Cinta Sejati
Oleh: Lutfi Rose
Hawa dingin berembus di antara rinai hujan di luar rumah. Kau sibak selimut tebal yang menghangatkan tubuh ringkihmu. Tak lupa sebuah kecupan hangat mendarat manis di kening belahan jiwamu.
“Bangun, Shalihah … sudah subuh, kita ke masjid.”
Wanita yang masih terlihat cantik di usia paruh baya itu menggeliat sesaat. Mengerjapkan matanya sebelum membuka dan membalas kecupanmu dengan senyuman. Meski tampak menggigil, dia tetap bangun mengikutimu ke kamar mandi.
Rutinitas pagi yang sangat kau sukai. Berjalan beriring menuju rumah Allah. Wanita yang selalu kau puja memang pendiam. Jarang sekali berbicara dengan rangkaian kata yang panjang. Sesekali saja menimpali ucapanmu, atau malah hanya menanggapi dengan senyum. Meski lebih 40 tahun mengarungi biduk rumah tangga, bagimu dia tetap gadis pemalu yang memiliki harga diri tinggi. Betapa kau harus menunggu hingga dua tahun setelah mengucap ijab kabul baru kau bisa “menyentuhnya”. Perjuangan panjang yang tak sia-sia.
Dirinya luluh pada saat hatimu sudah mulai ingin menyerah. Kau merasa bahagia tiada terkira. Senyum tersungging setiap kalian mengenang masa itu. Kemudian sebuah pelukan menjadi hadiah, ketika wanita pendampingmu tersipu malu.
Pagi ini udara terasa lebih dingin dari biasanya. Ketika kakimu melangkah melepas alas kaki, memasuki teras masjid, badanmu sedikit menggigil menyentuh lantai. Degup jantungmu yang beberapa hari ini sedikit terasa lebih kencang ritmenya, disertai nyeri setiap detak yang makin memacu di kala udara mendingin. Kau menoleh ke arah istrimu, tampak dirinya melangkah ke sisi kiri masjid, tempat para wanita.
Kau melangkah menuju mimbar. Usai melaksanakan dua rakaat salat sunah, kau lanjutkan memimpin salat Subuh berjemaah. Bacaan salatmu selalu terdengar merdu dan fasih.
Salam penutup kau lantunkan dengan perlahan, dilanjutkan dengan wirid bersama. Ada yang berbeda, hari ini kau membaca doa lebih lama. Kau haturkan semua resah pada Sang Pencipta.
Istrimu sudah menunggu di depan masjid ketika kau berjalan keluar. Menghampiri, kemudian menggamit lenganmu mesra. Ah! Momen seperti ini selalu membuat kulit wajahmu yang mulai keriput bersemu merah.
Kalian berjalan beriring, menapaki trotoar yang masih tertutup kabut tipis.
“Mi, sadarkah kamu, pagi ini kubacakan doa lebih panjang dari biasanya? Kuulangi sampai tiga kali, sebuah doa khusus untukmu.” Kau bicara sambil tetap berjalan.
“Iyakah?” wanitamu menjawab dengan begitu santai.
Dia menyandarkan kepala di bahumu, menggamit lenganmu lebih erat.
“Aku percaya kelak kamu akan masuk surga. Karena hidupmu hanya untuk beribadah. Nanti saat kamu di surga tak menemukanku, cari aku, ya! Ajak aku ikut denganmu.”
Senyum kembali tersungging di paras cantik istrimu, sembari telapak tangannya menepuk lenganmu beberapa kali.
Entah mengapa kau mengatakan hal seperti itu. Bukan tanpa alasan, kau merasa takkan memiliki waktu banyak. Rasa lelah yang belakangan sering kali menganggu aktivitasmu.
Rasanya berat melepas genggaman tangan istrimu pagi ini, tatkala kalian sampai di halaman depan rumah. Kalau saja bisa menggeser jarak rumahmu agar lebih jauh. Hingga kalian bisa lebih lama bercerita.
Kau dan istrimu meneruskan langkah memasuki rumah, melewati seorang pemuda tanggung berpostur tegap yang sedang membersihkan mobil yang akan kau bawa berangkat tausiah pagi ini. Jarak lokasi cukup jauh sehingga terpaksa berangkat saat ayam jantan baru turun usai berkokok.
Kalian bersarapan dan setelahnya kau segera pamit pada kekasihmu. Dikecupnya tanganmu lembut, kau balas dengan sebuah kecupan hangat di keningnya.
Berbeda dari biasanya, berat hatimu melepas pelukan wanitamu. Kalau saja acara hari ini bisa dibatalkan, kau akan memilih menghabiskan waktu bersamanya seharian.
***
Tahlil bergema memenuhi segenap ruang redup di serambi rumah. Semua orang menunduk khidmat dalam doa yang terpanjat dalam kalbu masing-masing.
Hari ini, pagi yang redup, mendung menggantung seolah-olah ikut terhanyut dalam duka mendalam sepeninggalmu.
Tak ada air mata, semua keluargamu larut dalam lantunan tahlil, menyerukan nama Allah dengan khusyuk, ikhlas. Mungkin di dalam hati mereka menangis, hanya mengadu pada Sang Pemilik Hidup. Ya, tanpa ada manusia lain yang tahu, tak perlu mengerti.
Satu per satu tamu berdatangan. Menghaturkan bela sungkawa atas kepergianmu. Semua orang yang pernah mengenalmu, mendengarkan tausiahmu, menerima bimbinganmu, ikut merasa kehilangan atas kepergianmu.
Tak ada yang menduga jika tausiah di senja kemarin, adalah tausiah terakhirmu. Ketika membacakan sebuah hadis Rasulullah: bagaimana seorang muslim yang beruntung meyakini keberadaan Rasulullah meski belum pernah bertemu dengan beliau. Belum sampai akhir kalimatmu, Malaikat lzrail menunaikan tugasnya. Engkau roboh. Tampak hadirin panik, berusaha melakukan sesuatu, membawamu mencari pertolongan terdekat dan tercepat. Namun, kenyataan berkata lain, ketika di perjalanan menuju rumah sakit, engkau mengembuskan napas terakhir.
Kini wanita kesayanganmu duduk bersimpuh menghadap jasadmu. Mulutnya tak berhenti bergerak melantunkan ayat suci. Meski wajah rupawan itu terlihat pasi, tak ada air mata yang membasahi pipi. Benar keyakinanmu, wanita pilihanmu memang tegar, ikhlas dan salihah.
Lutfi Rose,memiliki nama asli Lutfi Rosidah, sebuah nama pemberian Ayah. Nama yang juga dipakai di sebagian besar akun media sosialnya. Seorang ibu rumah tangga berpenghasilan, memiliki tiga orang putri dan seorang putra, tetapi masih imut. Hihi… Penulis berasal dari Kota Apel dan tetap istiqomah di tanah kelahiran. Seorang pejuang gombal yang ingin mewujudukan mimpi masa kecilnya menjadi seorang penulis. Semoga bisa terealisasi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata