Kenangan Pengirim Rindu

Kenangan Pengirim Rindu

Kenangan Pengirim Rindu
Oleh: Aisyah Rizkyana Ramadhani

Air hujan membasahi rerumputan hijau yang mendayu-dayu. Udara pagi terasa menggelitik rongga hidungku dengan kesegarannya. Dingin menggelayut mesra di dalam hati. Serdadu pilu menghujam seketika mengisi kerinduan hati yang sudah lama tertutup. Perasaan itu tetap ada. Dan selamanya akan ada, meski sudah berusaha kupendam sedalam-dalamnya.

“Hari yang sejuk ya!” kata seorang pria sambil menyodorkan secangkir kopi yang tampak menggiurkan.

“Mungkin,” kataku sambil melirik asap kopi yang mengebul menggoda.

Pria itu menatapku seketika. Alisnya terangkat mendengar ucapanku yang tak seperti biasanya. Namun, ia membiarkan diriku melamun sejenak.

Hari itu di mana matahari bersinar cerah di desa yang permai. Segerombol anak kecil berlari riang mengikuti embusan angin yang menyenangkan. Hamparan padi tampak nyiur hijau mempercantik ciptaan Allah. Betapa indah alam yang Dia anugerahkan kepada kami.

Ciiittt ….

Mobil akhirnya berhenti. Aku dan keluargaku segera keluar dari mobil. Kami bergegas untuk masuk ke sebuah rumah yang sudah tua. Rumah itu tak terlalu bagus bagiku, namun selalu membuatku nyaman berada disana.

“Cucukuuu,” kata seorang wanita paruh baya yang kupanggil Uti.

Aku langsung memeluk dirinya erat. Kupandang wajahnya yang dihiasi banyak keriput. Jalannya pun sudah tak selincah dulu, saat aku masih duduk sekolah dasar.

“Uti, Kakung mana?” tanyaku sambil memandang di sekitar rumah Uti. Rumahnya tetap sama. Tak ada yang berbeda, bahkan posisi tempat aku dan teman-teman desaku bermain.

“Lagi di sawah,” ujar Uti sambil menyuruh kami masuk ke dalam.

“Ti, Diana boleh ke sawah?” tanyaku dengan tangan yang menarik baju Uti.

“Ngapain, Nduk?”

“Mau kasih surprise ke Kakung!” kataku yang terus merayu Uti. Ayah dan Ibu hanya menggeleng tanda tak setuju.

Uti pun memanggil Lek Wati, adik Ibu untuk mengantarkan aku ke Kakung.

“Enggak mau sama Lek Wati, maunya sama Agus!!” kataku dengan tangan yang kusembunyikan di balik baju.

“Agus lagi main, Nduk. Nanti bakal ketemu Agus, dia mainnya kalau gak di sungai ya di sawah bantu Kakung,” ujar Bulek Wati sambil merangkul pundakku.

Aku pun mengerti. Dan segera meminta izin ke Ayah dan Ibu, tak lupa pula kepada Uti kesayangan.

Di perjalanan menuju sawah Kakung, aku melihat pemandangan yang selalu kurindukan. Suara burung begitu merdu menambah indahnya alam di desa Kakung.

Nduk ingat gak, waktu jatuh di sana pas bareng Agus?” tanya Lek Wati yang menguatkan pikiranku tentang kenangan di desa ini.

“Iya, Lek, itu kan pertama kalinya Diana mandi bareng kerbau!!” kataku sambil tersenyum lebar mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu.

Kami pun terus mengobrol hingga tak terasa sampai ke sawah milik Kakung. Aku melihat Kakung sangat bekerja keras untuk mencari uang. Keringatnya pun selalu mengalir membuat tangannya yang penuh lumpur mengotori wajahnya.

“Kakung …!!!” teriakku bagai bergema terdengar alam. Burung-burung terbang menjauh dariku seolah tampak takut mendengar teriakkanku.

Kakung menoleh mencari asal suaraku. Ia menatapku. Matanya mungkin tak terlalu jelas, membuatnya harus berjalan mendekatiku. Ia berjalan. Lalu, berusaha untuk berlari. Dan ….

Blup ….

Kakung jatuh ke dalam lumpur sawah. Sepertinya kakinya tersandung, ketika berlari mendekatiku. Aku dan Lek Wati panik. Kami segera terjun langsung ke dalam lumpur dan menuju Kakung.

Kami berusaha mengangkat Kakung dengan sekuat tenaga. Tangan dan baju kami pun berlumuran lumpur sawah. Tiba-tiba, Kakung memelukku erat. Ia tertawa dan sedikit terdengar suara orang menangis.

“Akhirnyaa, kamu datang, Nduk,” kata Kakung yang membuat hatiku terenyuh.

“Iya dong, Kung. Kan Kakung Diana cuma ada di sini!” ujarku yang berusaha menghibur Kakung. Kakung pun berusaha melepas pelukannya dariku.

“Ayo, Pak. Kita pulang. Mbak Warni sama Mas Anto sudah menunggu,” ajak Lek Wati.

Kami pun akhirnya kembali ke rumah dengan pakaian berlumpur. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengan Agus yang sedang memainkan layangan.

“Kung, Lek, Diana mau ke Agus ya main layangan!” kataku sambil berlari menghampiri Agus.

Kakung dan Lek Wati pun pulang sendiri dan meninggalkan aku. Sedangkan aku ikut bergabung dengan teman-teman lamaku di desa, yaitu Nur, Adi, Ucup, Desi dan Agus.

“Hei, Diana, kamu kembali ke sini. Masih inget sama kita gak?” tanya Nur dengan wajah terkejut melihat kedatanganku.

“Ya, inget dong! Kalian pikir aku udah tua,” seruku sambil mencolek lengan mereka. Kami pun kembali bercerita tentang masa kecil yang seru.

Suara itu terngiang kembali dalam khayalanku. Menambah kerinduan mendalam di desa tempatku mengerti arti kebersamaan. Tempat yang paling indah untukku bercerita dengan Kakung dan belajar memasak ala Uti yang lucu.

Bruuuk ….

Aku terjatuh seketika dari kursi. Tubuhku terasa lemas tak mampu berdiri. Kutatap kedua bola mata yang memandangiku dengan khawatir.

“Kamu gak apa-apa?” tanyanya sambil membantuku berdiri. Ia membopongku untuk duduk kembali di kursi.

“Usil banget deh!” kesalku kepadanya. Aku memegang pinggulku yang terasa sakit akibat jatuh tadi.

“Maaf … kamu sih ngelamun mulu. Mikirin apaan sih?” tanyanya membuat pikiranku kembali mengingatnya.

Kupandang pria itu dan kubalut wajah penasarannya dengan senyuman.

“Mas, coba lihat di luar sana,” perintahku kepadanya.

“Iya, ada apa?”

“Butirannya yang jatuh, mengingatkan aku pada sosok bijaksana yang mengajariku arti syukur sebenarnya. Mungkin, Mas belum mengenal sosok itu,” kataku yang terus memandangi hujan yang masih belum reda.

Beberapa hari itu, hujan terus membasahi desa kami yang permai. Matahari pun seakan enggan berkunjung menyinari desa. Suasanya mendung terus berkunjung tiada henti.

“Kung, Diana bosen nih di rumah. Kenapa sih harus hujan?” sesalku pada Kakung sambil terus memandang hujan yang tak kunjung berhenti.

Agus yang sejak tadi sibuk menggambar, ikut bergabung bersama kami di teras rumah. Ia memeluk Kakung dari belakang sambil menyium pipinya yang keriput. Tak lama kemudian, Uti datang membawa sepiring pisang goreng dan segelas besar kopi. Aku dan Agus pun segera berebut meminumnya dahulu.

“Eeeh … anak-anak itu kopi punya Kakung!!” seru Lek Wati yang melihat kami saling berebut gelas.

“Gak apa-apa, Wat, toh perut Kakung gak muat minum segelas besar itu!!” ujar Kakung sambil tertawa melihat tingkah kami yang kekanak-kanakan.

Akhirnya, Aguslah yang berhasil memenangkan kompetisi berebut kopi. Aku mengeluh kesal padanya. Kupandang kembali hujan yang masih turun.

Nduk, kamu tahu kenapa di desa Kakung semua suka hujan?” tanya Kakung yang menyuruhku duduk di pangkuannya. Ia mengelus rambutku dengan lembut. Kupandang Uti yang tersenyum memandangku.

“Kenapa, Kung??”

“Desa kita tergantung kepada hujan. Coba lihat sawah yang kamu pandang, mereka hijau segar, kan? Itu karena hujan yang cukup untuk sawah.” Aku mengangguk. “Coba bayangin, kalau hujan berhenti dan gak mau turun ke desa kita. Nanti, padi-padi Kakung akan kering dan gak bisa jadi nasi yang kamu makan. Dan kerbau yang sering kamu lihat, bakal pergi cari sawah yang basah,” ujar Kakung yang membuatku mengerti.

“Hmmm, tapi Kakung kalau hujannya deras kan, nanti banjir. Kan, sawah Kakung juga bisa rusak. Iya, kan?”

“Ya enggaklah, Mbak. Kan enak bisa dibuat mandi lumpur sama Agus dan teman-teman. Kan, seru!” sahut Agus yang sedang melanjutkan gambarannya.

Lek Wati pun segera menjitak kepala Agus. Uti dan Kakung pun tertawa keras. Sedangkan Agus, meringis kesakitan. Hari itu menjadi pengalamanku untuk selalu bersyukur. Karena aku adalah cucu dari petani desa.

Aku kembali tersadar. Kulihat pria di sampingku sedang menunggu bibirku berbicara kembali. Ia tiba-tiba menjitak kepalaku dengan lembut.

“Aduuuh, sakit tau!” usilku sambil memasang wajah memelas kepadanya.

“Manja!!” ejeknya sambil menjitak kembali kepalaku.

“Mas, aku ingin bicara!!” ujarku yang menghiraukan jitakannya yang terakhir itu.

“Iya, kenapa?”

“Aku ingin kamu bertemu dengan keluargaku yang lain di desa,” kataku yang memandanginya dengan tajam.

Ia mengangguk dan tersenyum kepadaku. Aku merasa bahagia bisa mengenal sosok sepertinya dalam hidupku. Dan berharap Kakung dan Uti senang bertemu dengannya.

Hari itu pun berlalu, aku dan Mas Fajar segera pergi ke desa tempatku melalui kenangan yang indah. Di sana pemandangan itu sudah mulai berubah. Persawahan yang dulunya terbentang luas, kini sudah mulai menghilang sepetak demi sepetak. Zaman mulai berubah.

Kami berhenti pada sebuah rumah. Rumah itu pun sudah mulai berubah, yang dulunya tampak tua kini menjadi segar dan kuat. Cat putih yang dulu terbalut kusam di tembok, sekarang sudah berganti warna menjadi hijau segar. Aku pun segera menuju pintu dan mengetuk pintu rumah penuh memori.

“Assalamualaikum,” ujarku sambil mengetuk pintu rumah itu.

“Waalaikumussalam,” jawab seseorang saat membuka pintu rumah itu. Kupandang seorang pria tegap sedang berdiri menatapku. Wajahnya bersinar dengan seragam putih yang membalut tubuhnya.

“Agus?” tanyaku menatap sosok yang dulu pernah bermain denganku.

“Mbak Diana?? Alhamdulillah, Mbak datang!! Aku rindu sama Mbak.” Ia memelukku erat. Aku pun membalas pelukannya.

Ia menatap sosok pria di belakangku. Ia memberi kode kepadaku. Aku mengangguk kepadanya.

“Gus, Mbak di sini mau bertemu Kakung dan Uti. Mbak ingin calon suami Mbak mengenal Kakung dan Uti,” kataku.

Agus mengantarku dan Mas Fajar di belakang rumah. Ada dua batu nisan berjajar bersama. Gundukan tanah itu, sudah menjadi rumah terakhir Kakung dan Uti. Menjadi rumah terindah yang menjadi jalan menuju surga Yang Mahakuasa.

Kung, Uti, Ini calon suamiku. Aku berharap kalian bahagia di sana. Maafkan cucumu ini yang lama tak mengunjungi kalian. Kung, Uti, doakan aku dan Mas Fajar menjadi seperti kalian. Selalu bersama, dalam suka maupun dukanya kematian.

Aku pun mencium nisan yang masih terawat. Aku menangis dan mas Fajar segera menenangkanku. Aku merasa lega, seluruh kerinduan ini telah hilang, ketika bertemu dengan mereka. Kakung dan Uti. (*)

 

Aisyah Rizkyana Ramadhani, seorang perempuan yang berasal dari Kabupateng Lumajang, yang kini merantau ke Kota Malang untuk pendidikan.
FB : Aisyah Rizky Ramadhani
IG : @aisyahrramadhani
WA : 081334289443

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply