Janji dalam Buku Usang 

Janji dalam Buku Usang 

Janji dalam Buku Usang 
Oleh: Dyah Diputri

Cerpen Terbaik ke-10 Tantangan Lokit 9

Ayah bilang dari ketiga putrinya yang berhasil kelak hanya satu.

Tulisan itu kutulis saat aku berusia sepuluh tahun. Pikirku, jika Ayah mengucapkan kalimat sakti berbau ramalan padauk—tanpa dia menyebut nama—bukan tidak mungkin akulah putri yang dimaksud.

Mengingat hubungan yang tak terlalu baik antara Ayah dan kakak perempuanku. Juga kebandelan sang adik yang terkadang tak bisa ditolerir oleh Ayah. Maka, dengan sendirinyamotivasi serupa candu menyelubungi jiwa dan ragaku, seolah akulah pemilik masa depan.

Apasih, yang membuat gadis kecil bersemangat untuk menggapai keberhasilannya? Ya! Tentu saja belajar!

Aku belajar sekeras tekad. Berkutat dengan buku yang kujajar mengelilingi tubuh mungilku. Berusaha berpikir, mendempulkan segala teori di otak hingga lelah, habis daya.Akan tetapi, bukan hal itu yang dikehendaki Ayah.

“Cukup, Puspita! Hentikan belajarmu yang akan sia-sia itu!” gertakannya seketika membungkam mulutku.

Tanganku sekerdil hati, menciut nyali. Pelan menutup lembaran buku yang baru ingin kubuka untuk selanjutnya menanti titah Ayah.

“Ikut Ayah!” perintahnya.

Patuh. Tanpa sempat membereskan tebaran buku, kuikuti langkahnya. Berjalan cukup jauh untuk sampai ke sebuah bangunan lama di tengah kota. Dari tulisan di gapuranya aku tahu bahwa itu tempat Ayah bekerja. Dewan kesenian kota. Ayah seorang pelatih tari di sana.

“Ambil sampur [1] ini! Ikutlah berlatih!”

Ada sekelumit rasa takut bergelayut di sanubari. Antara enggan dan tidak yakin pada kemampuan diri, aku berkata, “Puspita nggak bisa menari, Ayah.”

Ayah meremas rambutnya, kesal. Matanya memicing tajam, kedalamannya meminta pengertian dariku. Mau tak mau kuambil sampur hijau panjang itu. Kembali mengikuti langkah kakinya menuju sekumpulan orang yang akan berbaris. Dengan bangganya Ayah memperkenalkan aku pada rekan-rekannya.

Senyum terulas dari bibir orang-orang itu, namun entah mengapa aku merasa sedang tidak berdiri di titik amanku. Resah, keringat dingin mengalir meluruhkan kalimat yang tercekat di tenggorokan. ‘Aku tak punya darah seni dari Ayah.’

Suara musik Tari Remo mengalun keras di dalam gedung tua itu. Suara gemerincing terdengar setiap ketukan kaki menghentak. Namun aku tak bergeming. Diam.Ayah kecewa. Berteriak memacu semangat yang tak kunjung hidup dari dalam diriku sendiri.

Aku terduduk di ubin, kembali terisak di antara puluhan buku yang ingin kupeluk. Lalu saat mataku menangkap tulisan keramat itu, entah mengapa aku merasa memiliki harapan.

Kutulis lagi, lagi, dan lagi. Selembar demi selembar setiap kali dilema menggerogoti hasrat. Saat kebimbangan menuntutku berjalan pada jalan yang tak kupilih.

“Jangan gila belajar, Puspita! Mulailah menghapal nada gending yang kemarin Ayah ajarkan!”

Aku bergeming.

“Apa yang mulai berkembang dari lukisanmu? Mengapa sejak bulan lalu hanya tergores warna merah?”

Dadaku sesak. Terhimpit dalam ruang yang tak nikmat. Ingin, sekali saja aku didengar. ‘Aku hanya ingin membaca dan menulis! Bukan menari, bermain musik, ataupun melukis.’

Hingga lembar terakhir aku kembali menulis ….

‘Ayah bilang, dari ketiga putrinya yang berhasil kelak hanya satu.’

Kini, setelah sepuluh tahun berlalu ….

Aku berdiri, menggenggam buku usang itu. Bulir hangat yang tak kuharap mengetuk keras pelupuk mata, menerobos cepat seiring cubit-cubit ngilu di dada sebelah kiri.

“Apa yang engkau sesalkan?” Suara lembut Andra—suamiku—mengagetkanku. Serta-merta kuhapus jejak air mata yang masih mengikuti alurnya di pipi.

“Tidak. Aku hanya teringat Ayah.”

“Kau menyesal menikah denganku?”

Aku menggeleng.

“Duduklah!” Andra menarik jemariku untuk duduk di sampingnya. Di belakang punggung kami nampak Alana—Putri kecil kami yang hampir berusia setahun—tertidur pulas

“Kita tak pernah tahu bagaimana takdir membawa langkah kaki kita,” ungkapku.

“Termasuk saat kita lengah hingga kau hamil duluan?”

“Tidak. Bukan itu maksudku. Tentang takdir—”

“Bagaimanapun kau berusaha, terkadang hasil tak sesuai dengan harapan.”

Aku mengangguk lemah. Mencoba menerima apa pun hasil yang kutuai dari bibit yang kutanam sebelumnya.

Saat kepalaku hampir pecah sebab berdiri dalam tekanan hebat dari Ayah, entah mengapa aku sangat putus asa. Terbesit dalam benakku untuk mengakhiri semua perjuangan yang sia-sia.

Aku mengenal Andra dan ingin melupakan semua bebanku. Aku tak mau memikirkan tentang seni ataupun buku-buku di rumahku. Aku membebaskan jiwaku untuk berpetualang selayaknya remaja. Menikmati romansa cinta tanpa takut amarah Ayah.

Lalu, saat Ayah mengetahui aku hamil. Dia hanya terdiam. Tak ada cela. Tak ada teriakan. Hanya jengah yang ia tunjukkan dengan memalingkan muka.

Perlahan, sikapnya padaku mulai berubah. Tak lagi otoriter seperti dulu. Apa pun yang ingin kulakukan, dia bahkan tak mau tahu.

Sedang aku, hingga detik ini masih terikat dengan janji yang kubuat sendiri saat aku menuliskan kalimat-kalimat yang sama pada buku usang itu. Janji bahwa aku akan menjadi satu-satunya putri Ayah yang berhasil. Janji yang tak terbukti sekalipun aku memilih jalan yang diinginkannya.

“Karena takdir sudah tergaris, Puspita. Jadi, jangan menyesal untuk apa pun.” Andra kembali membuyarkan lamunanku.

“Kau tahu apa yang membuatku bersedih?” tanyaku.

“Apa?”

“Kakak bilang, Ayah menangis saat tahu aku hamil. Walau Ayah begitu ingin aku jadi seniman, tapi bukan berarti dia mengizinkanku berjiwa bebas seperti seniman. Sebenarnya, apa pun jalan yang aku pilih, ia hanya ingin aku bahagia. Karena kebahagiaan itu adalah keberhasilanku.”

“Maka bahagialah!”

“Tidak bisa,” pekikku.

“Mengapa?”

“Karena garis hidupku tak sesuai dengan ucapan Ayah. Juga karena dia tak lagi ada di dunia ini meski hanya untuk membenciku.”

Andra memeluk tubuhku yang gemetar. Isakan berakhir dengan ganjalan berat di dada. Aku … seandainya bisa memutar waktu, ingin menuliskan kata-kata yang sama pada lembar kosong buku lainnya, agar tetap hidup pula semangat Ayah yang coba ia tawarkan lewat keras rahangnya.

Namun, ibarat buku usang yang telah kupenuhi coretan tinta di tiap garisnya, waktu selalu butuh detak yang baru. Tak bisa terhapus apa yang lalu.

Maka, di sinilah aku. Berdiri menyobek secarik demi secarik kertas dari buku usang untuk menghidupkan nyala api tungku kayu bakar di hadapanku.

Tersenyum, walau hidup dalam kesusahan di desa terpencil bersama Andra. Satu hal yang masih bisa kulakukan untuk Ayah, berjanji bahagia walau aku hanya setitik noda dalam buku besar Sang Kuasa.(*)

Malang, 5 November 2018

Dyah Diputri, pecinta diksi yang tak sempurna

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diselenggarakan di grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata