Hikikomori

Hikikomori

Hikikomori
Oleh: Respati

Mayda turun dari kendaraan yang mengantarnya sampai di depan pintu gerbang beratap tradisional ini. Pintu yang masih tertutup rapat, memisahkan antara ruang publik dan pribadi.

Seorang wanita paruh baya membuka pintu pagar dan mengajaknya masuk. Mayda melangkah pelan mengikuti wanita itu. Mereka berhenti di sebuah genkan [1]. Di ruang yang mirip teras ini, Mayda sempat tegak tanpa gerak beberapa saat. Debaran di jantungnya makin kencang saat wanita paruh baya itu menyilakan masuk dan mengantarnya ke ruang tamu.

Pandangannya beredar ke sekeliling ruang yang lapang. Tidak ada sofa, lemari atau perkakas di sana. Lantainya tertutup tatami[2] yang bermotif syiyugi shiki[3]. Ada meja rendah yang terletak di ruangan washitsu[4]. Mayda hendak duduk di sisi meja itu, tapi ia urungkan setelah mendengar pintu digeser. Napasnya tertahan menanti siapa di balik pintu itu.

Wanita paruh baya yang tadi mengantarnya tampak mendorong kursi roda. Dan siapa yang ada di kursi itu membuat bola mata legamnya membulat. Cahaya matanya meredup cepat seiring rasa iba yang teramat dalam. Melihat seseorang itu duduk tak berdaya dengan tubuh yang lebih kurus dari terakhir bertemu. Lingkaran hitam di pelupuk matanya menambah sesak dada Mayda. Mayda terduduk lemah di pinggir meja.

“Ryota-tan …,” desisnya lirih.

Suaranya mendadak parau, kerongkongannya kering. Hanya air mata yang mengalir di pipinya yang halus. Mayda tertunduk menyesali dirinya sendiri. Menyesali prasangkanya.

Mayda, chan. Genki?”[5]

Mayda gugup menghapus matanya yang basah. Sambil mengangguk ia menjawab, “Genki desu.”[6]

Sumimasen, watashi wa anata ni nyūsu o kuremasendeshita, watashi …,”[7] Ryota menghentikan bicaranya. Menarik napas dan membuang pandangannya ke arah taman.

Anata ga nyūsu nashi de sugata o keshitanode. watashi wa okotte ita—[8] ucap Mayda gemetar.

Air muka gadis Jawa tulen ini menegang. Ia memang hampir membakar semua kartu pos kiriman Ryota. Memblokir akun media sosial miliknya. Bahkan Mayda berpikir Ryota termasuk pria yang sama dengan kebanyakan pria. Pergi jika menemukan perempuan yang lebih baik, lebih cantik atau …. Ah, Mayda menyesal pernah menghadirkan prasangka itu di sudut hatinya.

Anata wa watashi ni arayuru shurui no uttae o shita ni chigai arimasen. Mondaiarimasen, sore wa anata no kenri desu. Watashi wa machigatte ita.”[9]

Iie, Ry-san. Anata wa machigatte imasen.Watashi wa amari ni mo henken ga aru,”[10] elak Mayda.

Sumimasen.” [11]

Tampak Ryota mengepalkan kedua tangannya. Mayda berusaha mencairkan suasana sejak pertama bertemu pria bermata sipit itu. Pria yang pernah menemani malam-malamnya dari jarak yang sangat jauh. Memberikan perhatian setiap hari dengan huruf-huruf kanji yang tersusun rapi.

“Kamu tidak ingin mengajakku berkeliling? Aku baru pertama ke Jepang. Dan kamu membiarkan aku duduk saja di rumahmu seperti ini?” protesnya tiba-tiba.

Watashi wa anata o sanpo ni tsurete ikitaidesuga—”[12]

Anata wa hazukashīdesu ka?”[13] potong Mayda.

Mazuwa anshin shite kudasai.Kyō wa anata no ryokō no 10-jikan ijō desu. Asunoasa, watashitachiha sanpo o suru,”[14] janjinya.

Mayda tidak bisa memaksanya lagi. Ry benar, perjalanannya cukup melelahkan untuk sampai ke Kyoto. Ia meninggalkan Ryota di washitsu seorang diri. Wanita paruh baya tadi mengantar Mayda menuju kamar yang sudah disiapkan. Tangan Mayda menyentuh lembut pundak lelaki itu sebelum berlalu.

***

Sakura sedang mekar, indah sekali. Langit seolah menjadi merah muda. Romantis. Dan Ryota setelah pulang latihan, ia ingat janjinya pada Mayda untuk berfoto dengan pohon Sakura terbesar di Kyoto.

Ryota mencari posisi paling baik di sebuah taman yang sakura sedang mekar. Setelah berkeliling, ia menemukan tempat yang menurutnya paling indah untuk berswafoto. Ia sudah bersiap dengan kameranya. Tanpa ia tahu bermula dari mana, seseorang menggunakan jaket hitam berlari kencang ke arahnya. Sepertinya orang itu sedang menghindari kejaran sehingga tidak melihat Ryota di depannya. Tabrakan pun terjadi. Ryota jatuh tersungkur. Dan nahas bagi Ryota posisi terjatuhnya menyebabkan tempurung lututnya retak. Saat itu Ryota merasakan kesakitan teramat kuat sebelum gelap memenuhi pandangannya.

Berbulan-bulan Ryota menjalani pengobatan lututnya. Asanya pupus. Ia mengubur impiannya untuk mempertahankan rekornya sendiri di kejuaraan lari di Rusia dua tahun lagi. Sebagai pelari, kehilangan kaki adalah bencana. Dunia menelannya hidup-hidup. Dia sekarang hanya bisa duduk di kursi roda tanpa bisa melakukan apa pun.

Ryota menunduk lemah. Ia menghentikan ceritanya. Mayda diliputi rasa bersalah.

Dakara, watashi kara hanarete iru no?”[15] tanya Mayda.

Anata dake janai.Watashi wa jibun jishin o sogai sa sete iru.Soto no sekai kara jibun o hikitsukeru.”[16]

Sore wa hikikomori to yoba reru monodesu ka?”[17]

Ryota mengangguk.

Naze?”[18]

Watashi wa shippaishita. Yakunitatanai. Hoka ni nani ga dekiru no?[19]

Mayda mencoba memahami perasaan Ry. Impiannya menjadi spinter dunia harus benar-benar dikubur. Hawa panas mendadak menjalari dada Mayda. Ini juga karena salahnya. Kalau saja ia tak memaksa Ry berfoto bersama pohon sakura, pasti Ry akan baik-baik saja. Masih berlari mewujudkan impiannya. Masih menemani Mayda setiap malam dan ia masih bisa melihat senyumnya, walaupun peluh membanjiri di keningnya usai latihan.

Watashi wa machigatte ita, Ry-san,” [20] bisik Mayda.

Iie. Anata wa machigatte imasen.”[21]

Shikashi, anata wa watashi no tame ni ko no yōna monodesu.Watashi wa jibun jishin o yurusu koto ga dekinai, Ry-san.”[22]

Mayda melepaskan tangisnya.

Ryota mendekat, mengangkat wajah dengan mata basah.

Jibun o semenaide kudasai. Kore wa watashinounmei desu.”[23]

“Setelah hampir tujuh bulan kamu mengasingkan dirimu, tanpa memberikan kabar kepadaku. Lalu aku datang melihatmu seperti ini, bahkan aku mengira kamu sengaja meninggalkan aku. Aku penyebab semua ini, Ry. Aku—”

Ryota menarik Mayda yang menangis pijar. Mayda menumpahkan seluruh sesalnya di dada bidang pria itu. Sebuah taman yang sepi pengunjung, memberikan kebebasan mereka bercerita. Mengungkap rasa yang selama setengah tahun ini hilang arah.

***

Mayda mendorong kursi roda Ry menyusuri sebuah taman di lingkungan Yasaka Shrine—salah satu kuil Shinto di Kyoto. Taman yang sejuk dengan pepohonan tinggi di sekitar jalan setapak.

Ryota mengajak Mayda berhenti tepat di depan kuil. Mayda terkesima dengan keindahan bangunan yang didominasi warna merah ini. Belum habis rasa kagumnya, Ry meraih tangan Mayda. Didera rasa gugup, Mayda mengalihkan pandangannya ke mata pria dua puluh enam tahun itu. Senyumnya masih sama saat mereka terakhir saling berkirim pesan.

“May, selama aku menarik diri dari dunia luar, yang aku ingat hanya kamu. Aku ingin berkirim pesan mengabarkan keadaanku, tapi aku takut kamu hanya merasa kasihan saja.”

“Ry ….”

“Biar kuselesaikan, May,” potongnya.

Mayda menurut. Dengan tangan dalam genggaman Ryota, pria itu mengatur napas untuk melanjutkan bicaranya. Mayda menatap tanpa berkedip pria bermata sipit itu. Dan sontak matanya pun melebar.

Anata wa watashi no tsuma ni narimasu ka?[24]

Senyum keduanya terkembang dan setelah itu sebuah kecupan mampir di tangan Mayda.(*)

 

Respati, mencoba menyusun kata mengikat cerita. Aktif di IG: susi_respati dan Wattpad: respatisetyorini

Catatan

[1] Ruang transisi antara bagian luar dan dalam rumah.

[2] Tikar tradisional Jepang yang terbuat dari tenunan alang-alang dan kain sebagai penutup dibagian ujung

[3] Pola melingkar sehingga keempat sudut masing-masing lembaran tatami tidak saling bertemu satu sama lain.

[4] Ruang tamu/ruang utama

[5] Mayda Sayang apa kabarmu?

[6] Baik

[7] Maaf aku tidak memberimu kabar. A—aku                                                                                                                           

[8] Aku sempat marah karena kamu menghilang tanpa kabar. Aku bahkan menuduh kamu–                                                   

[9] Kamu pasti menuduhku macam-macam. Tidak masalah, itu hak kamu. Aku yang salah

[10] Tidak, Ry. Kamu gak salah. Aku yang terlalu

[11] Maafkan aku

[12] Aku ingin mengajakmu jalan-jalan, tapi—

[13] Kamu malu?

[14] Sebaiknya kamu istirahat dulu. Lebih dari sepuluh jam perjalananmu hari ini. Besok pagi kita jalan-jalan

[15] Karena itu kamu menjauhi aku?

[16] Bukan hanya kamu. Aku mengasingkan diri. Menarik diri dari dunia luar

[17] Apa itu yang disebut Hikikomori

[18] Kenapa

[19] A—aku sudah gagal. Tak berguna. Untuk apalagi aku bersosialisasi?

[20] Aku yang salah, Ry,

[21] No. Kamu gak salah

[22] Tapi kamu seperti ini karena aku. Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri, Ry

[23] Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Ini takdirku                                                                                                              

[24] Maukah, kamu jadi istriku, May?

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata