Mandi, Jagoan!
Oleh : Lutfi Rose
“ADEK …!” suaraku lantang memanggil si bungsu sambil berlari mengikutinya.
Selalu seperti ini, menghabiskan sisa kalori yang sudah lowbath berat. Hampir putus asa ketika akhirnya aku bisa menangkap tubuh mungil yang lincah, kuangkat, kupeluk dan kuciumi pipinya gemas. Tetap saja, dia terus menggerakkan kaki maju mundur demi melepaskan diri dari pelukan.
“Adek … tak mandi …, Unda. Moh!” Anak gantengku mengoceh dengan terbata.
Kulucuti pakaiannya satu per satu, masih dengan badan kupegang erat. Kedua kakinya terkunci di antara kedua paha sambil duduk di kursi panjang di teras rumah.
Terlepas semua bajunya bersamaan dia melesat lari ke halaman.
Duh! Benar-benar anak lelaki memang beda dengan anak perempuan. Ketiga kakaknya perempuan, jarang rewel kalau di ajak mandi. Giliran si bungsu ini, kalau memandikan berasa masuk ke medan pertempuran. Harus bersiap dengan kondisi badan yang sehat dan kuat beserta persenjataan yang lengkap.
Segera aku berlari mengikutinya. Dengan napas yang sedikit memburu, melompati batako pembatas tanaman dan sempat hampir terpeleset tanah becek, untung masih sigap meraih pegangan pagar. Dengan peluh yang terus menetes, aku bisa menangkapnya kembali.
“Hayo …! Mau ke mana lagi, Sayang.”
“Moh! Moh!” Dia terus saja berontak.
Sekarang aku lebih waspada, mendudukkannya di pinggang sebelah kiri, mempererat cengkraman di tubuhnya. Membiarkan dia terus berontak dalam dekapan.
Kamu kuat sekali, Nak!
Suara tangisnya makin menjadi, tatkala guyuran air dingin menyentuh kulitnya. Kubiarkan saja, saat kaki kecil itu dihentak-hentak ke lantai kamar mandi.
“Kamu harus mandi, biar wangi, tambah ganteng.”
Kekasih kecilku tak menghiraukan kalimat yang kuucapkan. Dia tetap kekeh meraung-raung. Muka yang lucu bertambah unyu karena memerah.
Kupercepat prosesi mandi, setelah yakin semua badannya dipenuhi busa, guyuran air kembali membuat dia menambah volume tangis. Iba rasanya, tapi apa boleh buat, haruskah membiarkan pria kecil tak mandi sampai dua hari.
Dengan tangan kiri masih memegangnya, tangan kananku meraih handuk di gantungan. Segera menggosok kepala dan mengelap seluruh badan, handuk kulilitkan sebatas dada sampai lutut.
“Ah! Kamu sudah ganteng, kan …!” seruku, disambut cubitan kesal di pipi bundanya.
Aku hanya tersenyum, geli dengan cubitan yang tak sakit. Kembali kugendong bocah lelaki yang makin aktif ini.
Dia terbata memanggil-manggil Bunda, bibirnya mengerucut mengecup puncak hidungku. Ah! Anak-anak memang sesederhana itu, sesaat marah seketika kembali merajuk manja. Ada saja tingkah yang menggemaskan dan membuat rindu.
Di dalam kamar Azka kuturunkan di atas ranjang. Sambil tetap mengawasi gerak geriknya, tanganku sibuk menyiapkan baju dari dalam lemari. Hampir saja dia meloncat, refleks aku lebih dulu melompat menahan badannya yang nyaris jatuh. Duh! Hati terasa mencelus.
Secepat mungkin kupakaikan semua bajunya. Tak sampai lima menit dia sudah rapi dengan piyama sore, tak lupa minyak telon kubalur di sekujur tubuhnya. Sembari mulutku mendendangkan sholawat agar dia tenang. Dia mengoceh menirukan dengan sedikit cedal, tersenyum tanpa dosa, padahal sudah membuat bundanya jantungan.
Terdengar suara salam dari serambi depan. Lelaki kecilku melompat girang, berlari menghampiri pemilik suara.Tangan sudah tak bisa menahannya lagi.
Kulanjutkan mengemasi handuk dan semua peralatan tempur. Mengembalikan pada tempatnya masing-masin, kemudian menyusul si kecil ke serambi.
“Bunda?” Pria yang baru datang itu tersenyum.
Kusambut tangannya, kukecup dan sebuah ciuman lembut mendarat di keningku.
“Ayah! Ayah!” Si kecil tak mau kalah, dipegangnya kepala lelaki yang sedang menggendongnya, memajukan bibirnya minta dicium. Kami terkekeh melihat tingkahnya.
“Bunda, kenapa wajahmu?” Aku bengong tak mengerti, melebarkan mataku. “Kamu cemong, Sayang.”
Kulirik kaca besar di sampingku. Ya Tuhan! Mukamu penuh bedak, tak keruan. Rasanya wajahku memanas, malu. Kuusap wajah menggunakan kaos yang kukenakan, tapi tetap saja tak berhasil membersihkan. Benar-benar sosok perempuan berdaster yang amburadul, dan anehnya suami masih mau memberi kecupan. Memikirkannya membuat degup jantung melaju lebih kencang, salah tingkah.
“Sudah tak apa, biarkan! Bunda cantik, kok,” ucap suamiku menahan senyum.
Aku manyun tiga centi. Kelihatan sekali bohongnya. Cubitan kecil di bahu kiri kuhadiahkan atas sanjungan yang garing banget.
Dia mendekatiku, merangkul bahuku, berbisik. “Sudah! Kan, Azka sudah dimandiin, sekarang giliran Bunda. Ayo tak mandiin!”
“Ayah!” Aku melotot dan dia tergelak keras.
Ah! Wanita memang senaif itu. Mendengar candaan suami saja semua lelah menguar lenyap.(*)
Lutfi Rose,memiliki nama asli Lutfi Rosidah, sebuah nama pemberian Ayah. Nama yang juga dipakai di sebagian besar akun media sosialnya. Seorang ibu rumah tangga berpenghasilan, memiliki tiga orang putri dan seorang putra, tetapi masih imut. Hihi… Penulis berasal dari Kota Apel dan tetap istiqomah di tanah kelahiran. Seorang pejuang gombal yang ingin mewujudukan mimpi masa kecilnya menjadi seorang penulis. Semoga bisa terealisasi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata