Donna Marrie

Donna Marrie

Donna Marrie
Oleh : Sri Ayu

Juara ke-3 Tantangan Lokit 9

Aku beranjak keluar dari kamar, jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dia pasti sudah menungguku di ruang makan.

“Kau baru bangun?” sapanya dengan senyum manis.

“I—iya … ah, sepertinya ada yang berbeda malam ini, makanannya banyak sekali.” Aku mengalihkan pembicaraan karena tak enak hati telah membuatnya menunggu.

Wanita itu terkekeh, kemudian menghampiriku. “Selamat ulang tahun, El,” ujarnya sembari memelukku dengan hangat.

Aku terdiam sesaat, ulang tahun? Aku bahkan sudah lupa tentang hal itu. Aku tak menyangka ia mengingatnya, karena selama tinggal bersama, kami hanya bertegur sapa saat makan dan membahas tentang pekerjaan.

“Tersenyumlah, El, kita rayakan hari spesial ini.” Ia mengurai pelukan, kemudian duduk di kursi yang biasa ia pakai.

“Terima kasih, aku tak menyangka kau menyiapkan semua ini,” ucapku sembari ikut duduk di kursi yang ada di sampingnya.

“Tidak apa, El. Ini kado untukmu, bukalah.”

Ada rasa haru yang merasuk ke dalam diri saat menerima kado itu. Kado yang cantik dengan pita berwarna merah. Kubuka benda itu dengan perlahan, dan mencoba menebak isinya dalam hati.

“El, apa kau punya mimpi?” tanyanya ketika melihatku selesai membuka kado itu.

Aku terpaku mendengar pertanyaanya, sekaligus bingung melihat isi dari kado yang ia berikan. Sebuah buku, entah apa hubungan antara pertanyaanya dengan buku itu.

“Aku ingin menjadi dokter, tapi … mimpi itu tidak akan pernah bisa aku wujudkan,” sahutku setelah cukup lama terdiam.

“Tapi kau bisa membuat mimpi yang baru, El.”

Lidahku kian terasa kelu, aku tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini.

Kulihat ia mulai menyulut sebatang rokok, dihisapnya sebentar, kemudian diembuskannya gumpalan asap dari mulut.

“Sudah cukup kau mengikuti jejakku, El. Seperti buku kosong itu … hapuslah semua memori kelam selama bersamaku, dan mulailah menulis cerita dan mimpi yang baru.”

Aku terhenyak. Kata-kata itu menyentuh hati kecilku, kucoba menahan bulir bening yang mendesak di balik kelopak mata, karena kebingungan masih memenuhi kepala. Wanita itu menatapku cukup lama, kemudian memberikan sebuah kunci padaku.

“Bukan maksudku mengusirmu, El. Tapi … aku ingin villa ini kosong selama aku pergi.”

“Pergi? Kau mau pergi ke mana?” timpalku dengan cepat. Semua ini terlalu mengejutkan untukku.

“Besok aku akan pergi … mengejar mimpiku yang sempat tertunda.” Ia mematikan api dari puntung rokoknya, “itu kunci apartemen baru untukmu, tempatnya tidak jauh dari sini.”

Lama kami terdiam, wanita itu tersenyum lebar, sementara aku menangis haru menatapnya. Dia yang membuatku menjadi seorang jalang, tapi aku tidak pernah menyesali itu. Karena aku tahu, seandainya aku tidak bertemu dengannya … nasibku jauh lebih mengerikan daripada ini.

Masih kuingat dengan jelas, bagaimana dulu aku hanyalah gadis buruk rupa yang dijadikan budak pemuas nafsu para preman jalanan, tanpa bayaran, dan kerap diperlakukan layaknya hewan. Hingga dia datang memungutku, memperlakukan aku dengan baik, merubah wajahku menjadi cantik, dan ia memberiku predikat “Jalang Bermartabat”. Aku tidak akan lupa itu.

“Berjanjilah, malam ini yang terakhir kalinya kita dipanggil sebagai seorang jalang, Ellea,” bisiknya saat kami berpelukan sebelum aku berlalu pergi meninggalkannya.

****

Pukul delapan pagi aku bergegas keluar dari apartemen, tanpa menghiraukan sosok pria yang masih terlelap tanpa busana di atas ranjang baruku.

“Semoga aku tidak terlambat mengantarnya ke bandara,” gumamku bicara pada diri sendiri.

Kulajukan mobil dengan kecepatan cukup tinggi, takut ia sudah pergi tanpa berpamitan, karena ponselnya tidak bisa kuhubungi sedari tadi, dan aku takut terjebak macet. Tapi aku menghela napas lega saat berhasil memasuki kawasan vila tanpa terjebak kemacetan.

“Ada apa ini?”

Kuparkirkan mobil di sembarang tempat, kemudian berbegas keluar menuju gerbang vila.

“Maaf, Mbak. Ini ada apa, ya?” Aku bertanya pada salah seorang wanita yang berdesakan ingin masuk ke vila.

“Dona Marrie … dia bunuh diri.”

Deg! Jatungku terasa berhenti untuk beberapa saat, aku menggeleng tak percaya dengan ucapan wanita itu.

“Tidak mungkin!”

Tanpa berpikir panjang, aku mendorong kerumunan orang-orang itu agar aku bisa masuk ke dalam vila. Namun tubuh kecilku malah terpental.

“Tolong beri jalan!” teriak seseorang dengan tegas. Satu per satu orang-orang itu menyingkir, kecuali aku.

“Pak, tolong izinkan saya memastikan apa benar itu Donna Marrie? Saya keponakannya,” ucapku dengan penuh permohona kepada polisi yang menggotong sebuah kantung jenazah.

Dewi fortuna berpihak padaku, polisi itu percaya ucapanku. Mereka berhenti sejenak, kemudian mebiarkanku melihat isi kantong jenazah itu dengan tangan yang bergetar hebat. Oh, God! Kakiku terasa lemas seketika. Aku tak sanggup melihatnya.

“Apakah ini mimpimu?” lirihku sembari menatap wajah cantik yang pucat, terlihat tersenyum meski tak lagi bernapas.

“Mengapa kau lakukan ini ….”

Kakiku tak mampu lagi menopang tubuhku sendiri, karena menangis terlalu histeris, aku masih tak percaya dengan semua ini.

“Nona!”

Hanya teriakan itu yang terakhir kali kudengar, sebelum semuanya gelap.(*)

Tebing-Tinggi, 4 november 2018.

FB @Arrachel Lotusca

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diselenggarakan di grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata