Two Thousand Fifteen

Two Thousand Fifteen

Two Thousand Fifteen
Oleh: Eni Ernawati

“Apa selain hobi bercanda, semesta juga hobi membuat hati terluka?”

Mendengar pertanyaanku yang ke-sekian kali pemilik mata panda itu tak menoleh sedikit pun. Pandangannya mengekor ke ujung jalan. Seolah mencari jawaban di antara bisingnya kendaraan atas pertanyaan yang seharusnya tak kuutarakan kepadanya. Atau paling tidak, dia berharap matanya menemukan suatu adegan lucu kemudian dibagikannya kepada mataku. Agar orang yang disayangnya ini tidak larut dalam kesedihan.

Berulang kali aku melirik seseorang di sampingku dengan perasaan tak karuan. Aku sangat berharap dia akan mengatakan sesuatu yang bisa membuat hatiku lega. Namun, tidak ada tanda-tanda jika dia akan membuka mulut.

“Sekumpulan kata atas nama menolak kehilangan sedang berdemo di pikiranku.”

“Dan mereka kalah.” Akhirnya orang yang sedang bersamaku ini menimpali perkataanku juga. “Kenyataan adalah pemenang, konon katanya ia memang tak berperasaan,” lanjutnya disertai penekanan di setiap kalimat yang ia utarakan.

Jawabannya membuatku terpaku. Kenyataan memang selalu menang, tapi tidak bisakah sekali ini saja ia mengalah. Andai saja semesta bisa diajak kompromi, maka yang sifatnya sementara tidak perlu kubuatkan tempat paling keramat di dasar hati.

“Sekarang 2015, bukan?” Kali ini aku berharap dugaanku salah.

Wanita berkerudung maroon itu menatapku bingung. Dengan berat hati ia mengangguk pelan. Sial! Kenapa tidak menggelengkan kepala saja.

“Maaf, aku harus pulang. Suamiku sedang sakit di rumah, aku tidak mungkin meninggalkannya berlama-lama.” Tanpa menunggu kuizinkan wanita itu sudah melangkah lebih dulu. Menyisakan tepukan di punggunggku.

Dadaku semakin gemetar. Kutendang kaleng minuman yang ada di depanku sebagai pelampiasan. Kau benar-benar menyayangi suamimu, beruntung sekali dia.

Satu-dua tahun yang lalu. Kau selalu punya banyak waktu untuk kau habiskan bersama pria lemah ini. Namun kini, setelah kau menemukan orang yang kau anggap takdir, aku menjadi tersingkir.

***

“Jadilah istri yang baik,” ucapku keesokan harinya.

“Dia lebih dari baik, aku sangat bersyukur.” Suamimu menimpali dengan wajah bahagia. Muka pucat yang kutemui beberapa menit sebelumnya telah menghilang. Syukurlah kalau dia segera sembuh. Itu tandanya aku bisa menghabiskan banyak waktu lagi bersamamu. Toh, suamimu tidak keberatan akan hal ini. Benar kata orang-orang, orang baik akan mendapatkan jodoh yang baik pula.

“Cepat sembuh, aku keluar dulu mau menyicipi hidangan yang disuguhkan istrimu.”

“Terima kasih. Makanlah yang banyak biar kuat menerima kenyataan.” Bisa saja suamimu menggodaku seperti itu.

Di rumahmu, tepatnya di ruang tengah. Ruangan bernuansa putih dengan paduan hitam menjadi tempat kesukaanku. Meja kecil di depan sofa selalu ditemani buah-buahan. Aku selalu mengambil salah satu buah dan memakannya sambil menonton TV.

Tak lama pemilik rumah ini tiba di sampingku. Menceritakan tentang keadaan suaminya  yang semakin membaik. Aku turut bahagia mendengarnya. Dalam hati semoga aku mendapat Istri yang sama sepertinya–salihah.

“Semalam Ibu menghubungiku, katanya dia rindu padamu.” Perkataanmu membuatku merasa bersalah kepada Ibu.

“Bilang, aku sedang baik-baik saja.”

“Menurutku, sebaiknya kamu sampaikan kepada Ibu apa yang sebenarnya terjadi. Kamu tak perlu merasa bersalah, Ibu tidak akan marah.”

“Sekarang 2015, bukan?” Lagi-lagi aku menanyakan hal itu. Aku masih saja tidak percaya.

“Sudahlah kau lupakan itu. Kau harus bangkit, Sayang.” Kak Cesa memelukku erat. Benar yang dia katakan aku harus bangkit dari keterpurukan ini.

Dalam hati aku menghitung mundur perjanjian 3 tahun silam. Wanita yang sangat kucintai pernah bilang jika aku benar-benar menginginkan dia sebagai pendamping sehidup sesurga, aku harus menunggunya 2-3 tahun lagi. Di tahun 2015 ini seharusnya dia menepati janjinya. Akan tetapi nihil, dia memilih pria lain. Kenapa tidak bilang dari dulu jika tidak mau denganku. Atau sengaja membuat hati orang yang sangat menyayanginya ini terluka.

“Kak, kau baik-baik saja?” Tanyaku saat kudapati Kak Cesa menghapus air matanya. Aku tahu dia pasti turut terluka atas perjanjian yang diingkari oleh calon istri adiknya.

 

Eni Ernawati, Penggemar stand up comedy dan cerita romance.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata