Pesan dari Anak Lelaki

Pesan dari Anak Lelaki

Pesan dari Anak Lelaki
Oleh: Eni Ernawati

“Katakan sekarang.”

“Apalagi yang harus kukatakan?”

“Kau bisa membohongi orang lain, tapi tidak denganku.”

Mulutku terus berucap dengan nada yang tak lagi rendah. Intonasinya semakin meninggi, membuat orang di hadapanku berdecak berkali-kali.

Aku pun tidak peduli dengan pengguna jalan yang menangkapku tengah beradu mulut di tepi jalan seperti ini. Rasa kesal telah menenggelamkan kesabaranku beberapa hari terakhir. Hingga beberapa menit yang lalu aku menemukan pria itu di jalan. Kuhentikan, aku menghakiminya tak keruan. Kuhiraukan tempatnya di mana, yang penting aku bisa berbicara dengannya. Ah, lebih tepatnya berdebat. Sebab di mana lagi, tiga hari aku menunggunya dia tak kunjung pulang ke rumah.

Ancaman demi ancaman bergantian keluar dari mulut kita. Namun nihil, satu di antaranya tidak ada yang membuat aku ataupun dia menjadi jera. Sebenarnya aku sudah sangat paham dengan orang seperti dia—tidak suka diancam. Akan tetapi aku sudah kehabisan akal untuk membuatnya tunduk padaku.

Tak sengaja mataku menatap kakinya. Bergetar, seperti seseorang yang kehabisan tenaga. Pertanyaan-pertanyaan mulai berkecamuk dalam pikirku, dari rasa sebal menjadi iba.

“Apa kau belum makan?” tiba-tiba saja aku berucap seperti itu.

Matanya kembali menatapku. Seolah tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan. Jawaban belum atau sudah sangat kutunggu. Namun lebih ke jawaban belum. Sebab bagaimanapun juga aku rindu makan bersamanya.

“Jawab, Fik,” ucapku kesekian kali.

“Gak usah sok peduli,” bisiknya tepat di telinga membuatku sedikit geli.

“Pulanglah, tapi kau harus bawa Antonie ke rumah,” teriakku sambil memandang punggungnya yang perlahan menghilang.

Aku sengaja membiarkan dia pergi. Siapa tahu dengan begitu dia akan balik ke rumah seperti apa yang aku minta. Jujur, aku bimbang dengan hal ini. Kasihan melihat Fikri yang telah angkat kaki dari rumah sebab dia lelah bertengkar denganku setiap waktu. Tetapi di sisi lain, dia juga membuatku naik darah dengan menyembunyikan Antonie. Bagaimana jika besok ayahnya datang dan ingin melihat putranya? Apa yang harus aku katakan?

Kakiku melangkah menuju kios di seberang jalan. Berdebat dengan Fikri membuat tenggorokan kering. Kuambil satu botol air mineral yang berjajar di atas etalase.

“Sania.” Seketika aku membalikkan badan mencari sumber suara.

Kini orang tersebut berada dua langkah dari hadapanku. Jantungku berpacu lebih cepat, dan mukaku mungkin sudah seperti seseorang yang melihat hantu.

“Ini minumnya.” Pria yang mengenakan jas hitam itu menyodorkan air mineral. Iya, tanpa kusadari air yang tadi kugenggam terlepas dari tanganku, saking takutnya.

“Kamu kenapa?” tanyanya disertai senyum tipis. “Duduk sini dulu, San.”

“I—Iya.”

“Kenapa seperti orang ketakutan?”

“Eng … enggak, Mas.”

“Diminum dulu, biar rileks.”

Aku pun menuruti perkatannya. Kuteguk air mineral yang sedari kupegang. Benar, aku sedikit rileks. Namun tetap saja sikapku tidak bisa seperti biasanya.

Segera kupalingkan pandangan ketika mataku meliriknya. Bisa kupastikan jika dia memandangiku sejak awal duduk di kursi panjang depan kios ini. Aku menjadi salah tingkah, terlebih takut jika dia menanyakan tentang ….

“Bagaimana kabar, Onie?” Nah, benar apa yang kukira. Dia pasti langsung menanyakan hal itu.

“Baik-baik saja,” jawabku lirih.

Aku bisa bernapas lega ketika pria di sampingku itu tidak lagi menanyakan tentang Onie. Tapi besok atau lusa dia akan menanyakan atau justru meminta aku untuk mempertemukan dengan putranya.

“Aku pulang dulu, Mas,” pamitku tanpa memandangnya. Akan tetapi dia menarik tanganku.

“Biar aku antar,” gumamnya lembut. “Sekalian aku bertemu dengan Onie. Aku rindu sekali dengan dia.”

Deg!

Apa yang harus kukatakan. Rasanya aku ingin menghilang dari hadapannya. Namun aku hanya bisa mematung, membisu, membeku, dan … entahlah.

Fikri. Iya, saat ini aku terpikir tentang dia. Ke mana dia menyembunyikan anak kecil itu. Tidak ada orang lain yang kucurigai selain pria pembangkang itu.

“Aku bisa pulang sendiri,” ucapku kemudian berlari menuju angkot yang kebetulan berhenti di depan kios.

“Sania!” Terdengar Mas Rafi memanggilku saat angkot telah berjalan.

“Maafkan aku, Mas,” gumamku dalam hati.

***

Kuembuskan napas dalam-dalam sembari merebahkan badan di tempat tidurku. Hari ini mungkin aku selamat dari Mas Rafi, akan tetapi esok aku tidak akan bisa menghindar lagi. Cepat atau lambat dia akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Onie.

Berulamgkali aku menelepon Fikri, tidak diangkat. Yang terakhir justru dimatikan. Sial, kenapa dia selalu membuat semuanya menjadi runyam. Kenapa dia cemburu pada Antonie? Tidakkah dia bisa membedakan kasih sayang seseorang? Bukankah selama ini aku sudah sangat baik merawatnya. Sekarang dia sudah dewasa, seharusnya dia tidak perlu mempermasalahkam hal sepele ini.

Sebelum kedatangan Antonie katanya aku sangat menyayanginya, begitu perhatian. Namun, semenjak Antonie masuk ke kehidupanku, aku hanya mengutamakan Antonie saja.

“Apa kau tidak ingat apa kata Ayah dan Ibu dulu? Kau harus merawatku?” titahnya saat dia merasa dinomorduakan.

“Kau sudah dewasa, Fik. Saatnya kau belajar mandiri,” jawabku penuh kasih.

Aku masih ingat betul, saat aku mengatakan itu dia selalu saja mengelak. Tetap memaksaku untuk mengutakan dia dibanding Antonie. Adikku itu juga pernah bilang jika dia tidak segan-segan menyingkirkan Antonie. Itulah alasanku mengapa aku yakin jika Fikri-lah yang membawa Antonie pergi.

Antonie yang berusia enam tahun masih perlu banyak perhatian. Sedangkan dia sudah menuju kepala dua. Tapi mengapa masih ingin disamakan dengan anak kecil.

“Tunggu sebentar.” Aku beranjak dari tempat tidur setelah mendengar ketukan pintu. Aku berharap yang datang adalah Fikri dengan membawa Antonie.

“Aku ingin bertemu Onie,” ucapnya to the point.

“E … itu ….”

“Kenapa?”

“Onie baru saja tidur, aku tidak enak jika membangunkannya.” Aku terpaksa berbohong agar Mas Rafi tidak panik.

“Ya udah, biar aku aja yang masuk,” katanya sambil masuk ke dalam rumahku. Aku tak mampu mencegahnya, siap tidak siap aku harus siap menerima konsekuensinya.

“Mana Onie, San?” tanya ayahnya Antonie saat membuka kamar anaknya akan tetapi kosong.

Cairan bening dari kedua mataku mengalir deras. Mas Rafi sudah pasti bisa mengartikannya. Dia membentakku berkali-kali, membuatku semakin merasa bersalah.

“Kau sudah aku bayar untuk merawat Antonie, aku sudah sangat percaya denganmu,” suaranya menggebu-nggebu. “Kau tau, San? Aku berpikir untuk menjadikanmu sebagai ibunya Onie, tapi kau malah menghancurkan kepercayaanku.”

Apa yang aku dengar barusan? Mas Rafi ingin aku menjadi ibunya Antonie? Apa aku tidak salah dengar? Berarti selama ini aku tidak jatuh cinta sendirian? Ah, percuma saja. Mas Rafi sudah tidak percaya denganku lagi.

“Kamu ke manakan, Onie?” tanyanya tepat di depan mukaku.

“Di gedung tua lantai dua. Di Jalan Pemuda,” suara Fikri membuat aku dan Mas Rafi tercengang. “Cepat ke sana, atau kau hanya akan menemukan mayatnya.”

***

Mas Rafi berlari menghampiri Antonie yang tersandar di jendela. Dia menangis melihat kondisi putranya yang begitu lemas. Dipeluknya Antonie penuh kasih. Terlihat jelas jika dia sosok ayah yang penyayang. Tapi kenapa istrinya tega meninggalkan dirinya dan buah hati seperti Antonie yang begitu menggemaskan.

“Yah,” suara Antonie begitu lirih.

“Iya, Sayang.”

“Menikahlah dengan Tante Sania.”

Jantungku seolah berhenti berdetak. Air mataku semakin deras. (*)

 

Eni Ernawati, Gadis penyuka musik yang berasal dari kota Bumi Wali–Tuban.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply