Resah
Oleh: Triandira
Aku bergegas masuk ke dalam rumahmu setelah mendengar kau memanggil-manggil namaku, lalu duduk di sebuah kursi tua yang terbuat dari kayu. Tanpa banyak bicara kau segera melangkah ke dapur, mengambil segelas air putih untukku. Meski demikian, ketakutan yang menyergap belum juga menghilang. Aku mengitarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Sesekali menghela napas dengan tubuh yang gemetaran.
“Nona baik-baik saja?” tanyamu dengan wajah khawatir. Aku menganggukkan kepala sambil menerima minuman yang kausodorkan. Namun baru saja hendak mengucapkan terima kasih, mendadak aku teringat sesuatu. Tentang peristiwa yang kualami beberapa jam yang lalu. Sebuah kejadian yang membuat jantungku berdebar hebat. Menakutkan, dan begitu menyeramkan.
“Aku akan pulang terlambat nanti,” ucapku kala itu, menjawab panggilan telepon dari seseorang. Tak lama setelahnya, aku kembali ke dalam kelas. Mengerjakan kembali tugas yang sudah menumpuk di atas meja.
11.05 PM
“Ayolah, jangan sekarang. Apa yang kaupikirkan, Em?” keluhku dalam hati. Menatap jam yang tergantung di dinding, lantas menyandarkan punggung dengan raut muka sebal. Ini belum terlalu malam tapi aku sudah berulang kali menguap.
Tak ingin menyerah, aku mencoba melawan rasa kantuk yang mendera. Namun bukannya fokus dengan apa yang seharusnya kuselesaikan, ide buruk yang selalu kuhindari malah muncul lagi.
“Apa sebaiknya …?”
Aku menggelengkan kepala. Meraih lembaran kertas juga buku yang tergeletak di hadapanku, kemudian memasukkannya ke dalam tas. Meskipun kecemasan seperti malam-malam sebelumnya masih menghampiri, tapi aku tak peduli. Persetan dengan semua itu. Bagiku yang terpenting saat ini adalah aku segera pulang ke rumah. Merebahkan tubuh di atas kasur setelah mandi dengan air hangat. Ya, aku butuh semua itu.
“Baiklah. Selesaikan saja pekerjaan ini esok hari,” gumamku pada diri sendiri sambil berjalan menyusuri lorong kampus yang mulai terlihat sepi. Tak lama kemudian, aku sudah berada di parkiran. Masuk ke dalam mobil, lalu pergi menerobos jalanan yang tak begitu ramai oleh kendaraan.
Satu jam berkendara, akhirnya aku sudah sampai di rumah. Usai membuka pintu garasi, kumasukkan mobilku ke sana. Ternyata tak sesulit yang dibayangkan, sampai tiba-tiba ….
Krak!
Aku berjingkat, lantas melangkah pelan keluar garasi sambil mengedarkan pandangan. Gelap, sebagian besar rumah tetangga sudah tertutup gordennya. Lampu teras pun sudah dimatikan hingga suasana terasa sunyi.
“Apa hanya perasaanku saja?”
Kondisi tubuh yang sangat lelah membuatku tak ingin memikirkan hal buruk itu lagi. Seolah tak pernah mendengar apa-apa, aku melanjutkan kembali niatku—masuk ke dalam rumah dan tidur dengan cepat. Tapi tanpa kuduga, sesuatu yang lebih menegangkan terjadi.
Aarrgghh!
Teriakan seseorang terdengar keras di telinga. Aku mendekat ke tempat di mana suara itu berasal.
“Si—siapa di sana?” teriakku dengan suara yang bergetar. Pelan, aku berjalan ke belakang rumah. Terus menelesuri halaman hingga mataku menangkap sebuah bayangan. Tak jauh dari ruangan bawah tanah milikku dengan pintu yang sedikit terbuka. Dan saat aku hendak melangkah lebih dekat, pemandangan mengerikan itu telah lebih dulu menyambutku.
Aku hampir berteriak histeris ketika sosok misterius yang ada di hadapanku, mengayunkan sebilah pisau di tangannya. Entah yang keberapa kali, yang jelas darah sudah berceceran di atas lantai. Di sekitar mayat perempuan yang terbaring kaku dengan mata melotot dan mulut yang menganga.
“Apa ini?”
Belum sempat pertanyaan di hatiku itu terjawab, sosok tersebut membalikkan badan. Tapi beruntung, aku telah pergi sebelum ia menangkap basah keberadaanku. Merasa terancam, aku menelepon seorang teman agar ia menjemputku dari rumah terkutuk yang belum lama ini kutempati. Namun sial, teleponku tak diangkat. Sambil memencet tombol lain di ponsel, aku terus berlari. Dan berhenti usai Pak Wilson memanggilku. Ia adalah lelaki paruh baya yang tinggal di ujung jalan.
“Bi—bisakah kau bawa aku pergi dari sini?” pintaku sambil terisak.
“Tenanglah, Nona. Jangan panik.”
Ia membawaku pergi setelah aku menganggukkan kepala, menyetujui tawaran untuk singgah di rumahnya. Sejurus kemudian kami sampai. Aku masuk ke dalam dan duduk di sebuah ruangan setelah ia mempersilakanku masuk. Tak lama kemudian, ia juga memberiku segelas minuman. Tapi bukannya tenang, aku malah semakin ketakutan.
“A—aku sebaiknya pergi sekarang.” Pak Wilson menatapku lekat-lekat dengan senyum sinis di wajahnya. Sesaat setelah meletakkan gelas yang kutolak darinya, di atas meja dengan jari yang bersimbah darah.
Ia … itu kau. Sosok misterius yang selama ini membuatku kesulitan untuk tidur. Menghabiskan malam dengan segudang pekerjaan hanya agar rasa takut itu lenyap. Meski hanya sementara.(*)
Tentang Penulis:
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: wahyutriandira1@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata