Pengaruh Target Pendidikan Bagi Anak Usia Dini
Oleh: Erlyna
“Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat.”
Siapa tidak kenal dengan ungkapan tersebut? Ungkapan yang sering terdengar saat ceramah-ceramah keagamaan, penyambutan anak didik baru maupun pidato-pidato yang sifatnya untuk menambah semangat.
Lalu apakah menuntut ilmu sejak dini itu perlu? Ibarat sebuah adonan, otak anak usia dini masih lunak jadi mudah untuk menyerap ilmu. Beda dengan otak orang dewasa yang sudah mengeras, menyerap sebuah ilmu saat dewasa membutuhkan usaha lebih keras dan telaten.
Hal itulah yang kian memicu maraknya tempat-tempat belajar untuk anak-anak usia dini. Berbagai lembaga pendidikan saling berlomba-lomba, mempromosikan program unggulan masing-masing.
Salah satu hal yang menjadi fokus dalam program-program yang diunggulkan yaitu sebuah pencapaian, yang lebih populer dengan sebutan target pendidikan. Sebuah lembaga pendidikan A menargetkan lulusannya sudah bisa membaca dan menulis, lembaga pendidikan B menargetkan lulusannya sudah hafal Asmaul Husna dan surat-surat pendek, sementara lembaga pendidikan C menargetkan lulusannya lancar berbahasa asing dan sebagainya.
Lalu apakah hal itu salah? Tentu saja tidak. Sebuah target pendidikan sangat bagus untuk membantu meningkatkan kualitas dan kecerdasan seorang anak. Yang menjadi masalah adalah cara atau proses yang diterapkan. Sering kali guru atau pembimbing terkesan memaksakan kehendaknya kepada anak didik. Guru yang seharusnya membantu, membimbing pelan-pelan dengan penuh kasih sayang, berubah layaknya seorang diktator. Kebanyakan dari mereka mengharuskan anak-anak didiknya untuk mengikuti sistem yang sudah mereka rancang bagaimanapun caranya. Tidak peduli sang anak mampu atau tidak. Hal inilah yang berakibat buruk kepada perkembangan kejiwaan anak baik sekarang maupun di masa depan.
Dunia anak-anak usia dini adalah dunia bermain. Itu adalah masa-masa keemasan mereka untuk bereksplorasi, menciptakan berbagai keajaiban dan melakukan apa pun yang mereka inginkan. Dengan adanya sebuah target dalam dunia pendidikan, sama saja dengan membatasi daya kembang anak.
Padahal, anak-anak usia dini sangat menyukai kebebasan. Coba bayangkan, jika seorang anak yang begitu senang bergerak ke sana-kemari, mengenal dan mempelajari alam sekitar, tapi di dunia pendidikan yang harus dijalaninya, ia dipaksa untuk terus menerus duduk rapi, diam dan memperhatikan pelajaran sepanjang hari, serta melakukan perintah yang mungkin saja tidak sesuai dengan kehendaknya.
Apakah yang akan terjadi? Barangkali sang anak akan berteriak, protes dan melakukan aksi berontak yang oleh kebanyakan orang dicap sebagai anak ‘bandel’ dan sulit diatur. Atau barangkali sang anak akan menurut melakukan apa yang diperintahkan kepadanya dengan terpaksa. Sang anak yang sebenarnya ingin mengungkapkan isi hatinya, menyuarakan pikirannya sendiri tapi tidak pernah diberi kesempatan. Lalu, apakah yang akan terjadi?
Bisa ditebak, sang anak akan tumbuh sebagai orang yang berusaha melakukan apa pun yang sudah menjadi kewajibamnya, tapi sebenarnya mereka tengah memendam beban. Beban perasaan yang sekian lama harus ditanggungnya sendiri. Dan saat batas kekuatannya habis, sang anak akan stres. Mereka jadi kehilangan kesadaran atas jalan pikirannya sendiri.
Apakah orangtua juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kejiwaan sang anak? Jawabannya adalah “Iya”. Bahkan orangtua adalah kunci paling penting terhadap perkembangan kejiwaan anak. Namun kebanyakan, para orangtua terkesan pasrah kepada pihak lembaga pendidikan dan menyerahkan semuanya. Kebanyakan para orangtua rela membayar mahal demi melepas tanggung jawabnya terhadap sang anak. Padahal, justru di tangan orangtualah perkembangan terbaik anak akan terjadi. Orangtua yang telaten memperhatikan anaknya, menyelami pikirannya, mengetahui apa yang diinginkannya akan menjadikan sebuah ikatan tak terkalahkan. Ikatan super kuat yang hanya bisa dipahami oleh orangtua dan anak.
Lalu bagaimana nasib anak-anak yang keinginannya selalu dikekang? Terpaksa melakukan hal-hal yang sebenarnya adalah ambisi orangtua semata. Orangtua yang ingin anaknya terlihat cerdas, membanggakan dan dipuji orang banyak, pasti akan memasukkan anaknya ke salah satu lembaga pendidikan dengan target yang tinggi. Mereka—para orang tua—akan melakukan apa saja termasuk mengharuskan mengikuti berbagai macam les tambahan demi mengabulkan ambisinya, tanpa sedikit pun peduli dengan perasaan sang anak. Mereka bahkan rela membayar berkali-kali lipat lebih mahal dengan jaminan sang anak akan menjadi seperti yang diinginkan.
Lalu apakah yang akan terjadi pada sang anak? Apakah mereka bahagia? Hal yang sama persis terjadi pada salah satu anak dari seorang kerabat, di mana mereka ingin anaknya cerdas dan membanggakan, mereka memasukkannya ke berbagai les tambahan hingga sehari penuh. Sang anak yang masih berusia lima tahun sama sekali tidak punya waktu untuk bermain. Memang, sang anak terlihat sangat cerdas, tapi setelah dipahami betul sesungguhnya sang anak mengalami stres berat. Bahkan saat kami makan malam bersama, sang anak terlihat mengunyah makanan sambil komat kamit menghafal sesuatu.
Sungguh miris. Betapa banyaknya orangtua yang bahkan rela menghancurkan kebahagiaan anaknya sendiri demi sebuah ambisi. Mereka beranggapan bahwa anak yang cerdas adalah anak yang menguasai berbagai macam bidang pengetahuan. Tapi sedikit sekali dari orangtua yang peduli dengan apa yang sudah dipilih sang anak sebagai jalan hidupnya. Orangtua yang mendukung keinginan anaknya dan memberi semangat tanpa harus jadi seperti yang orangtua inginkan. Yakinlah, setiap anak punya cara tersendiri untuk membahagiakan orangtuanya. Semoga kita termasuk orang-orang yang peduli tersebut.
Purworejo, 20 November 2018
Erlyna, perempuan sederhana kelahiran Jakarta yang menyukai dunia anak-anak. Hobi makan, melamun dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata