Wanita yang Duduk di Kursi Kamarku
Oleh: Lily Rosella
Kamu adalah wanitaku, setidaknya begitulah anggapanku setiap kali melihatmu datang. Mengenakan gaun merah dan rambut yang tergerai berantakan, kamu duduk tenang di kursi yang menghadap ke tembok. Seseorang bilang aku gila karena mencintaimu, dia menasihatiku untuk sadar dan mencari wanita yang lebih baik. Tapi aku tidak mau. Aku hanya ingin kamu. Ya, kamu yang berekspresi datar dan tetap tenang memandangi tembok kosong di depanmu.
Jika saja kamu tahu kalau diam-diam, dari ranjang lapuk yang kutempati, aku memperhatikanmu dengan mata yang setengah terpejam, mungkin kamu bakal terganggu dan tak pernah datang lagi ke rumahku, terlebih ke kamarku. Meskipun kamu datang untuk duduk di kursi itu selama satu jam per hari pada pukul delapan malam dan kemudian pergi lagi, aku tetap berharap kamu datang. Besok, dan besoknya, dan besoknya lagi. Setiap hari sehingga aku bisa memandangimu sambil membisu.
Pernah di satu malam kamu menengok ke arahku ketika tanpa sengaja kakiku menendang lemari kayu yang reyot dan bisa rubuh sewaktu-waktu, ketika aku membalik badan untuk menghadapmu, lantaran kasur yang kutempati tidaklah sepanjang ukuran tubuhku. Kamu menatapku agak lama dan aku pura-pura tertidur, memejamkan mata kuat-kuat dengan harapan kamu tidak tahu jika sedang kuperhatikan.
Syukurlah! Akhirnya kamu kembali memandangi tembok kosong di depanmu. Tak ada apa pun di sana: lukisan, foto, atau gambar-gambar buatan tangan. Tembok itu bersih, meski memang warnanya agak kecokelatan karena jika hujan turun maka atap kamarku bakal bocor. Air menetes seolah ada gerimis di dalam ruangan, membuat lantai menjadi basah pun tembok juga kasur dan lemari, serta kursi yang biasa kamu duduki.
“Sebaiknya kamu segera sadar. Dia bukan wanita yang patut kamu cintai.”
“Kenapa kamu tidak pernah menyukainya?”
“Kalian berbeda.”
“Lalu wanita seperti apa yang putut aku cintai?”
“Ada begitu banyak wanita, kamu bisa memilih yang sama sepertimu.”
“Apa itu kamu? Wanita yang patut aku cintai.”
“Apa …?”
“Sudahlah, jangan urusi urusanku.”
Ah, kenapa juga percakapan seminggu lalu itu mengusik pikiranku di saat sedang khusyuk-khusyuknya aku memandangimu.
Kamu bangkit dari kursi pada pukul sembilan malam, keluar dari kamarku yang pintunya tak pernah tertutup sama sekali. Sengaja aku tak menutupnya biar kamu leluasa untuk keluar-masuk. Setelah kamu pergi, barulah aku bangkit, duduk di kursi yang biasa kamu tempati. Membayangkan apa yang sebenarnya sedang kamu pandangi. Barangkali dulu di tembok itu ada fotomu dengan kekasihmu atau orangtuamu atau seseorang yang berarti di hidupmu, pikirku. Tapi aku tak berani menebak terlalu jauh karena sejujurnya aku tak pernah benar-benar mengenalmu selain hanya tahu kalau kamu akan datang pukul delapan dan pergi pukul sembilan. Duduk di kursi yang sekarang aku duduki sambil memandang tembok bernuansa hampa.
Kosong. Entah kenapa napasku berat sekali memandang tembok di depanku. Mungkin karena aku tak memandangnya bersamamu atau membayangkan kamu memandanginya sambil membayangkan orang lain yang bukan aku. Rasanya tak pernah aku sefrutrasi ini. Tapi mau bagaimana lagi, kita hanyalah orang asing yang bertemu tanpa mengenal satu sama lain. Yang satu bisa melihat sesuka hati tanpa disadari, dan yang satu terlihat tak pernah peduli dan memusatkan segala perhatiannya untuk tembok kosong. Kisah cinta yang begitu menyakitkan.
Pagi ini saat matahari baru seujung tombak, orang-orang datang ke rumahku, membuat keributan. Meyakinkanku bahwa kamu orang jahat. Aku hampir tidak percaya tentang apa yang kamu pandangi selama dua tahun belakangan ini. Ternyata kamu memandangi aku. Ya, aku yang kamu kubur di dalam tembok itu. Entah atas dasar apa.
Jika saja aku menurut untuk ikut dengan dokter yang bekerja di gedung tua dekat sungai yang airnya keruh—tempat hantu-hantu hilang ingatan, mungkin aku tak pernah tahu siapa diriku dan siapa kamu. Aku hanya akan tetap menjadi hantu hilang ingatan yang terus mengeja kamu dengan berbagai cara, termasuk memandangimu dari kasur di kamar ini, tempatku terjaga dua tahun lalu. (*)
Jakarta, 21 November 2018
Lily Rosella, penulis kelahiran Jakarta yang sedang menggiati dunia menulis, terutama cerpen.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata