Kutukan

Kutukan

Kutukan
Oleh: Erlyna

Terbaik ke-15 Tantangan Lokit 9

Kau akan dapat memahami karakter orang dari caranya membawa buku. Perhatikanlah dengan teliti, maka kau akan mengerti.

Gadis itu ada di sana. Bergeming di salah satu bangku taman. Ia selalu duduk di sana, sendirian. Sepasang matanya yang sayu menatap lekat sampul buku yang dibawa dengan penuh perasaan. Kemudian dibelai dengan lembut, seolah-olah buku itu adalah benda miliknya yang paling berharga.

“Kenapa kamu memperlakukan buku seperti itu?” Aku memberanikan diri bertanya padanya suatu hari.

Ia mendongak, menatap tubuh kurusku sekilas, lalu kembali menunduk.

“Orang lain tidak akan mengerti,” jawabnya lirih.

Kulihat ia memindahkan buku dari pangkuan ke dada, lalu memeluknya erat.Buku itu terlihat lebih berharga dari nyawanya sendiri. Dari halaman depan yang berwarna biru, aku menebak kalau buku yang selalu dibawa itu adalah buku harian.

“Kamu suka menulis?” tanyaku di lain waktu.

“Tidak.”

“Lalu ….”

“Sudah kubilang, orang lain tidak akan mengerti.”

Sejak itu aku memutuskan untuk berhenti bertanya. Ingin sekali bersikap tak acuh, tapi entah mengapa, aku selalu ingin tahu apa yang sedang dilakukannya.Seperti siang ini, aku memperhatikan dia dari jauh. Ia sedang duduk di bangku taman, seperti biasa.

Apakah semua gadis menyukai buku? Apakah mereka akan memperlakukan sebuah buku seperti yang dilakukan gadis—yang akhirnya kutahu bernama Aira itu?Tidak … kurasa aku tahu betul, jawabannya adalah ‘tidak’.

Dalam keluarga, aku adalah anak pertama dari empat bersaudara. Ketiga adikku adalah perempuan. Dan di antara mereka bertiga, tidak ada satu pun yang menyukai buku.

Vanes adalah sosok setengah laki-laki setengah perempuan. Adik yang lebih muda sebelas bulan dari umurku itu terlihat lebih berkuasa, dibanding aku yang jelas-jelas adalah kakaknya.

Dia sangat membenci buku. Baginya, buku adalah penyebab utama ia sering sakit kepala saat masa-masa sekolah. Dan dari sekian banyak buku yang menurutnya sangat menyebalkan, ada sebuah buku yang paling ditakutinya. Sebab—dia tahu betul—ada namanya dalam buku itu dan tertulis besar dengan tinta merah. Buku yang tersimpan rapi di lemari kaca milik Bu Tusi, buku catatan utang.

Adik keduaku, Soraya, lebih aneh lagi. Ia melihat buku seperti melihat monster. Baginya, buku adalah mimpi buruk. Gadis berambut panjang yang seharusnya duduk di bangku SMA itu memutuskan untuk berhenti sekolah. Alasan utamanya sudah jelas, ia tahu betul, Ibu tidak akan pernah punya uang lebih untuk membelikan buku-buku tebal dengan harga mengerikan yang wajib dimiliki pelajar SMA.

Apakah Soraya menyesal? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Sepertinya ia sangat bahagia karena tidak perlu repot-repot belajar. Namun kadang kala, aku pernah … tidak, lebih tepatnya sering melihat Soraya terdiam cukup lama di balik jendela, mengintip kawan-kawan seusianya yang baru atau hendak berangkat sekolah, lengkap dengan mata berkaca-kaca. Barangkali, dia tengah berkelahi dengan dirinya sendiri.

Lalu, si bungsu Rumi. Gadis kecil kami yang selalu menjadi pusat perhatian dengan wajah imutnya. Ia gadis kecil yang ceria. Hanya satu yang paling dibencinya, buku. Dia tidak suka membaca, dia benci menatap sampul buku yang berjajar rapi di etalase toko buku bekas tak jauh dari rumah kami. Ia tidak pernah mau belajar membaca, karena dirinya buta.

Ya, keluargaku miskin, menyedihkan. Ibu hanyalah perempuan biasa, yang menghabiskan sisa umurnya untuk membuat tempe sepeninggal ayah yang memutuskan menikah lagi. Sungguh takdir yang menyesakkan dada, tapi kami sebisa mungkin tidak mengeluh, setidaknya di hadapan Ibu.

“Kau Amran, ya?”

Aku melotot kaget. Aira tiba-tiba sudah ada di sampingku yang diam-diam menunggunya.

“Setiap hari berdiri di sini, apa tidak bosan?”

“Aira … kau …?”

“Duduklah. Hari ini aku ingin bercerita.”

Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku menuruti ajakan Aira dan duduk bersamanya di bangku taman. Cuaca siang ini sedikit mendung, sementara angin dingin menerbangkan daun-daun di dekat kaki kami.

“Kamu percaya sihir?” tanya Aira tiba-tiba.

“Hah? Sihir? Semacam cerita dongeng konyol?”

Aira menarik sudut bibirnya, tersenyum kecil.

“Ya, tapi sihir dan dongeng adalah dua hal yang berbeda.”

“Bagiku keduanya sama saja, tidak masuk akal.”

Aira mengembuskan napas perlahan. Dibelainya buku bersampul biru dalam pangkuannya. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Amran, aku butuh bantuanmu. Maukah kamu menemaniku?”

“Ke mana?”

Aira mengangkat buku dalam pangkuannya.

“Mengalahkan penyihir di dalam buku ini.”

* * *

“Pegang tanganku erat-erat! Jika mengikuti peta ini, seharusnya kastil yang akan kita tuju tidak jauh lagi.”

Aku melangkah mantap. Kugenggam telapak tangan Aira yang berjalan terseok-seok di belakang. Aku baru menyadari, telapak tangannya halus sekali. Barangkali ia tipe gadis yang tidak perlu bekerja keras untuk makan.

“Amran, kamu yakin jalannya benar? Perasaanku kok tidak nyaman, ya.”

“Aku adalah pembaca peta yang baik, Aira. Percayalah padaku.”

Tiba-tiba gerimis turun, lembut dan lama-lama menderas. Kami memutuskan berteduh di bawah salah satu pohon besar. Aku menggosok-gosokkan telapak tangan dengan cepat, mengusir dingin yang tiba-tiba menyerang.

“Dia datang ….”

Kudengar Aira bicara dengan suara tercekat.

Aku menatap sekeliling, mencari tahu siapa yang dimaksud Aira.

Di ujung jalan, di antara kabut yang disebabkan hujan deras, sebuah sosok terlihat berjalan mendekat. Aroma wangi yang menyeruak perlahan membuatku mual.

“Berani sekali kau datang ke sini, gadis terkutuk.”

Tubuh Aira seketika menegang. Ia menggenggam tanganku kuat-kuat. Seperti sedang berbagi ketakutan.

“Siapa kamu!” tanyaku dengan nada tinggi.

Jika melihat reaksi Aira, aku yakin orang inilah yang disebut penyihir.

“Hei bocah! Berani sekali kau membentakku. Rasakan kutukan mengerikan ini!”

Sebuah cahaya tiba-tiba keluar dari telapak tangannya yang mengarah tepat ke wajahku. Aku menjerit sekuatnya. Seperti ada ribuan belati yang menusuk-nusuk tulangku.”

“Aarghhh!”

Mungkin buku-buku itu
menuang kisah segala tanah
yang pernah kita singgah
di pagi hari
aku menulis semburat hangat mentari
dengan kepergian embun bening
dari daun kering
di sore hari
aku menulis senja berpulang
dengan kepak camar liar
beriring dari pulau bandar
lalu di lembar akhir
ada yang mengampas pikir
tak tertuang
tutup mulut tak berbincang
dengan awal tanpa akhir
adanya kamu, aku adalah kita selalu
mengisi lembar buku
kau—aku
tanpa penutup di akhir buku
serindu debar
mata kompas dalam dadaku

Sayup-sayup terdengar Aira menyanyikan sebuah lagu. Lagu yang juga kubaca di halaman pertama buku bersampul biru yang selalu ia bawa. Lagu menyayat hati itu ditulis oleh seorang laki-laki yang jatuh cinta kepada seorang wanita dari dunia lain. Lagu yang mengantarkanku ke sini, Negeri Penyihir. Lagu itu adalah … lagu kutukan.

“Aaaaaahhhhhh!”

Sosok di depan kami menjerit sekuat tenaga. Tubuhnya terempas ke tanah, berguling-guling, lalu berubah menjadi debu dan kemudian hilang.

“Terima kasih.”

Kulihat Aira berdiri dengan tubuh gemetar. Ia kemudian membenamkan wajahnya dengan telapak tangan, terisak.

“Sekarang, apakah sudah selesai?”

“Ya. Penyihir jahat itu sudah dikalahkan, dan aku … bisa melihat lagi.”

Amran menatap Aira, tepat di saat gadis berambut panjang itu juga tengah menatapnya. Untuk sesaat keduanya terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Kalau begitu, bisakah kita kembali sekarang?” tanyaku sambil menatap sekeliling.

“Maafkan aku.”

“Lo, kenapa? Bukankah semuanya sudah berakhir?

“Ya, tapi … halaman terakhir dari buku itu robek. Itu artinya, kita tidak bisa kembali.”

“Apaaa?”

“Kecuali—”

“Kecuali apa?”

“Di antara kita, ada yang siap berkorban.”

“Berkorban? Berkorban seperti apa yang kau maksud?”

Aku mulai naik darah. Kesal sekali rasanya jika harus terjebak selamanya dalam buku sialan ini. Bagaimana nasib hidupku selanjutnya?

“Aku tidak tahu, tapi siapa pun yang menyanyikan lagu itu dua kali, akan kembali ke dunia sebelumnya dan … menerima kutukan.”

“Kalau begitu, biar aku yang menyanyikan lagu itu. Kau, peganglah tanganku erat-erat!”

* * *

Matahari bersinar terang. Aku menghirup aroma sejuk sekuat tenaga, lalu mengembuskannya perlahan.

“Amran, apa kamu baik-baik saja?”

” Ya, tentu saja.”

“Syukurlah. Sekali lagi, terima kasih banyak, ya. Aku berhutang budi padamu.”

“Sudah, tidak usah dipikirkan. Oiya, mengenai kutukan yang kau katakan itu, apakah kau tahu kutukan seperti apa?”

“Emmm, mengenai itu … di salah satu halaman buku itu tertulis, siapa saja yang nekat menyanyikan lagu kutukan untuk keluar dari Negeri Sihir, maka akan kembali dalam keadaan buta. Tapi kurasa itu hanya cara penulis untuk menakut-nakuti pembaca. Buktinya kau baik-baik saja, kan?”

“Tapi, Aira. Aku tidak bisa melihat apa-apa setelah kembali dari Negeri Sihir. Semuanya gelap.”

“Apa?”(*)

Purworejo, 6 November 2018

Lirik lagu adalah puisi salah satu sahabatnya, DA.

Erlyna, perempuan sederhana kelahiran Jakarta yang menyukai dunia anak-anak.Hoby makan, melamun dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diselenggarakan di grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata