Serena

Serena

Serena
Oleh: Lily Rosella

Orang-orang sibuk mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya di sekeliling tiang di alun-alun kota. Serena harus segera dimusnahkan atau dia akan membawa malapetaka. Semua orang percaya kalau gadis bermata biru dan berambut merah itu menyembah iblis. Pada malam bulan berdarah, dia akan mengayunkan tongkat sihirnya, membaca mantra untuk mengikat anak-anak tak berdosa sampai iblis datang dan melahap anak-anak tersebut. Parahnya malam ini bulan purnama berdarah diperhitungkan bakal muncul. Mereka harus bergerak secepat mungkin sebelum kekuatan Serena menjadi lebih kuat dari biasanya, begitulah yang dipercaya orang-orang.

“Kekuatan apa maksudmu?”

“Jangan pura-pura tidak tahu. Kau bersekutu dengan Serena, kan? Semua orang di kota membicarakan tentang kalian.”

“Dia gadis baik-baik.”

“Ya, ya. Aku percaya itu sebelum mengetahui siapa dia sebenarnya.”

Michael bergeming mengingat kejadian siang tadi saat dalam perjalanan pulang dari rumah Serena yang berada di tengah hutan. Risotto-nya tak tersentuh walau seujung sendok. Pikirannya masih tertuju pada ritual pembakaran Serena. Harusnya dia tak meminta gadis itu mengayunkan tongkat sihirnya di belakang gubuk salah satu hutan, tempat para pendosa dimakamkan, untuk membangkitkan ibunya yang tewas dihakimi massa karena ketahuan mencuri beberapa ikat gandum dua tahun lalu, sehingga orang-orang takkan menyangka Serena bersekutu dengan iblis. Dan orang-orang juga tidak akan membunuh Serena sebagaimana mereka membunuh ibunya, bahkan dengan cara lebih keji.

“Penyihir hanya akan musnah jika dibakar! Maka Serena harus dibakar. Dia harus dimusnahkan!”

Michael menghela napas berat. Akhirnya dia bangkit, mengabaikan risotto dan bir di meja makan. Dia bergegas keluar setelah memakai mantel kelabu dan topi. Memacu kudanya dengan kecepatan penuh menuju rumah Serena sebelum hari mulai gelap.

***

“Kamu harus pergi segera,” pintanya setiba di rumah Serena.

Serena menatapnya bingung. “Ada apa?”

“Orang-orang akan datang sebentar lagi.”

Serena tak beranjak sedikit pun dari tepi ranjang, ditatapnya mata Michael lekat seolah-olah dia mengatakan, “Apa yang aneh dengan kedatangan orang-orang. Mereka sering berkunjung jika berburu di hutan ini.”

“Mereka akan membakarmu di alun-alun.”

“Kenapa mereka ingin mem—”

“Orang-orang sudah tahu kalau kamu adalah penyihir.”

“Apa yang salah dengan penyihir? Aku tidak membahayakan siapa pun.”

“Kau tidak hidup di duniamu lagi, Serena. Tempat ini berbeda.”

“Tetapi aku tidak bisa meninggalkan anak ini. Dia sekarat.”

Sambil memutar otak dan memperhatikan anak bertubuh kurus dan berambut oranye keriting yang berbaring di ranjang, Michael sesekali melirik ke luar. Memastikan kalau matahari tak semakin tenggelam dan membuat malam begitu cepat datang. “Aku akan mengurusnya,” hanya itu yang menjadi solusinya saat ini. Tak ada waktu lagi.

Serena masih duduk di tepi ranjang. Mengganti kain pembalut luka di kaki anak itu. Yang pada betisnya terdapat borok dengan belatung-belatung yang terus menggeliat, yang meski sudah diambil satu per satu oleh Serena seakan-akan tak pernah habis, selalu ada lagi dan lagi. Sesekali terdengar olehnya, juga Michael, anak tersebut mengigau, memanggil-manggil nama Serena. Memanggilnya dengan kata yang kadang berubah menjadi “ibu”. Serena tahu persis, anak itu merindukan ibunya yang tewas lima puluh jam delapan menit lalu. Sebuah insiden serupa seperti yang dialami Michael terulang dengan sendirinya pada musim kemarau tahun ini.

“Aku tidak bisa meninggalkannya.”

“Kau bisa kembali besok untuk merawatnya, tetapi sekarang kau harus pergi.”

Dengan berat hati, setelah diyakinkan berkali-kali oleh Michael, akhirnya Serena menyetujui keputusan untuk pergi. Malam ini. Setidaknya hanya malam ini. Jika besok keadaan belum juga membaik, dia akan membawa serta anak itu untuk ikut bersamanya menetap di suatu tempat baru. Namun, belum juga Serena keluar dari rumahnya, suara riuh sudah terdengar dari luar. Orang-orang telah berkumpul, membawa obor dan beberapa benda tajam. Mengepung rumah Serena tepat saat matahari baru saja tenggelam di sebelah barat. Salah seorang pria bertubuh kekar mendobrak pintu rumahnya, lalu berteriak lantang, “Saya menemukan seorang anak yang sekarat di sini!” (*)

 

Jakarta, 11 Desember 2018

Lily Rosella, penulis asal Jakarta penyka warna-warna pastel.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata