tidak pandai. Aku lebih menyukai kerja di kantoran. Memakai seragam, high heels, make-up dan dandanan yang selalu rapi. Duduk di belakang meja kerja dan menandatangani proposal atau laporan yang masuk. Rasanya menjadi CEO atau kepala direksi dalam pada sebuah perusahaan sudah cukup menyenangkan untuk tingkat khayalanku saat ini.

“A—aku ingin jadi penulis,” ucapku ragu-ragu.

Semua mata terbelalak mendengar jawabanku. Apa bedanya denganku? Dalam pikiranku seorang pemilik perusahaan yang maju dengan fashion yang wah adalah impianku. Tetapi, mulutku malah menjawab berbeda. Apakah hatiku yang berkata demikian? Penulis? Apa aku bisa?

Gelak tawa yang mengambang terdengar menyakitkan di langit-langit ruangan. Batinku terasa disayat.

“Penulis? Mau jadi Penulis katamu?” tanya Papa memastikan keinginanku.

Aku mengangguk sambil menutup kedua mataku. Mungkin jawaban yang kusampaikan tadi bukan perintah otak, tetapi hatiku. Ya, hatiku yang selalu berkata menjadi penulis itu menyenangkan. Bukankah pekerjaan yang baik itu adalah hobi yang dibayar?
Papa tergelak lagi, kali ini suara gelaknya cukup membuat aku frustrasi. Aku berlari ke kamar menangis sejadi-jadinya. Lalu bertanya lagi pada diri. Apa iya aku ingin jadi penulis? Menulis saja aku tidak pernah. Ah, gila.

***

“Selamat, Sayang. Akhirnya kamu diwisuda. Ini untuk kedua kalinya. Semoga ilmu yang didapatkan selama ini berkah dan dapat digunakan sebaik-baiknya,” ucap Papa saat menghadiri acara wisuda keduaku di tanah Sunda.

Waktu berlalu, bertahun-tahun berjalan begitu cepat sejak Papa bertanya mau jadi apa aku. Menulis mulai sering kulakukan, menulis di buku, blog pribadi yang tidak pernah aku post. Semua tulisan hanya menunggu antrian di draft blog yang pertama kali kubuat. Beberapa puisi sudah mulai kutulis. Nasibnya sama hanya menjadi sebuah coretan di buku-buku kuliahku saja.

Seringnya dilihat lewat status di media sosial. Hingga seseorang berkata, “Dek, dirimu cocok jadi penulis. Semua tulisanmu membuatku hanyut saat membaca. Tulisan sedihmu membuat aku benar-benar menumpahkan air mata. Tulisan bahagiamu seakan mengajakku tertawa. Kenapa tidak jadi penulis saja?”

Jantungku berdetak kencang, namun garis lengkung menghias bibirku saat itu. Ada rasa bahagia yang tidak bisa aku jabarkan saat seseorang membaca tulisanku dengan perasaannya.
Kembali, aku mempertanyakan kemauanku. Apa benar aku ingin menjadi seorang penulis?

***

Lamaran demi lamaran sudah kumasukkan ke beberapa perusahaan. Nilai yang tinggi dari universitas terkemuka di Indonesia tidak menjamin aku diterima dengan mudah di perusahan yang aku inginkan. Selain ujian dan wawancara aku selalu kalah dengan tinggi badan.
Tubuhku normal seperti kebanyakan orang, hanya saja tinggiku selalu tidak pernah mencukupi sebagai syarat masuk sebuah perusahaan.

Dengan langkah gontai aku berjalan menyusuri jalanan berbatu. Berkali-kali menaiki angkutan umum dan sampai ke sebuah bank terbesar di kotaku. Dengan ragu aku melangkahkan kaki di lantai bersih bank terbaik itu.

“Maaf, ada yang bisa saya bantu, Mbak?” Seorang penjaga keamanan berseragam putih bertanya sambil tersenyum kepadaku.

“Saya, mau melamar pekerjaan, Pak,” jawabku hati-hati.

“Pas sekali, hari ini terakhir dan sedang sepi. Silakan Mbak langsung saja ke lantai tiga. Langsung bertemu dengan Kepala Bank saja,” ucap Bapak berseragam putih itu sambil mempersilakan.

Dengan gugup aku berjalan pelan sambil mengumpulkan keyakinan. Ini mungkin lamaran terakhir yang akan kulakukan. Jika tidak juga diterima di perusahaan ini karena tinggi badan, aku akan menyerah.

“Selamat pagi, Pak. Saya mau melamar pekerjaan.”

“Silakan, Nak. Duduk dulu. Karena kamu yang terakhir memasukan lamaran saya langsung wawancara saja bisa?”

Pertanyaan dari seberang yang akhirnya aku tahu ialah Kepala Bank membuatku gugup dengan jantung yang berdetak lebih kencang dari biasanya.

“Ya, Pak. Saya siap.” Dengan modal kepercayaan diri yang mulai terkikis aku melakukan wawancara singkat.

“Hmm. Nilainya bagus. Kamu pintar,” ucapnya sambil tersenyum.

“Terima kasih, Pak,” ujarku penuh percaya diri.

“Universitasnya juga terbaik. Kamu sudah lama di sana?”

“Sudah, Pak. Kedua kakak saya sekolah di sana. Sekarang sudah alumni.”

“Waw, tiga saudara semuanya bersekolah di sana? Saya penasaran sama orangtuamu, pasti mereka orangtua yang paling keren.” Bapak itu tertawa membahana.

“Tidak, Pak. Papa dan Mama orang yang sederhana. Tapi, kalau masalah pendidikan kami selalu disuntik lebih. Papa dan Mama sekolah dasar saja tidak tamat, Pak,” ucapku tegas.

Bapak itu menganga, jelas sekali wajahnya menunjukkan rasa tidak percaya. Tidak bersekolah tapi mampu menyekolahkan tiga anak di universitas yang sama, dua tingkat dengan biaya yang tidak bisa diperkirakan jumlahnya.

“Bapak salut kepada orangtuamu, mau jadi apa pun kamu dan saudara-saudaramu nanti, semoga bisa memberi yang terbaik untuk hidupmu, juga orangtuamu. Aamiin.” Senyum tulus kembali tersungging di bibir Kepala Bank itu.

Lama kami waancara, namun bagiku banyak hal yang malah ia ajarkan padaku layaknya seorang bapak kepada anaknya. Hingga hasil wawancara diumumkan, bapak itu berkata,”Maaf, Nak. Bukan Bapak tidak mau menerima. Nilai-nilaimu bagus dan dari universitas terbaik. Tapi, sayang. Tinggi badanmu untuk posisi ini kurang. Maafkan, Bapak. Walaupun tidak diterima di sini, ditempat lain bapak yakin kamu sukses.”

Senyum bapak itu masih sama seperti sebelumnya, namun matanya memancarkan rasa bersalah.

“Tidak apa, Pak. Terima kasih sudah memberi waktu untuk wawancara saya.” Aku jabat tanggannya dan meninggalkan ruangannya dengan perlahan.

Sesak, sedih, perih, marah, kesal menjadi satu di hatiku. Ada rasa marah saat aku melihat ijazah yang dulunya dengan bangga aku dapatkan. Rasanya hari ini ijazah itu ingin kurobek dan kubuang jauh-jauh. Percuma sekolah sejauh itu jika tidak ada tempatku bersandar di mana pun. Batinku menjerit, aku mulai menyalahkan semuanya, termasuk Tuhan yang menciptakanku.

***

Tiga bulan berlalu, dengan berat hati aku masih mencoba menjajakan ijazah ke sana-kemari. Tidak puas di tanah Jawa, aku pulang ke Sumatra. Beberapa minggu di tanah kelahiran juga tidak menghasilkan apa-apa. Aku meminta izin kepada orangtuaku untuk mencoba peruntungan di tanah melayu.

“Pa, aku diterima kerja. Alhamdulillah,” ucapku siang itu.

“Alhamdulillah,” jawab Papa dan Mama saat itu.

Aku akhirnya bekerja di sebuah perusahaan lokal dengan sistem luar negeri. Menjalankan pekerjaan sebagai seorang HSE yang kebanyakan pekerjaan itu dilakukan oleh lelaki. Tapi, dengan tubuh mungil dan perempuan yang aku punya, ternyata aku mampu. Pekerjaan baru kujalani hingga suatu hari seseorang datang melamar. Kami menikah dan aku hamil anak pertama.

Kondisi yang tidak memungkinkan akhirnya memaksa aku untuk melepaskan impianku, bekerja di perusahaan dengan seragam. Demi anak yang kukandung dengan terpaksa aku mengalah. Melepaskan semua impianku demi impian baru yang dititipkan di rahimku.
Hari-hari sebagai ibu baru kujalani dengan baik. Bersyukur memiliki pasangan hidup yang mengerti dan selalu belajar memahami walaupun kami berkenalan tidak lama. Sang bayi lahir pada akhirnya dan masalah yang kukira telah selesai kembali datang lagi.

“Kedua kakakmu sudah sukses, benar kan kata Mama. Kalau saja setelah kuliah mau berdagang, pasti kamu bisa seperti mereka.”

Mama berandai-andai saat itu. Setiap orangtua pasti selalu menginginkan anaknya menjadi orang yang sukses. Beruntung, orangtuaku tidak seperti kebanyak pikiran sempit orang-orang yang mengatakan percuma kuliah tinggi jika ujung-ujungnya akan berdagang. Mereka tahu pasti, menyekolahkan setinggi-tingginya bukan untuk menjadi anak buah orang lain, tapi sukses di mata Mama dan Papa adalah menciptakan perkerjaan untuk orang lain. Kedua kakakku sudah sukses, mereka memiliki usaha yang cukup besar dengan beberapa karyawan.

“Ya, kalau saja kamu mau mendengarkan Papa. Berdagang saja, tidak usah bekerja,” Papa memperjelas ucapannya.

“Sekarang apa? Kerja sama orang, menikah, punya anak, berhenti kan? Malah jadi ibu rumah tangga saja.” Mama memperjelas arah bicaranya.

Aku terhenyak cukup kuat, perih yang dulu kulalui saat berkilometer mencari pekerjaan dan ditolak karena masalah tinggi badan tidak apa-apa dibandingkan ucapan Mama dan Papa barusan.

Air mataku menetes lebih cepat, sebak dihati tidak lagi bisa kubendung. “Papa dan Mama ingat apa yang aku inginkan? Aku tidak pernah ingin berdagang bukan? Sejak kecil aku ingin jadi penulis. Menulis di rumah, syukur-syukur menghasilkan uang tapi masih bisa mendampingi suamiku dan mengurus anakku di rumah,” ucapku dengan badan menggigil menahan perihnya hati yang disayat begitu dalam.

“Apa bagusnya menulis?” ucap Mama dengan nada meninggi.

“Kita lihat saja, Ma, Pa. Aku hanya minta doa, semoga yang aku impikan terwujud. Aku memang tidak pandai bicara, bicaraku selalu dianggap tidak bernyawa, bicaraku tidak pernah didengar dan dikatakan benar bukan. Karena itu aku menulis. Menulis buatku adalah bahagia. Semoga aku bisa berbagi yang baik kepada yang membaca. Semoga inilah yang menjadi ladang amal buatku nanti.”

Aku mulai menangis sejadi-jadinya. “Mungkin bagi Papa dan Mama aku manusia paling buruk. Disekolahkan setinggi-tingginya tapi tidak ada hasilnya? Aku tahu, Abang dan kakak punya usaha dan mereka sukses. Sedangkan adikku seorang perawat yang handal dibidangnya. Aku? Cuman seorang ibu rumah tangga, kan?”

Aku membanting pintu sekuat tenaga, agar mereka tahu di hatiku sedang ada luka.
Aku yang selalu berbeda, aku yang selalu tidak didengar, aku yang selalu dianggap salah adalah aku yang selalu berbeda saat menuliskan semua. Biarkan aku percaya pada mimpiku, aku hanya butuh doa semua.(*)

Cahaya Fadillah, penyuka Awan, pecinta hujan. Suka membaca cerpen tapi selalu kesulitan bagaimana cara untuk menuangkannya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply