Buku Sketsa Wanita Itu
Oleh: Reza Agustin
Terbaik ke-8 Tantangan Lokit 9
Sepatu hak tinggi kami membelah suasana pagi hari kota Seoul. Bergerak masuk menuju gang sempit pada daerah perumahan kumuh. Aku dan Yunjin sesekali meniup telapak tangan kami yang tak terbalut sarung tangan. Hawa dingin menjelang masuknya musim gugur membuat kami menyesal karena tak sempat membawa sarung tangan. Kami terhenti pada sebuah pintu reyot. Letaknya yang menjorok masuk pada gang kecil lain membuatku menahan Yunjin untuk ikut masuk, aku memintanya menunggu di luar untuk mengawasi keadaan. Terlebih lagi kemarin pasien kami sempat mengamuk karena hadirnya Yunjin pada pemeriksaan harian. Maka aku sendiri yang akan masuk menggunakan kunci cadangan yang diberikan induk semang pemilik kamar kecil ini. Ia masih ada di sana, sesuai perkiraan.
Buku kusam itu tergenggam dalam pelukan. Sinar matanya kian meredup saat menatap pada jendela kamar yang berembun. Ia terduduk pada sisi tempat tidur yang sama sejak terakhir kali aku menemuinya kemarin. Telah terlewat satu malam tanpa putrinya yang telah menghilang sejak dua minggu lalu. Aku melesak memasuki kamar sempit tempat ia dan putrinya tinggal selama setahun belakangan. Bahkan kamar kecil itu tak seluas ruang baca milik ayah di rumah. Hanya sebuah kotak dengan lebar empat kali empat meter dengan satu jendela yang merangkap sebagai ventilasi udara dan satu-satunya pintu sebagai akses jalan. Ada satu ruangan kecil yang memakan setengah meter untuk diambil sebagai kamar mandi. Kehidupannya yang serba kekurangan adalah dunia yang baru kutemui setelah tiga puluh lima tahun hidup dalam sangkar emas.
“Dokter, apa putriku Minju belum pulang?” lirihnya dalam lamunan. Matanya tak bergerak mengikuti pergerakanku, masih terpaku pada dunianya yang entah di mana.
“Sampai saat ini belum, Nyonya. Tolong bersabar sebentar lagi, ya.” Telapak tanganku mengusap bahunya lembut, menyalurkan sedikit rasa nyaman. Ia adalah wanita terhebat yang pernah aku temui, Hwang Eunbi. Berusia sama denganku, tiga puluh lima tahun. Seorang ibu muda dengan anak perempuan berusia enam tahun, bekerja serabutan, dan tak bersuami. Ketika wanita malang ini dipertemukan denganku dua minggu lalu, aku benar-benar seperti hidup pada dimensi yang berbeda dengannya. Ia yang begitu kuat menjalani kerasnya hidup walau dibungkus oleh sosok rapuh yang tersisa tulang dan kulit.
“Tapi aku punya firasat bahwa dia sedang tidak baik-baik saja sekarang? Lihatlah apa yang dia tinggalkan pada buku gambarnya ini,” gumamnya sambil mengangsurkan buku kusam yang sejak tadi dia peluk erat-erat.
Aku nyaris tak mengenali buku tua ini sebagai buku gambar, namun sebagai buku sketsa. Suamiku punya lusinan buku seperti ini dengan harga yang tak murah di ruang kerjanya. Tak seperti buku sketsa punya suamiku yang selalu kelihatan baru tiap harinya, maka buku sketsa di tanganku ini begitu lusuh. Digerogoti oleh waktu setelah bertahun-tahun menemani hidupnya. Beberapa halaman awal nyaris tak mampu terlihat goresannya, terhapus oleh jejak-jejak air. Banyak coretan-coretan indah yang menghiasi beberapa halaman pembuka. Aku yakini coretan-coretan artistik itu merupakan goresannya sendiri, tak mungkin seorang anak berusia enam tahun mampu menggambar begitu indah seperti coretan tangan orang dewasa.
Pada tengah-tengah halaman bisa kulihat coretan tak beraturan khas anak-anak. Tergambar dua sosok berambut panjang dengan ukuran yang berbeda, tertulis bahwa sosok dengan rambut panjang berukuran besar itu adalah Eunbi sendiri. Ada tulisan ibu pada gaunnya, sedangkan sosok kecil itu sendiri diberi nama sesuai nama pelukisnya, Minju. Jemariku bergerak menelusuri tekstur gambaran tersebut, benar-benar sketsa yang dilukis seorang anak. Sejenak terasa menggetarkan hati, teringat bahwa tiga tahun pernikahan berjalan aku belum dikaruniai malaikat kecil. Memikirkannya membuat tenggorokanku terasa kering. Halaman selanjutnya aku buka tanpa ragu, rasa kering pada tenggorokan segera hilang. Aku menutup mulut dengan telapak tangan, menahan mual yang memaksa untuk keluar.
Itu bukan gambaran seorang anak kecil. Tepatnya gambar orang dewasa, tentang sebuah tubuh anak kecil yang tergolek berlinang darah. Isi kepalanya meluber dengan sayatan lebar yang membelah separuh wajah. Pandanganku berkunang-kunang, seharusnya sebagai seorang yang bekerja di bidang medis membuatku tak asing lagi dengan hal-hal seperti ini. Terlebih lagi yang berada di hadapanku hanya sebuah coretan tangan manusia, tak lebih.
“Ada apa, Dokter? Apa, Anda merasa takut melihatnya? Sudah seharusnya begitu, bukan?” ujar Eunbi seraya menatap mataku lekat-lekat, matanya diliputi oleh dendam kesumat, napasnya seketika memburu. Diikuti dengan kedua tangannya yang secara tiba-tiba bergerak mencengkeram leherku tanpa ampun.
“Wanita sialan! Kembalikan putriku dan hidupku yang bahagia! Kau harus bertanggung jawab atas segalanya!” Ia mengamuk dan meraung-raung penuh dendam. Seharusnya aku segera memberikannya obat penenang sejak kedatanganku tadi, maka ia tidak akan begini.
“Dokter Gaeun!” Yunjin melesak masuk mendengar jeritan pasien kami. Ia segera memisahkan tubuh kami dengan susah payah. Butuh banyak tenaga yang dikerahkan untuk menahan tubuhnya dan menyuntikkan obat penenang. Ia masih sempat menggelinjang di atas ranjang sebagai perlawanan, namun berangsur tenang saat efek obat penenangnya bekerja.
“Kita harus bawa dia ke rumah sakit. Tolong hubungi pihak rumah sakit untuk menyiapkan mobil ambulans sekarang juga, aku akan menenangkan diri sejenak,” ujarku pada Yunjin dengan raut wajah lelah. Iya, aku lelah dengan pasien satu ini dan masa lalu yang menyertainya.
Bukan hal yang mengejutkan saat koneksi yang kumiliki dengan mudah membuka tabir kelam seorang wanita muda yang dicampakkan oleh pacarnya saat ia tengah hamil. Aku juga tak terlalu terkejut saat identitas pria yang pernah menjadi pacarnya ternyata bukan orang lain dalam hidupku. Jemari tangan terkenal erat, cincin yang melingkari jari manis terasa panas. Haruskah aku mengatakan secara frontal kepada pria itu bahwa ia punya seorang putri yang cantik? Sudah tiga tahun ia mengharap seorang bayi hadir dalam kehidupannya yang mewah di balik sangkar emas, namun tak pernah ia tahu bahwa di luar sangkar emas itu ia juga mempunyai darah dagingnya sendiri.
Buku sketsa yang tergeletak jatuh aku ambil sebelum memberikan tepukan di bahu Yunjin sebagai salam perpisahan. Ia akan langsung menuju rumah sakit bersama Eunbi, sedangkan aku membutuhkan sedikit waktu untuk menjernihkan pikiran. Lorong gelap yang aku lalui untuk mencapai cahaya pagi terasa begitu panjang. Ada sosok mungil yang menghalangi jalan keluar, sama persis dengan coretan dalam buku sketsa yang tergenggam di tangan. Lagi-lagi mataku berkunang-kunang dan aku benar-benar mengeluarkan seluruh isi perut.
***
Aku terbaring pada sisi ranjang, memunggungi orang yang sedang mencoba berbicara denganku. Enggan menatap wajah suamiku yang nampak khawatir sejak ia datang setengah jam yang lalu. Ia berlari pada koridor rumah sakit walau sudah tahu berlari sepanjang koridor rumah sakit adalah hal yang terlarang.
“Gaeun, sudah setengah jam kau diam. Apa yang membuatmu merajuk padaku?” Ia menaiki ranjang kecil ini, mencoba untuk menarik atensiku. Pada akhirnya aku selalu jatuh padanya untuk kesekian kali.
“Berapa banyak hal lagi yang kausembunyikan padaku, Jonghyun? Sudah seharusnya kau mengaku tentang segala hal yang sudah tersimpan rapat dalam masa lalumu selama ini,” tuturku lemah.
“Apa yang kaubicarakan? Tidak ada hal yang pernah aku sembunyikan padamu selama ini?” Ia menyangkal, seharusnya aku sudah tahu itu.
Tanganku merogoh bagian bawah bantal untuk mengeluarkan buku sketsa lusuh yang sejak tadi aku simpan. Aku mengulurkan buku sketsa itu padanya. Ia tak merespons apa-apa selain sebelah alis yang terangkat. Ia pun nampak ragu untuk menerima buku tersebut. Walau pada akhirnya buku tersebut mendarat di tangannya. Ketika halaman pertama terbuka, ia menahan napas. Ia telah paham apa yang menjadi biang keladi dari sifat dinginku. Seharusnya ia tahu betul siapa Hwang Eunbi itu. Mantan pacarnya waktu mereka masih kuliah di Amerika dulu untuk mengambil gelar master pada bidang seni. Suamiku, mantan pacar dari pasienku dan juga ayah dari bocah kecil malang yang kehilangan nyawa di tangan ibunya sendiri.
Hwang Eunbi membunuh putrinya dua minggu yang lalu setelah ia dipecat dari pekerjaannya sebagai pelayan sebuah restoran ayam. Padahal saat itu ia masih harus membiayai pengobatan putrinya yang sejak lahir tak memiliki paru-paru yang lengkap. Banyak tetangga yang menyebut bahwa ia pernah mencoba menggugurkan kandungannya berulang kali karena tak mampu membiayai kehidupan mereka nantinya, itulah yang membuat pertumbuhan putrinya tidak sempurna. Maka datanglah malam berdarah itu saat Eunbi menghabisi nyawa putrinya sendiri karena depresi. Mayat putri kecilnya entah tersembunyi di mana, sampai sekarang polisi masih menyelidiki ke mana Eunbi membuang mayat putrinya. Kondisi kejiwaannya yang tidak stabil membuat Eunbi harus mengalami gangguan kejiwaan seperti sekarang. Mungkin ia menyalahkan segala hal padaku. Karena sudah merebut pria yang seharusnya menjadi suami dan ayah dari anaknya.
“Kenapa kau tidak pernah mengatakannya padaku selama ini? Apa karena kau dibutakan keinginan menjadi menantu keluarga kaya? Apa karena kau berharap nantinya akan menguasai rumah sakit ayahku ini di kemudian hari?” cerocosku berurai air mata, dua minggu memendam beban yang sama di hati. Akhirnya beban itu terlepas juga. Walau pada akhirnya aku harus menangis dalam rengkuhan tubuhnya, karena berita duka itu datang secara tiba-tiba. Eunbi meninggal tergantung di pintu kamar tempat ia dirawat dan tubuh Minju ditemukan menyatu dengan dinding lorong kecil tempat mereka tinggal selama ini. Dan sebuah kenyataan bahwa aku mengandung, setelah tiga tahun lamanya.(*)
Reza Agustin, penggemar Webtoon dan Hallyu yang juga pecinta kucing dan penikmat teh manis hangat. Kunjungi Plukmenya dengan nama Reza Agustin dan Instagramnya di @Reza_minnie.
Wonogiri, 03 November 2018
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diselenggarakan di grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata