Dunia Kita dalam Lipatan Sajadah

Dunia Kita dalam Lipatan Sajadah

Dunia Kita dalam Lipatan Sajadah

Oleh: Nurul Istiawati

Matahari setengah terbenam, langit menjadi kelam dalam guyuran hujan lebat. Kilat sambung menyambung seperti ingin membakar seisi langit. Halilintar menyambar bersahut-sahutan seolah ingin membelah tempat ini. Terjebak di halaman masjid senja kala itu, aku merasa sedikit beruntung sebab aku bisa menatapmu lebih lama lagi, meski dari kejauhan. Sesekali terlintas dalam benakku, kau datang menawarkan payung atau baju hangat, walau aku tahu itu takkan terjadi.

Aku belum mengenalmu dekat. Yang aku tahu, engkau adalah lelaki sederhana berhati samudera, yang rela terlambat masuk kuliah karena menolong seorang nenek menyebrang jalan, yang ikhlas membantu sesama tanpa pamrih.

Aku mencintaimu. Kurasa sejak saat itu. Saat aku pertama kali mendengar merdu suara lantunan azanmu. Ah, tanpa banyak kata, kau sudah memberi getar-getar di dada.

Kahfi. Itulah namamu, seperti nama salah satu surah di Alquran, yang menggetarkan hati siapa saja yang membaca atau mendengarnya.

Aku memberanikan diri untuk menyapamu. “Assalamualaikum Abang Kahfi,” ucapku.

“Waalaikumsalam Dik Annisa,” jawabmu.

Hari-hari selanjutnya, kita sering dipertemukan oleh takdir dalam ketidaksengajaan.  Kita sering berbincang perihal tauhid dan semua yang berbau religi.

“Birul walidain itu wajib Dik. Patuhilah perintah orangtua karena ridho Allah ada pada mereka.” Entah kenapa setiap kata-katamu begitu sejuk dan menenangkan.

“Itu artinya kita sebagai anak harus taat kepada mereka, meskipun harus mengorbankan kebahagiaan diri kita sendiri ‘kan, Bang,” balasku.

Kau mengangguk pasti. Sejak hari ini, untuk pertama kalinya hidupku tak hanya mengalir. Karena sekarang aku punya tujuan, punya cita-cita yaitu kau. Aku merajut rindu dalam diam. Rindu dalam doa. Memendam cinta tanpa banyak berkata. Dan kuharap kau juga begitu.

***

“Aku sudah dijodohkan oleh Abah. Esok lusa aku harus pulang dan segera meminang gadis desa pilihan Abah,” ucapmu.

Kau tahu bukan? Kala itu aku seperti burung yang terkena anak panah. Terkapar. Hatiku perih. Langit seolah menimpa tubuhku. Napasku sesak, sungguh aku tak ingin kau meminang gadis selain diriku.

Dalam sujud subuhku, saat dingin membelai fajar, kuselipkan doa memohon kepada-Nya. Berharap kelak akulah perempuan yang membangunkanmu subuh esok. Dalam sujud dzuhurku, ketika perjalanan terik mentari berjeda di atas kepala. Aku juga memohon kepada-Nya. Berharap agar akulah degup yang akan mendekap rindumu.

Dalam sujud asharku, ketika matahari condong ke barat lalu menetaskan senja. Aku memohon kepada-Nya, semoga kau maju melingkarkan bismillah di jariku. Dalam sujud maghribku, saat usia matahari mendekat ajal dan petang membuka kelopak malam. Aku masih memohon kepada-Nya, agar segera satu shaf di belakangmu. Berharap kelak akulah perempuan yang akan mengamini setiap kekatamu.

Dalam sujud isyaku, saat malam menamatkan lelah. Aku tetap memohon kepada-Nya, semoga kelak aku yang akan memeluk napas penatmu dalam tidurmu. Namun sekarang, kenyataan telah membanting semua harapan dan doaku. Hancur.

***

“Ambil sajadah ini, gunakanlah! Jangan berhenti berdoa, Dik,” katamu tersenyum. Aku tahu, di balik senyummu tersimpan banyak resah dan kegundahan di sana.

“Selamat tinggal,” katamu mengulurkan sajadah yang terlipat rapi lalu sesekali memangkas air yang ada di pelupuk matamu.

Kubelai sajadah pemberianmu, dan menemukan dunia kita yang terlipat dalam sajadah. Dunia kita yang hanya bisa menyatu ketika sujud, ketika memanjatkan doa.(*)

Pemalang, 15 Oktober 2018

Biodata: Nurul Istiawati, gadis 17 tahun yang hobinya dengerin musik klasik. Fb: Nurul Istiya ig: @nrlistiya05 email: nurulistiawati05@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply