Buku Harian Lola
Oleh: Fitri Fatimah
Terbaik ke-4 Tantangan Lokit 9
Aku bukan lancang. Aku bukan mengintip, apalagi mencuri. Aku hanya… ya, salahkan saja dia yang tadi ketika bel pelajaran terakhir berbunyi, langsung seradak-seruduk lari, dengan teledor meninggalkan buku hariannya. Dan aku yang kebagian piket hari ini, berhubung tadi pagi lupa, teman-teman yang sejadwal denganku sampai ngomel, katanya mereka jadi harus nyapu dan buang sampah double. Jadi sebagai gantinya paling tidak sepulang sekolah aku harus merapikan bangku, sekalian menghapus papan tulis juga. Siap laksanakan! Dan begitulah bagaimana akhirnya ketika aku membuat bangku-bangku itu lurus berderet, aku menemukan buku bersampul kain coklat kotak-kotak, dengan di tengahnya ada bunga matahari imitasi tertempel.
Aku tahu benar ini buku siapa. Bukan karena buku ini tertinggal di bangku di mana si pemilik duduk, tepat di depan bangkuku, tapi karena si pemilik sering membawanya ke mana-mana, ke kantin, ke lapangan olahraga, kemana pun dia pergi, buku ini pasti lekat di tangannya seakan terborgol. Bikin aku sempat berdecak, memangnya seberapa berharganya buku itu, atau seberapa bahaya dia menulis rahasia di situ? Dan memangnya lagi, siapa juga yang tertarik untuk curi lihat, ya kan?
Paling-paling dia hanya menulis, “Dear diary, hari ini aku dapat sembilan. Hiks, padahal aku sudah belajar giat. Tak peduli apa, besok aku harus dapat nilai 10. Semangat!” pokoknya kalimat-kalimat semacam itu, yang tipikal Lola, namanya Lola maksudku, si murid nomor satu.
Sebenarnya ini aku agak bingung. Dia murid paling pintar, tapi ke mana-mana—selain membawa buku harian—dia bukan membawa buku pelajaran, melainkan novel. Dan dari yang kulihat, sampul novelnya tiap hari selalu berganti, menunjukkan seberapa cepat dia bisa melahap buku-buku itu. Ya ampun, memangnya matanya tidak juling, memang bola matanya tidak mau sampai melompat, dipakai bergulir dari satu halaman ke halaman secepat itu? Jadi tak heran, kan, kalau aku heran. Bukan, bukan soal mata juling, tapi soal bagaimana dia bisa pintar padahal bacaannya novel, kapan dia punya waktu belajarnya?
Oh, kenapa aku mesti pusing memikirkan Lola. Lebih baik aku lanjutkan tugas. Malas-malasan tanganku menekan penghapus pada papan, membuat tulisan-tulisan dari spidol di sana seketika hilang. Beberapa menit kemudian ketika aku selesai, aku hanya tinggal menyandang tas lalu pulang, sayangnya tak bisa tidak mataku kembali tertumbuk pada buku harian di atas bangku itu. Aduh. Cari mati aku.
Kalau Lola tahu aku membaca buku hariannya, dia akan makin menumbukku hingga jadi perkedel. Hubungan kami memang tidak pernah bagus. Entah salah apa tapi kalau padaku Lola pasti selalu judes. Padahal pada teman-teman lain senyumnya lebar. Kalau ada teman yang bertanya pelajaran yang tidak dimengerti, dia akan dengan senang hati menjelaskan. Juga kalau ada siapa pun yang mau pinjam koleksi novelnya, dia akan selalu berkata “iya”. Cuma pada aku seorang, seakan ada sakelar yang ditekan lalu Lola versi baik, dalam hitungan detik seketika berubah jadi Lola versi jahat. Boro-boro meminjamkan novel, kupanggil namanya berkali-kali dari bangku belakang dia ogah menoleh. Sekalinya menoleh, dia melempariku tatapan sejuta silet, sudut matanya menukik tajam. Aku bergidik. Mungkin dia tidak suka namanya kusebut. Jadi lain kesempatan ketika ada perlu, aku tidak lagi memanggil, melainkan kujulurkan ujung penggaris mencolek bahunya. Bagus, selain tatapan tajam aku juga dihadiahi gebrakan di bangku.
Aku salah apa, sih, pada gadis satu ini?
Berbekal rasa “sungguh mati penasaran”, tak ayal kemudian aku urung menyandang tas, berjalan ke arah bangku Lola, menjangkau buku harian di sana, mulai membaca.
Tuh, kan, benar! Dia memang kebanyakan hanya menulis unek-uneknya soal pelajaran, soal target nilai yang mau dia capai, hari ini ada PR apa, siapa guru favoritnya, latihan soal-soal matematika yang berusaha dia pecahkan sendiri, juga rumus-rumus yang berulang kali dia gambar pakai spidol warna-warni. Oh, jadi kalau mau pintar harus begini, ya? Paling tidak sekarang aku sudah memecahkan misteri bagaimana dia bisa pintar. Dan iya, di sana dia juga sering menyalin kutipan favorit dari novel yang dibacanya. Sama sekali tidak ada yang menarik dan rahasia dari buku harian ini.
Aku mencoba membalik halamannya dengan cepat, mencari—pasti paling tidak dia menulis tentangku di sini, jadi mungkin seharusnya sesuatu dengan judul namaku.Pada halaman ke sekian aku menemukan “Si Pemalas Jelek”.
Apa-apaan! Mana bisa dia menganggapku seperti itu! Aku mungkin pemalas, tapi aku tidak jelek. Eh, atau iya ya? Aku mungkin jelek, tapi tidak malas. Pilih satu-satu. Jangan dua sifat negatif disandingkan.Dengan masygul aku melanjutkan membaca.
***
Aku pernah baca artikel, kalau kamu sarapan pagi dengan makanan yang berminyak, atau sayur yang direbus lama, kamu akan mengantuk seharian. Jadi apakah si anak laki-laki di belakang bangkuku ini tiap hari makan makanan itu sampai ketika sampai di kelas kerjanya pasti langsung tidur—tak lupa dengan buku LKS diletakkan di depan kepalanya sebagai penghalang. Ishaq mungkin bisa mengecoh guru, tapi tidak denganku. Sering aku dengan sengaja menendang kaki mejanya, dan dia bakal dengan tergelagap bangun, pandangannya liar ke arah meja guru. Aku terkikik melihatnya yang kemudian mengelus dada setelah selesai terkejut. Lalu dia lanjut tidur lagi. Dasar.
Hari ini Ishaq sedang tidak beruntung. Pak Anas menunjuk namanya untuk mengisi soal matematika nomor dua. Sampai di papan dia garuk-garuk kepala, lalu menulis jawaban sembarang. Teman-teman menertawakan. Dia cuma cengar-cengir. Bahkan kemudian dia juga ikut tertawa. Dia tertawa dengan tak tahu malunya.
Aku masih menyimpan dasi Ishaq, bahkan setelah upacara selesai. Aku juga tidak tahu kenapa dia tiba-tiba meminjamkannya, kecuali kalau dia punya dasi cadangan—yang mana tidak, sebab kemudian setelah dia meyakinkanku untuk memakainyadan masuk melewati gerbang, ketika aku sudah berdiri di barisan, aku melihatnya digiring guru BP bersama siswa-siswa lain yang tidak mengenakan atribut lengkap. Kenapa dia mau berkorban untukku? Aku kira tadi waktu dia menghampiriku yang sedang mondar-mandir di gerbang, dia datang untuk mengejek, “Cieee yang bakal tahu rasanya kena hukuman BP!” Kukira dia bakal bilang begitu. Tapi dia malah melepas dasi dari kerah bajunya lalu dijulurkan ke arahku. Kenapa dia mau repot-repot baik hati?
Anehnya, setelah kejadian singkat itu, aku mulai memandangnya secara berbeda. Dia masih sering tidur di kelas, tapi aku tidak lagi punya keinginan untuk mencibir, aku malah bertanya-tanya apa yang sampai membuatnya kelelahan? Jawabannya cukup mengejutkan. Aku biasanya tidak menaruh perhatian ketika teman-teman mulai bergosip, tapi entah kenapa kupingku seakan membesar ketika mendengar nama Ishaq ikut-ikutan disebut. Bahwa katanya dia hanya tinggal berdua bersama ibunya, ayahnya telah lama meninggal, dan untuk membantu menyokong kehidupan mereka dia ikut membanting tulang.
Dia mungkin tidak akan suka aku mengatakan ini, tapi aku merasa kasihan padanya.
Ini rumit. Memangnya masih ada yang lebih rumit dari logaritma? Aku bilang sebelumnya bahwa aku merasa kasihan, tapi apakah semata kasihan bisa membuatmu merasakan hal-hal aneh seperti; seseorang yang biasanya di matamu tampak buluk tiba-tiba jadi kelihatan menawan, atau tiba-tiba kamu jadi lebih semangat untuk berangkat ke sekolah dan ini tidak ada hubungannya dengan hari ini ada pelajaran guru favorit, yang muncul di pikiranmu sebagai alasan adalah teman di belakang bangkumu. Atau juga bahwa jantungmu berdentam-dentam amat keras seakan ikut lomba lari. Ini rumit. Aku jadi kesal sendiri. Yang lebih menyebalkan adalah dia sama sekali tidak menyadari kebingunganku, bahwa ini ada hubungannya dengan dirinya. Dia masih enak tertidur, cengar-cengir bersama temannya. Bahkan saat aku yang biasanya sudah judes jadi berlipat-lipat judes, dia cuma—lagi-lagi cengar-cengir. Ya ampun, kapan kamu bakal peka, aku suka kamu!
***
Aku mungkin sangat terlarut dalam apa yang kubaca, atau karena saking terpananya aku, semua ini masih sulit kucerna di pikiran.Pikiranku mandek, dan mungkin itu juga sebabnya aku sampai tidak mendengar—padahal sekolah telah sepi—bahwa dari koridor kelas ada langkah kaki yang tergesa-gesa, lalu pintu yang dihentak terbuka. Terlambat! Saat mataku terangkat dari halaman buku, sosoknya sudah berdiri di sana, bersimbah keringat, kedua tangannya terkepal. Bukan, bukan itu yang bikin aku bergidik ngeri, tapi tatapannya. Dia menghunjamku dengan tatapan yang lebih tajam dari yang sudah-sudah, melebihi sejuta silet.
Langkahnya lebar menghampiriku, dengan kasar dia menyentak buku harian di tanganku lalu lari pergi.
Hei, apa-apaan itu! Memangnya begitu sikapmu pada orang yang kamu suka?(*)
Sumenep, 6 November 2018
Fitri Fatimah, suka membaca. Menulis adalah kegiatan yang baginya wajib dibarengi kopi.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diselenggarakan di grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata