Suara Aksara
Oleh: Eni Ernawati
Terbaik ke-13 Tantangan Lokit 9
“Mamak wis ngomong to, Le. Pas pembagian buku di sekolah ndak usah minta.”
Kalimat legendaris Bude Atin untuk anak bungsunya kembali terdengar. Entah sebab apa lima hari tinggal di rumah Bude aku selalu tersenyum ketika beliau mengucapkan kalimat tersebut. Bahkan aku sempat berpikir adakah kalimat khusus lainnya untuk dua anak perempuannya yang cantik itu. Atau barangkali pesan semacam itu spesial bagi anak laki-laki.
“Bilang saja, aku sudah pintar, Bu. Jadi ndak perlu baca buku,” lanjutnya dengan muka datar.
Lelaki yang diajaknya bicara hanya terdiam. Seperti biasa matanya mengekor ke sana kemari mencari sesuatu yang tidak perlu. Aku tahu dia melakukan ritual itu untuk mengabaikan ucapan ibunya. Dari sorot mata bulat yang tidak pernah absen begadang itu ada suatu kesedihan yang mendalam. Mungkin karena dia tidak bisa memenuhi permintaan perempuan yang telah mengandungnya sembilan bulan.
Sejurus kemudian ruang tengah menjadi hening. Tiga orang di dalamnya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku sendiri sibuk dengan kertas-kertas yang memintaku untuk segera mengisinya.
***
Hari itu aku mencoba menghampiri rak buku yang ada di samping dipan. Dari kaki dan warnanya bisa kutebak rak itu sudah tak muda lagi. Untuk kaki rak yang sedikit miring barangkali karena ia tak sanggup menopang buku yang begitu banyak.
Di bagian atas diisi oleh buku tulis bersampul cokelat. Sangat rapi, tidak ada satu pun buku yang sampulnya lecek. Septian Ardyanto, nama yang tertera di pojok kanan atas. Ah, rasanya aku malu. Bagaimana tidak, aku yang cewek kalah rapi dengan sepupuku yang satu ini.
Pada bagian tengah dihuni beberapa tumpukan buku paket yang sangat tebal. Satu tumpukannya berisi lima buah buku. Aku semakin merinding dibuatnya. Di meja belajarku saja hanya ada tiga buku paket. Itu pun tak pernah kubuka. Apalagi yang berjudul matematika, memandangnya saja sangat horor.
Sementara bagian bawah rak tidak ada yang menarik. Justru membuat mataku enggan menatapnya. Sobekan kertas berserakan, pun tiga buah koran bekas di atasnya. Sepertinya koran tahun 2013 itu digunakan Tian untuk menutupi lembaran kertas agar tidak terlihat berantakan.
Sebentar, aku salah. Setelah aku membuka tumpukan kertas tersebut aku menemukan dua buku gambar yang ternyata isinya sangat menarik. Buku bersampul orange tersebut berisi sketsa wajah tokoh-tokoh penting Indonesia. Seperti Soekarno, Moh. Hatta, R.A. Kartini, dan beberapa tokoh penting lainnya. Yang paling membuatku kagum adalah gambar-gambar tersebut sangat mirip dengan aslinya. Sementara buku kedua berisi gambar abstrak. Bagiku—orang yang awam akan dunia seni, gambar itu terlihat biasa saja. Akan tetapi bagi para seniman, coretan itu pasti mempunyai nilai jual tinggi.
“Bagaimana kau bisa menemukan buku itu?” Suara Tian mengagetkanku. Aku tak menjawab mataku tetap memandang gambar yang bagiku sangat bagus.
“Kembalikan,” lanjutnya dengan sorot mata tajam.
“Kenapa? Gambarmu sangat bagus.”
Lelaki berambut pirang itu tak menjawab. Ia ikut duduk di depan rak buku dan mengambil alih buku gambar miliknya dari tanganku.
“Sejak kapan kau suka menggambar?” tanyaku penasaran.
Tian tak langsung menjawab. Justru ia memandangku dan gambar seorang perempuan bergantian. Sepertinya tadi aku melewatkan satu halaman, sebab tak kutemui gambar yang saat ini tengah membuat sepupuku muram.
“Sejak seseorang melarangku untuk menggambar,” jawabnya kemudian.
“Dengan alasan?”
“Yang tidak masuk akal.” Ditutupnya buku gambar miliknya kemudian diletakkan ke tempat semula.
“Bukuku sangat rapi, bukan?” Kenapa Tian menanyakan hal itu. Aku jadi merasa tersindir.
“Iya, aku sampai malu. Bukuku saja berantakan,” jawabku jujur.
“Karena tak pernah aku baca.” Aku mengernyitkan dahi mendengar jawaban Tian, “serius,” lanjutnya.
Awalnya aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Tian. Tapi setelah dia menyuruhku untuk membuka salah satu bukunya aku baru percaya. Di buku itu tidak ada catatan sama sekali. Pantas saja bukunya masih bagus.
Mendengar cerita dari sepupuku, aku teringat kejadian kemarin lusa. Di mana Bude memarahi putranya tak keruan. Malam itu aku sangat mengantuk, jadi tak begitu mendengar apa yang sedang dipermasalahkan. Sekarang aku sudah tahu apa penyebab Bude sering marah dan melarang putranya membeli buku. Karena tidak pernah dipelajari.
***
“Coba tunjukkan buku ini pada Bude.” Aku memberikan sebuah buku yang berisi tentang bagaimana cara mendidik anak yang benar kepada Tian.
Jika anakmu tidak pandai matematika. Sementara dia pandai menggambar. Maka jangan panggilkan dia guru les matematika. Tapi panggilkan guru seni untuknya. Fokuslah pada kelebihan yang dimiliki. Setelah membaca kutipan dari D. Corbuzier tersebut Bude menangis dan memeluk putra kesayangannya.
“Ngapunten, Le.” Berulangkali Budhe meminta maaf kepada Tian sambil mengelus-elus kepala putranya.
“Makasih kau sudah meminjamkan buku ini padaku, Ta,” ucap Tian diiringi senyum yang mengembang. Aku pun mengangguk dan turut bahagia. (*)
Tuban, 6 November 2018
Eni Ernawati, gadis penggemar stand up comedy yang berasal dari Tuban, Jatim
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diselenggarakan di grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata