Kejadian Malam Itu
Oleh: Oulifa
Malam itu, terlihat cuaca sedang tidak mendukung. Langit yang awalnya cerah, kini sudah tertutupi oleh mendung. Hingga beberapa saat kemudian gerimis berjatuhan.
Di sebuah desa, aliran listrik yang padam membuat suasana malam tampak mencekam ditambah dengan semilir angin dingin. Apalagi kini persediaan minyak tanah yang biasa untuk penerangan telah habis, membuat seorang pria berumur sekitar 23 tahun itu terpaksa membelinya.
Bermodalkan korek api sebagai penerangan sesaat untuk melihat jalan berlubang apa tidaknya, pria itu berjalan kaki menuju warung yang jaraknya hampir satu kilometer dan harus melewati pemakaman umum.
“Nur, mau ke mana kamu?” ujar seseorang dari arah belakang.
Pria itu menoleh dan tersenyum. “Ah, biasa. Mau ke warung untuk membeli minyak tanah,” sahut pria itu yang ternyata bernama Nur.
“Wah … sama! kalau gitu barengan aja, yuk.”
Kini mereka berjalan beriringan menuju warung. Sambil berjalan mereka bercerita panjang juga diselingi canda dan tawa. Namun, seketika obrolan mereka terhenti. Dikejutkan oleh kain panjang yang terbang melesat bagaikan kilat.
“To, ini malam apa, sih?” tanya Nur penasaran dengan tatapan terus terarah ke kain berwarna putih yang terus beterbangan ke sana-kemari tak tentu arah.
“Malam Jum’at Kliwon, Nur,” sahut Parto dengan gemetar.
Wajah Parto terlihat pucat melihat adegan seram yang tidak sengaja ditemuinya ini. Bahkan lebih seram dan horor dari sebuah film horor. Tubuhnya makin lama makin bergetar hebat dengan jantung yang terus berdetak tak beraturan.
“Oh, pantas saja! Kita kan, mau lewat kuburan, sedangkan sekarang kuburan sedang ramai.” Pria bernama Nur itu terus terlihat tenang tidak seperti Parjo yang menunjukkan ketakutannya.
Mereka menghentikan langkahnya dan bersembunyi di balik pohon besar yang tak jauh dari jalan masuk pemakaman. Dari persembunyiannya mereka bisa melihat secara jelas dengan apa yang dilakukan oleh sosok-sosok di kuburan itu.
Saat ini banyak yang tengah berhamburan keluar, melangkah beriringan dan berpisah di jalan yang bersimpang.
Kini, jam sudah menunjukkan pukul 18.30 di HP jadul Parto, dan sebentar lagi waktu masuk azan isya akan berkumandang.
“Nur, pulang. Ayo!” ajak Parto dengan nada gelisah.
“Tunggu sebentar, To. Katanya mau ke warung, kita tunggu sebentar lagi. Tunggu sampai mereka membubarkan diri, maklum ini kan, jalan utama ke warung terdekat jadi kita harus sabar,” sahut Nur sambil duduk beralaskan sebelah sandalnya.
“Huaaa …,” pekik Parto dan langsung meloncat. Berlari tunggang langgang saat melihat sosok pocong yang tengah loncat-loncat. Yang barusan seperti keluar menembus dinding dari rumah tidak jauh dari tempat persembunyian.
Pocong itu berjalan seperti orang mabuk, sempoyongan. Bibirnya merintih dan menangis sepanjang jalan menuju kuburan itu.
“Apa yang terjadi dengan mereka,” gumam Nur lirih sambil menggaruk-nggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Tak cuma itu, pria itu dikejutkan oleh pocong lain yang kini berjalan dengan wajah berseri, memancarkan cahaya putih, berjalan pun normal.
Pria itu menoleh, mendongakkan kepala, terlihat sesuatu laksana kapas yang tengah terbang seperti dibawa angin melintas di atas kepala. Bermimik sama, ada yang bermimik sedih juga ada yang bermimik bahagia.
Kebingungan terlihat di raut wajah Nur. Apa yang terjadi dengan mereka? Lalu, apa bedanya? Kenapa mereka bermimik berbeda-beda. Bahkan kini, ia dikejutkan oleh suara menangis meraung-raung di kuburan. Membuat bulu kuduk berdiri dan makin membuat merinding.
Walau ia selalu bersikap tenang, tetapi jauh di lubuk hati juga merasa takut. Hanya apa boleh buat, rasa penasaran itu telah mengalahkan rasa takut yang menghampiri.
Mungkinkah, mereka yang menangis meraung-raung dengan kesedihan yang memuncak itu tengah bersedih lantaran tidak ada keluarganya yang mengirimkan doa kepadanya. Atau ada sesuatu yang terjadi dengannya, tetapi tidak ada yang menolongnya. Namun, entah jawaban yang sebenarnya.
Lalu, bagaimana dengan yang bermimik wajah cerah dan bahagia. Apakah mereka mendapat sesuatu dari berkunjung ke sanak saudaranya.
Semua berada di luar nalar, pria itu dibuat tertegun dengan apa yang terjadi saat ini. Bahkan gerimis masih terus berjatuhan, para arwah itu seperti tidak memedulikannya. Ia terus saja berjalan dengan keadaan yang hanya mereka sendiri yang tahu.
Berjalan melamun, seperti banyaknya tanggungan hidup yang harus diselesaikan, tetapi terhambat. Melayang di udara dengan menangis, membuat pria itu tersentuh hatinya.
Kemudian kini, matanya menangkap sosok berbaju panjang menutupi kaki, wajahnya tidak terlihat jelas dengan rambut yang sedikit acak-acakan. Berjalan dengan sempoyongan, juga dengan suara lirih seperti menangis melintas tepat di depan tempat pria itu duduk.
Suasana syahdu, seperti perenungan di malam nan mencekam. Hanya saja ini terjadi nyata di depan matanya. Tanpa terasa mata pria itu mengeluarkan air, sedih dan iba melihat itu semua.
Akhirnya, pria itu tetap berjalan melanjutkan tujuannya membeli minyak tanah. Berjalan di belakang pocong yang kembali ke tempat peristirahatan, cara berjalan pocong itu juga seperti mau roboh. Mungkin pocong di depannya adalah pocong terakhir yang pulang, karena terlihat sudah tak ada lagi yang beterbangan ataupun suara tangisan. Kuburan itu senyap sudah. Sepi.
Sebelum berlalu, pria itu sempat memperhatikan ke arah mana pocong itu menuju. Setelah sampai di tempat yang dituju, pocong itu mendadak hilang tak berbekas. Semua sudah kembali ke semula. Pria itu berjalan dengan cepat menuju warung. Takut-takut kalau ia akan berpapasan dengan arwah lain yang sedang pulang dari menjenguk para sanak saudara yang yang masih hidup di rumah masing-masing.(*)
Tanah Datar, 2 Desember 2018
Oulifa, gadis biasa yang lahir di Wonosobo tahun 1998. Memiliki hobi membaca, dan belajar untuk mewujudkan mimpi.
Tantangan Lokit 10 adalah kompetisi menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK. Cerpen ini dibukukan dalam kumpulan cerpen misteri-horor Loker Kata yang akan terbit bulan Januari.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata