Senyum Manis Gadis Berkebaya Merah
Oleh: Evamuzy
hai ibu guru nura
Aku menemukan goresan itu di papan tulis putih ruang kelasku–ruang kelas Kepompong A–untuk kedua kalinya. Kemarin, hanya tertulis namaku diakhiri gambar lingkaran kecil lengkap dengan dua titik sejajar dan garis lengkung serupa pisang, sempurna membentuk emoticon tersenyum khas hasil tangan anak-anak.
“Siapa yang membuat ini?” tanyaku dalam hati.
Sudah tiga tahun ini, Ibu Kepala Sekolah memberikan amanat untukku menjadi wali kelas kelompok Kepompong yang berisi anak-anak usia empat tahunan. Dan, ini adalah minggu pertama kami belajar di sekolah, di tahun ajaran baru. Maka jelas, tulisan-tulisan di papan tulisan selama dua hari ini bukanlah hasil tangan anak-anak baruku, apalagi menggoreskan spidol dan menuliskan sebuah nama, memegang pensil untuk membuat garis horizontal dan vertikal di buku masing-masing saja, tangan mereka masih kaku dan bergetar.
“Pak Rusdi,” panggilku kepada pria paruh baya yang kami kenal jujur dan ulet dalam bekerja, saat dirinya melintas di depan kelasku. Beliau sudah menjadi penjaga sekolah di sini jauh sebelum aku datang.
“Saya, Bu Guru Nura. Ada yang bisa saya bantu?” tanya beliau dengan tangan masih memegang gagang sapu halaman.
“Pak, apa Bapak lihat ada anak kelompok Kupu-kupu yang masuk ke kelas saya sebelum saya datang?”
“Tidak, Bu. Seingat saya tidak ada. Kalaupun mereka datang pagi, pasti langsung masuk kelas masing-masing.”
“Begitu ya, Pak. Baiklah, terima kasih, Pak.” Aku mengernyitkan kening.
“Iya. Sama-sama, Bu Nura. Tapi maaf kalau boleh saya tahu, ada apa ya, Bu?”
“Tidak, Pak. Insya Allah tidak ada apa-apa.”
Aku percaya beliau tak berbohong. Setelah sosoknya menjauh, kulangkahkan kaki kembali masuk ke kelas, hendak menyiapkan bahan ajar hari ini dan bersiap menyambut kedatangan anak-anak.
Saat akan mengambil kotak-kotak berisi cat air di atas meja kecil khusus peralatan guru yang terletak di sudut kanan depan, aku terdiam, menemukan sebuah benda panjang warna putih yang biasanya digunakan untuk membuat berbagai coretan di papan tulis kelas. Benda itu tergeletak di atas meja siswa paling depan sebelah kanan, tepat berhadapan dengan meja kecilku. Kuraih saku kanan seragam abu-abu yang kupakai. Milikku masih ada. Lalu spidol itu milik siapa? Sepertinya saat aku baru datang, benda itu belum ada, atau aku yang kurang memperhatikannya.
Kuraih dan kuletakkan benda itu ke dalam gelas pensil di atas meja kecilku, bersamaan dengan suara nyaring dari arah pintu kelas.
“Assalamualaikum, Bu Guru Nura.” Suara mereka cempreng sekali, dan aku suka. Anak-anak baruku tahun ini.
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh, Anak-anak saleh dan salihah. Silakan masuk.”
Kelima belas siswa-siswiku datang bersusulan, kami mulai kegiatan belajar mengajar. Kelasku berjalan dengan baik seperti biasa.
***
ibu guru nura apa kabar?
Hari ketiga. Goresan dengan tipe garis yang sama kembali kutemukan pada papan tulis kelas, juga spidol yang kemarin kusimpan di dalam gelas pensil pun kembali tergeletak di atas meja depan sisi paling kanan, tempat yang sama seperti kemarin.
Delapan buah meja belajar berbentuk persegi panjang dengan tiap-tiap meja berjajar sepasang kursi kecil warna-warni, saling mengisi ruang kelasku. Menyisakan satu kursi tak berpenghuni, satu sisi meja dan kursi paling depan sebelah kanan. Ya, tempat kutemukan spidol yang entah milik siapa.
Sering kuminta anak-anak untuk mengisi tempat duduk itu. Tapi mereka tak mau, silau karena cahaya matahari menjadi alasannya. Benar memang, setiap matahari mulai meninggi, cahayanya akan menyelinap, mencuri-curi celah dari lubang-lubang ventilasi di atas papan tulis. Sinar hangat pagi itu menggangu mata dan kulit mereka sepertinya.
Aku jadi teringat gadis kecil berkulit putih, siswiku dua tahun lalu, di ruang kelas ini. Gadis bermata bulat yang cantik, cerdas dan supel. Putri semata wayang sebuah keluarga kecil, putri pasangan muda. Alifia Prameswari namanya. Kami biasa memanggilnya Fia.
“Fia nyaman duduk di situ, Sayang?” tanyaku melihat dia yang tak merasa terganggu saat wajahnya terkena sinar matahari pagi.
“Fia suka di sini, Bu guru. Di sini hangat,” jawab gadis kecil berpipi gembil itu.
Dia gadis kecil berkulit putih sedikit pucat. Gadis cerdas yang sayangnya sering absen tidak masuk sekolah. Daya tahan tubuhnya sangat lemah. Pernah dia izin hampir satu minggu karena sakit, karena kelelahan kata sang bunda.
“Fia hari ini juga tidak mau keluar untuk main dengan teman-teman, Nak?” Aku hampiri dia di tempat duduknya, tak jauh dari meja tugasku memang. Cukup beberapa langkah, lalu berjongkok di depan gadis kecil itu, menyejajarkan wajahku dengan wajahnya.
“Iya. Fia mau di sini saja temani Ibu Guru. Boleh, kan?” Dia menatap lekat wajahku dengan binar dan senyum mekar. Ah, dia memang paling tahu bagaimana cara membuat ibu gurunya jatuh hati.
Dia bukan gadis pendiam, banyak teman-teman yang menyukainya. Hanya saja begitulah dia. Lebih senang menghabiskan dua puluh menit waktu istirahat untuk menemaniku di kelas.
“Iya, boleh. Tapi kalau nanti Fia bosan, Fia boleh main sama teman-teman di luar.”
“Siap, Bu Guru.”
Aku kembali ke meja tugas. Setumpuk tugas administrasi kelas memanggilku untuk diselesaikannya sambil mengamati gadis kecil itu menyantap bekal favoritnya: donat kentang gula bubuk.
“Bu Guru, mau?” tawarnya dengan pipi gembil terisi potongan donat.
“Tidak. Terima kasih, Sayang.”
“Baiklah. Makanku selesai.” Dia tutup kotak bekalnya. Aku tersenyum.
“Bu Guru Nura,” Dia berjalan mendekat.
“Ya.”
“Fia boleh pinjam spidol Bu Guru?”
“Boleh. Ini.”
“Terima kasih.”
Dari tempatku, kudengar suara goresan ujung spidol bertemu papan putih yang dikendalikan oleh tangan kecil gadis cantik itu.
“B-u-g-u-r-u-n-u-r-a. Selesai. Dibaca, Bu Guru Nura. Aku pintar, kan, Bu Guru?”
“Hehe … iya, Fia anak pintar,” jawabku sambil menjawil pipi gembilnya.
Kuakui, dia adalah murid unggulan di kelas. Di usianya yang belum genap lima tahun, dia sudah bisa menulis dan membaca kata-kata sederhana. Kata-kata dengan berbagi vokal sudah dikuasainya.
“Fia, ayo pulang. Sekolah sudah sepi. Ibu Guru juga sudah bersiap-siap mau pulang, Sayang,” bujuk bundanya satu waktu. Saat si gadis kecil merajuk agar diizinkan lebih lama berada di kelas padahal kelas sudah selesai setengah jam yang lalu.
“Aku masih mau di sini, Bunda. Aku mau menemani Ibu Guru. Aku suka di sini dengan papan tulis dan spidol milik Bu Guru,” jawabnya dengan rona wajah merayu.
“Besok Fia boleh pinjam spidol dan menulis kata apa saja di papan tulis. Sekarang Fia pulang dulu, ya,” bujukku.
“Nanti. Di rumah tidak ada papan tulis seperti di kelas dan spidol milik Bu Guru.”
“Hmm …. Gimana kalau kita beli papan tulis dan spidol seperti punya Ibu Guru? Fia, mau?” rayu sang bunda.
“Benarkah, Bunda?”
“Iya. Sekarang kita pulang dulu, ya.”
“Baiklah. Ayo kita pulang, Bunda. Fia pulang dulu ya, Bu Guru. Assalamualaikum.” Siswi kebanggaanku menatap sang bunda dan ibu gurunya bergantian.
“Waalaikumussalam.”
Setahun dia belajar di kelasku. Mengisi ruang kecil itu dengan tawa dan ulah lucunya. Hingga saatnya dengan berat hati, aku harus melepasnya naik tingkat, duduk di kelompok Kupu-kupu. Tentu dengan ruang kelas dan ibu guru yang berbeda. Ibu Guru Nisa, ialah yang menjadi wakil kelasnya di kelas baru Fia.
“Siapa yang akan mendapat tropi dan gelar juara di kelas Bu Nisa tahun ini?” tanyaku seminggu sebelum acara wisuda kecil tiba.
“Hmm … sepertinya Alifia, Bu Nura.”
“Fia?”
“Iya.”
Sudah kuduga. Dia memang selalu menjadi yang terbaik. Bahkan setelah naik tingkat.
***
Panggung megah dengan hiasan dan balon warna-warni siap memeriahkan acara wisuda dan pentas seni akhir tahun. Para siswa-siswi yang lulus mulai berdatangan lengkap dengan dandanan baju adat. Cantik-cantik, tampan-tampan dan lucu-lucu.
Kali ini, aku bertugas mengatur foto wisudawan wisudawati kecil di ruang terpisah. Sibuk memanggil satu per satu siswa yang datang lebih awal untuk masuk ke ruang foto, aku merasakan ujung belakang bajuku ditarik seseorang. Aku menoleh, berbalik badan, memandang lekat wajah elok nan rupawan yang tersenyum di depanku. Mematung, aku diam cukup lama, menyelami wajah cantik gadis kecil itu. Mereka memang selalu berhasil membuat siapa saja pangling saat riasan indah menghiasi wajah polosnya.
Dan yang di depanku ini adalah ….
“Fia,” kupanggil dengan bahagia. Yang dipanggil mengangguk dan tersenyum lucu.
Kain batik, kebaya warna merah darah, lilitan kain warna-warni menutup kepala lengkap dengan hiasan bunga di sisi kanan serta riasan indah di wajah membuatnya bak bidadari kecil hari itu. Pelan-pelan dikeluarkannya sebuah benda dari tangan kanan yang sedari tadi disembunyikan di belakang, lalu diulurkan kepadaku.
“Spidol. Untuk Bu Guru?”
Dia mengangguk. Aku menerimanya.
“Kalau begitu Fia duduk dulu ya, Sayang. Menunggu giliran foto. Nanti Ibu Guru panggil.”
Dia hanya mengangguk dan tersenyum lagi. Berjalan memilih di salah satu kursi kosong untuk mengantre.
***
Tugas mengatur foto anak-anak selesai. Dengan langkah ringan, aku bergegas menuju panggung untuk mengikuti rangkaian acara selanjutnya. Di langkah entah yang ke berapa, aku berhenti. Bu Nisa berlari ke arahku. Sebuah baju toga wisuda kecil digenggam erat di tangan kanannya. Sampai di hadapanku, dia langsung memeluk dengan wajah penuh linangan air mata.
“Bu Nura,” suaranya tersedu-sedu. Membuatku bingung. Ada apa?
“Kenapa, Bu?” Kubiarkan dia menumpahkan air bening itu. Membasahi satu sisi kerudungku.
“Fia pulang dari rumah sakit”
“Maksudnya? Coba jelaskan pelan-pelan, Bu Nisa.”
Dia mulai melepas pelukannya. Perempuan cantik dan lembut itu menarik napas panjang, mengatur dirinya sebelum mulai bercerita.
“Tiga hari ini dia izin tidak masuk sekolah. Awalnya demam biasa, lalu kemarin bundanya mengabari kalau Fia masuk rumah sakit karena demam berdarah. Niatnya hari ini seusai acara wisuda, aku ingin mengajak Bu Nura untuk jenguk Fia. Tapi barusan bundanya mengabarkan kalau Fia dipulangkan ke rumah hari ini. Fia meninggal dunia.” Tangis keras mengakhiri cerita Bu Nisa. “Dan ini baju toga wisuda miliknya.”
“Innalilahiwainnailaihirojiun.”
Lalu siapa yang mendatangiku tadi?
“Baiklah. Tenanglah, Bu Nisa. Sekarang saya akan pergi ke panggung untuk mengumumkan berita duka ini. Setelah acara selesai, kita akan pergi takziah. Bu Nisa sabar, ya.”
Turun dari panggung wisuda, langkahku tergiring menuju ruang inventaris sekolah. Sebuah etalase berkaca bening menjadi tujuan pandangan. Benar, sepasang baju adat tertinggal di sana, sendirian. Kebaya berwarna merah darah lengkap dengan kain batiknya, persis yang dipakai Fia.
***
“Assalamualaikum, Bu Nura. Sampai besok. Dadah ….”
“Waalaikumussalam. Sampai besok, Nak. Hati-hati di jalan.”
Kelasku selesai hari ini. Setelah memastikan seluruh siswa-siswiku telah dijemput oleh orangtuanya, aku kembali ke ruang kelas. Saatnya bersih-bersih, menyelesaikan tugas lainnya lalu bergegas pulang.
“Assalamualaikum.” Suara seorang perempuan dari arah pintu.
“Waalaikumussalam.” Aku diam menatap perempuan yang kini berdiri di depan pintu, menungguku mempersilakan masuk.
Aku mengenalnya, wajahnya tak asing, tetapi sebentar, biar kuingat-ingat siapa.
“Bunda.” Dia tersenyum. “Silakan masuk. Apa kabar?”
“Alhamdulillah baik. Ibu Guru Nura bagaimana?”
“Alhamdulillah saya juga baik. Maaf, ada sesuatu yang penting, Bunda?”
” Maaf, mengganggu Ibu Guru. Ada yang ingin saya sampaikan.”
“Tidak, Bunda. Silakan, apa itu?”
“Kedatangan saya kemari selain ingin bersilaturahmi dengan Ibu Guru Nura, juga ingin menyampaikan sebuah salam.”
“Sebuah salam? Dari siapa?”
“Tiga hari berturut-turut, saya selalu bermimpi Fia datang dan berbicara kepada saya,” dia menghentikan bicaranya sejenak lalu menarik napas panjang.
“Bicara apa?”
Katanya, “Bunda, Fia ingin berangkat sekolah. Fia kangen dengan ruang kelas, papan tulis dan spidol juga Ibu Guru. Tiga hari saja. Setelah itu Fia akan pulang lagi.”
Dia sudah berangkat sekolah tiga hari ini, Bunda. Tentu saja ini hanya bicaraku dalam hati.
Meski aku percaya, setelah nyawa dipisahkan dengan raga, tak ada satu pun arwah yang bisa kembali ke dunia, meski sekadar untuk menyapa sanak saudara. Ialah jin qori, yang dalam agama kita diyakini menemani manusia sepanjang hidupnya, sehingga dapat mengetahui segala aktivitas dan kebiasaan manusia itu, juga dapat menyerupai diri si manusia yang ia temani untuk menemui mereka, para orang-orang terdekatnya di dunia.
***
aku sayang ibu guru nura
aku pulang dulu bu guru
Goresan terakhir yang kudapati di papan tulis seusai kembali dari mengantar Bunda Fia sampai depan tadi. Tunggu! Aku teringat sesuatu. Spidol yang kusimpan di loker tanpa tutup di sudut belakang kelas dua tahun lalu, spidol dari gadis kecil itu. Dan benar saja, benda itu tak berada pada tempatnya semula, tetapi di sana, di atas meja sebelah kanan, tempat duduk Fia dua tahun lalu. (*)
Evamuzy, gadis bungsu penyuka cerita, bahasa dan warna cokelat muda.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata