Spell Book and I
Oleh: Wiwin Isti Wahyuni
Terbaik ke-17 Tantangan Lokit 9
“Arghhh …,” erang kesakitan terdengar hingga ke penjuru kampung. Perempuan itu mengiba dengan wajah membiru karena lebam. Sebagian tubuhnya menghitam.
***
Kau buat sirna sudahlah …
Harapanku … hidup bersamamu …
Dulu … diriku … dirimu
Selalu bersatu seolah tak lekas oleh waktu …
Namun, tak ada yang kekal pun abadi …
Waktu … mengajarkanku sesuatu …
***
Pegangan tangan itu erat, mata sipitmu menenggelamkan aku di letupan gairah penuh hidup. Aku … atau kita mungkin sama-sama tak mengenal lelah, berlari di tiap waktu. Berharap bisa selalu bersanding.
“Sepasang alis menyebalkan,” kamu selalu menggerutu ketika aku berpamitan.
“Kenapa mata di bawah sepasang alis itu juga menyebalkan.”
“Mata yang selalu bersinar ceria,” setidaknya itu yang terlihat kasat mata.
Itu aku. Perempuan biasa yang dikaruniai Allah sepasang alis tebal melengkung, dengan mata berbinar dan penuh cinta. Mata yang berbinar, namun mati-matian menyembunyikan kesedihan. Segenap peluh merapikan patah hati yang berurai tanpa warna. Putih hitam mencipta monokrom tanpa labirin.
Itu kamu. Yang mungkin sedang berenang dalam tawa bahagia. Mempertaruhkan segala nyali. Bukan … bukan untuk menggamit lenganku seperti dulu. Memboncengku di atas dua roda. Memeluk hangat punggungnya, dan mengecup mesra keningku.
Namun, kamu hadir untuk menyuratkan segala anomali sebelum menjadi ilusi.
Kamu pernah mencintaiku sederas hujan, berpeluh keringat dalam kedinginan, namun aku memilih berteduh untuk menghindar.
Kamu yang selama ini membanggakanku sebagai kenyamanan.
Kamu yang mengisahkanku sebagai kebanggaan, meski hanya dengan inisial.
Kamu yang pernah menceritakanku sebagai yang paling tercinta.
***
“Arghhh …,” teriakan itu semakin keras. Lelaki itu di samping perempuan yang selama ini berbalut nama Tuhan tak mampu lagi meredam kesakitannya.
“Ampun … Ya Allah hentikan …,” semakin malam teriakannya semakin menggema.
Rumah sakit sudah membuat analisis. Perempuan tak berdaya itu sakit yang tak mampu dilogika oleh akal sehat dokter sekelas profesor sekalipun.
Lelaki itu … berbalut kebingungan. Tak paham harus bagaimana menyembuhkan perempuannya.
***
Aku … setiap malam, di waktu-waktu menjelang pagi. Bukan sajadah panjang yang terhampar. Bukan sujud disertai doa yang kuurai. Namun komat-kamit membaca buku tebal bersampul cokelat. Buku usang yang kubayar cukup mahal, namun berguna untuk merapikan patahan hatiku yang hampir saja tergerus air hujan di bulan Desember.
Patah hatiku yang bukan karenamu. Bukan, sekali lagi bukan. Toh, kita tahu bahwa aku yang memintamu kembali kepadanya. Berkali-kali, tak hanya sekali. Aku dan kamu paham, kita berpisah baik-baik, selayaknya kita yang mengawali semuanya penuh kebaikan. Aku yang mengira semuanya akan membaik ketika kamu kembali kepadanya, ternyata berbalik arah.
Perempuanmu terlalu sombong. Bahkan pun membuatku muak. Berteriak lantang seperti perempuan suci tanpa dosa, menjalangkanku dalam pias berbaur warna. Perempuanmu yang picik, berceloteh ke sana-kemari. Seolah dia tahu segalanya tentangku, bukan tentang kita. Karena baginya kamu lelaki penuh irama doa. Lelaki setia berbalut kemesraan dan penuh cinta.
Amarahku memuncak setelah sekian bulan. Yang harusnya kita sudah tak lagi mengenang. Kita berhenti berharap di satu titik. Titik yang kita sepakati berdua. Perempuanmu masih saja berkicau, membuat fitnah dari setiap prasangkanya.
Bilamana dia tahu, kamu pernah sengaja mengajakku kawin lari. Iya, lari darinya yang berubah bijak seolah malaikat dari langit.
Sekali lagi kubaca halaman terakhir. Kusebut nama perempuan sombong itu tiga kali. Aku ingin mengakhiri hidupnya. Bukan untuk lantas memiliki lelakinya. Lelaki yang dulu menggilaiku dan sekarang tanpa nyali hanya bisa berbisik ciut di sudut ruang. Atau lelaki yang mencoreti buku notulen rapatnya masih dengan inisial namaku. Namun, karena kemarahan tak bertitik temu dari kesombongan mulutnya yang tak bisa ia bendung.
Satu lembar lagi hidup perempuan itu berakhir.
Buk!
Tatapanku beralih, kulihat sesuatu jatuh dari atas meja riasku.
Lama kulihat buku bersampul ungu. Buku yang lama tak kusentuh. Buku yang dulu sebelum aku mengenal lelaki bermata sipit itu selalu menemani kegelisahanku.
Buku bersampul cokelat itu bergetar. Kemudian menutup dengan sendirinya. Aku tak lagi peduli.
Kuambil segera buku bersampul ungu, kucium berkali-kali. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Mengambil tetesan air menyegarkan, iya aku berwudu. Mengambil niatan kembali pada pelukan Tuhan. Allah-ku Yang Esa.
Kugelar sajadah panjangku. Lama tafakur, meneteskan air dari pelupuk mata. Memohon ampun. Bersujud panjang. Kumulai membuka buku bersampul ungu, membaca taawuz, lalu basmallah.
“Alif … lam … mim …,” kuawali dengan surah Al-baqarah membuka pintu taubat atas keegoisan dendam, dan patahan hati yang serasa menjadikanku manusia paling terhina.
***
“Innalillahiwainnailaihirojiun. Mbak, maaf ada kabar, istri Pak Billy meninggal tadi subuh.”
Aku menghela napas panjang. Menatap jajaran buku di atas ranjang. Entah, tapi aku bisa meyakinkan diri. Itu takdir dari sang pemilik hidup dan mati, bukan karenaku atau bukan karena buku mantra bersampul cokelat yang kudapat dari paranormal dengan menangguhkan gajiku selama satu tahun.
Wallahu ‘alam bissawab.(*)
Di ujung senja yang tak lagi jigga, 03 November ’18.
Wiwin Isti Wahyuni/Wiwin Rowfany, penggila hujan yang menyukai belajar mengaji dan mengkaji. FB: Wiwin Rowfany
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diselenggarakan di grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata