Kasa

Kasa

Kasa
Oleh: Heuladienacie/Ida Cenan

Terbaik ke-12 Tantangan Lokit 9

Putih. Mereka terlahir dari pundak-pundak bumi nurani. Tanpa tahu mereka akan jadi apa nanti. Seperti kala diri ini bertemu denganmu dulu. Tanpa noda, tanpa tangis, sebelum tinta-tinta hitam menorehkan raga dan air mata mengerutkannya.

Sejak pertama, kau perlakukanku dengan cinta. Menggenggamku dengan segenap hati. Tak ingin kehilangan, karena ragaku adalah wadah kau bersua.

Kita berlari dalam temaram menuju sebuah cahaya semu di ujung batas nadirmu. Menaiki tangga diiringi melodi-melodi yang kaumainkan tanpa jemu. Hingga kapan bibir itu tersulam, sedang kepalamu berjelajah, menjejak tiap kepingan melodi dari sekawanku. Kau menyekat tiap keinginan hanya karena beberapa orang tak menginginkan.

Sungguh delusi. Cemerlangnya harimu direngggut paksa dalam semalam. Pada dua orang yang berkata perpisahan adalah awal baru hidup mereka. Sayangnya, kau kian muak dengan curahan kasih sayang palsu yang mereka janjikan. Muak dengan kelegaan tarik ulur tali tambang hak sialan di antara keduanya. Kau ingin memilih jalanmu. Tetapi pita dengan gambar kartun kesayanganmu menegaskan ketidaksiapannya.

Ribuan hari yang berlalu, mungkin kau akan bangkit dari keengganan. Bintang berkelip menemani saat-saat mimpi indahmu berkelindan. Aku senantiasa kaudekap. Setiap bait-bait romansa merah muda, selipan rasa manis perkawanan, gemilangnya prestasi yang kautuai, tak luput jadi topik kita.

Kau mekar selayaknya kuncup-kuncup bunga mawar merah di Taman Ganesha. Membuat siapa pun silau mengagumi ciptaan Ilahi. Bahkan Bapak Petunggiri mengagumi.

Ah, dia memang baik hati, katamu. Hingga kau tahu mata keranjang itu selalu datang dengan wanita yang berbeda. Sialnya lagi, kebiasaan itu kini menjangkiti ibumu tiada beda.

Setiap senja terbentang, kau berjalan di antara rimbun ilalang dan pohon rindang. Menghirup kebebasan, tanpa beban, sambil bersenandung tanpa suara. Embusan angin menerbangkan segala kegundahan, sebagaian rumput kering tercerabut, daun-daun berguguran. Matamu terpejam khidmat, hingga sebuah suara yang begitu kaukenang hadir membawa lembaran berbeda.

“Rosie!”

Dia memanggilku, katamu kepadaku.

Bertalu detak jantungmu. Kau membuka mata, bertubrukan dengan iris biru Ignazio, pria yang telah memberi keramahan merah muda itu.

“Lagi apa, Rosie?”

Lagi menikmati senja di musim semi. Kamu?

Selalu aku yang kau jadikan media di antara kalian.

“Jalan-jalan,” jawabnya.

Mau jalan bersama?

Ignazio tersenyum untukmu.

“Aku ingat sewaktu kecil kamu pandai sekali main biola,” ujarnya, mengenang. Kalian telah duduk di atas batang pohon mati. Kau mengangguk, mendekapku seerat kausembunyikan harapan yang telah usang.

“Kok keliatannya sedih? Kamu masih main biola, ‘kan? Kapan-kapan mainkan di depanku, ya.”

Kau menghela napas. Begitu beratnya berkata jujur. Mimpi-mimpi itu telah lama terkubur. Kau bahkan tak tahu apakah impian itu masih ada di sudut hati yang kerontang.

“Jangan bersedih. Kamu bisa melakukannya suatu saat nanti.”

Dia menggenggammu, menyalurkan kekuatan. Menenggelamkanmu akan sebuah harapan dan kekaguman.

“Besok kamu datang lagi?”

Begitulah kemudian senyum terlukis pada bibirmu yang berma. Bermain di cakrawwla hingga berminggu-minggu lamanya. Kau jatuh hati, dia jatuh cinta. Pikirmu, tiada duri dunia yang akan menghalangi kisah. Nyatanya, dia pergi membawa setunggul kisah yang tak pernah usai.

Kau menepi dalam renungan, pada setiap malam yang menjemukan. Menjadikan ragaku sebagai kasa penyembuh luka yang setia.

***

Detik tidak penah mundur, karena hakikat waktu untuk terus melaju. Kau tak lagi berbicara tentang mimpi-mimpi, hanya sepenggal kisah-kasih kepedihan ibumu yang semakin menjadi.

Sejujurnya, dalam dunia, kisah cinta tak begitu berharga untuk diperjuangkan hingga titik darah penghabisan. Tetapi kadang manusia terlena, hingga lupa memberi tanda segala sesuatu yang sejatinya bukan miliknya.

Tanpa kausangka. Pria yang menawan hatimu dulu, kembali dengan cara yang hina. Dari sekian banyak pria, mengapa harus dia yang dipilih ibunya?

Ignazio menggandeng ibumu mesra. Dia tertegun menatapmu sebagai seorang anak dari wanita yang ia kencani. Ia mengejarmu. Seharusnya dia malu!

“Aku menunggumu, Rosie! Aku menunggumu hari itu, tapi kamu tak pernah datang. Kamu tidak pernah datang.”

Kau ingin percaya bahwa semua yang ia katakan hanya sebuah penyangkalan. Tetapi kau juga mengatakan padaku, hati kecilmu bertanya-tanya. Ke mana kiranya surat itu berlabuh? Mengapa kau tak pernah mendapatkannya?

“Ayahku mati, Rosie. Dia meninggalkan hutang. Aku disekap untuk penebusan. Hingga ibumu datang memberikan penawaran.”

Kau tak ingin mendengarnya. Meski saat ini hal itulah yang begitu meracuni.

“Aku masih mencintaimu, bahkan setelah apa yang terjadi. Perasaanku takkan berubah.”

Dan kau pun luluh oleh lihai rayunya. Kauizinkan ia masuk menemanimu duduk di antara purnama.

Kau juga mengatakan padaku, serigala berbulu anjing itu menodaimu dengan lantunan lembut keindahan dunia. Lagi dan lagi. Kau terbuai hingga tersadar, bahwa ia tak lebih dari seekor bajing dalam sangkar buatan ibumu.

“Ya, ya, baik. Menurutmu? Aku merasa benar-benar telah diberkahi langit. Bayangkan saja, aku mendapatkan uang ibunya sekaligus menikmati anaknya.” Dia tertawa di ujung percakapannya dengan seseorang dari telepon.

Cuplikan tak sengaja itu mengobarkan dendam dalam nadimu. Perwujudannya ada pada malam kelam yang tercipta.

Bunyi guntur menggelegar, ribuan angin mendesak masuk melalui gorden jendela yang tersibak. Seperti desakannya untuk mencecapmu seperti malam-malam sebelumnya.

Benda itu berada di belakangmu. Kau menanti saat yang tepat untuk meloloskan pembalasan dendam itu. Raga ini menjadi saksi, ketika pekat anyir itu memercik kuat dan dalam, darah kelabu mengucur dari tengkorak yang terbelah. Kau menahan mual, kepalamu menengadah, wajahmu pucat pasi, matamu menyiratkan sorot tak percaya.

Tak dapat kausangsikan bahwa rasa kehilangan itu pun menjeratmu dalam kegamangan. Untuk waktu yang lama, kesedihan itu pun luruh menjadi tangisan lara.

***

“Nama?”

“Nama Anda, Miss?”

Kau terdiam beku, wanita di hadapanmu tak mau tahu dengan kegundahan jiwamu.

Rosie. Akhirnya kau bersua.

Aku berada di sana selama tiga jam, mendapat pelajaran dari Guru Homeschoolingku, Mrs. Aline. Kau bisa menanyakan kepadanya.

Dua wanita di depanmu hanya membiarkanmu berlalu. Tetapi kau melihatnya, wanita berkumis tipis yang sempat kausangka seorang pria mendengkus kepada sikap tidak ramahmu.

Kegugupanmu yang enggan menatap mereka, memancing curiga. Dia mencegatmu di pintu.

“Apa Anda berada di sana? Apa Anda melihat segalanya?”

Kau bilang padaku, mengingatnya. Polisi itu yang beberapa kali datang ke rumahmu untuk memeriksa.

“Jasad itu telah berpindah dari tempatnya semula. Kami akan segera mengetahui, tapi lebih baik Anda segera mengaku.”

“Apa aku sedang mendengarmu, menuduh seorang gadis tunawicara yang lemah sebagai tersangka?” ibumu mencekal tak terima.

Wanita itu tampak terkejut dengan kehadirannya.

“Maafkan, tolong maafkan rekan kami. Silakan, Nyonya.”

Kau tak bisa menafikkan bahwa ibumu telah berbuat curang. Dengan menggunakan kekuasaan untuk menggerakkan hukum. Kau melempar tatapan ragu sehingga wanita itu menangkap isyaratmu.

***

“Jangan katakan apapun padanya! Apa kau mengerti? Kita akan pindah ke luar negeri, segera setelah polisi mulai curiga. Kau mengerti ‘kan, Rosie?”

Kau mengangguk sebagai balasan. Ibumu begitu khawatir. Entah apa yang ia khawatirkan. Padahal? Sepenggal cerita ini takkan lengkap sebelum kau ungkap. Kau yang memegang kunci untuk mengukuhkan atau menguburnya?

Semesta memang kejam kepada kita. Kau adalah salah satu warna yang singgah untuk menyempurnakan. Meski pada akhirnya, kau hanyalah sisi gelap yang memayungiku menuju lebamnya dunia. Ignazio, aku membencimu. Kau mengapit benda itu pada raga ini. Melipatnya dengan ragu.

Vou Te Eux, nada dering ponselmu menjadi bel tanda akhir dari bait yang kutulis.

“Hallo. Apakah ini kau, Rosie? Aku rasa kau mengetahui sesuatu. Tunggu dan katakan pada kekami. Kami akan segera ke sana.”

Kau telah tahu, bahwa mereka juga akan segera tahu. Tatapanmu nanar mengingat kembali kejadian hari itu.

Kau menahan mual, kepalamu menengadah, wajahmu pucat pasi, matamu menyiratkan sorot tak percaya. Tak dapat kausangsikan bahwa rasa kehilangan itu pun menjerat.

Tetapi pengkhianatan ibumu yang memukulmu lebih keras.

“Sejak kapan kalian melakukan ini?” ibumu berucap dingin. Gurat marah menjalar berkerut di keningnya yang putih. “Jangan katakan apa pun pada siapa pun. Apa kau mengerti?!” ‘

“Rosie?”

Pandanganmu beralih pada suara lembut yang jarang kaudengar. Dia, ibumu, mengelus surai hitammu yang tak pernah ia lakukan selama hampir separuh hidupnya.

“Sayang, Ibu melakukan semua ini untukmu. Tolong jangan membenci Ibu.”

Dia memelukmu, tergugu.

Kenapa semua terasa begitu terlambat untukmu?

Seandainya, wanita ambisius itu tahu. Ada sebuah kisah mengenai stik bergaris dua ternoda yang kauselipkan di dalamku. Apakah ia akan mengatakan hal yang sama? Apakah wanita itu akan datang merangkulmu?

Benar. Kau tak peduli seberengsek apa pun Ignazio, ia akan tetap kau perjuangkan. Karena cinta, dengan naifnya kau berkata. Lalu, langkahmu kian cepat untuk menjejak karena tak tahan.

Di ambang batas, kaunyalakan pemantik. Menjadikanku sebagai rahasia yang terkubur agar apa pun yang terjadi di antara kita akan terbungkam oleh ketiadaan.

Secepat detik api melahap raga ini, secepat ragamu melayang terbang menembus batas kaca menuju landasan akhir kisah ini. (*)

06-11-2018

Heuladienacie, wanita kelahiran tahun 96, penyuka cokelat dan benci rasa vanila. Bisa ditemui di akun wattpad: @heuladienacie. IG: @heuladienacie. FB: Ida Cenan

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diselenggarakan di grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata