Tak Sampai

Tak Sampai

Tak Sampai
Oleh: Cahaya Fadillah

Tantangan Lokit 8 (Mimpi)

Hujan lebat mengguyur kota sedari subuh. Aku menatap ke luar jendela berkali-kali dari tadi. Ada rasa kecewa atas hujan yang turun kali ini, karena hari ini adalah hari yang aku nantikan sejak lama.

Aku menatap gawai hitam di meja kaca di sampingku, tidak ada pesan atau sebuah panggilan. Perasaanku mulai terasa tidak nyaman, apa mungkin sebuah kecewa akan hadir belakangan?

Jarum jam di dinding berdentang menandakan pukul tujuh tepat. Ada perasaan kesal yang menyeruak karena aku yakin hari ini akan gagal lagi.

Kupastikan nomornya tidak salah, kupencet “oke” untuk melakuan panggilan padanya dengan hati berdebar.

“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.” Berkali-kali kucoba menghubunginya dan jawabannya selalu sama. Aku dihadang suara cantik operator yang tidak jelas wujudnya. Rasa sesak menghampiri hatiku, jangan-jangania memang pergi dengan yang lain.

Motor merah kesayanganku segera berlari meraung di jalanan basah mengejar tempat tinggalnya, hujan masih lebat saja tapi aku tidak peduli. Hatiku berkata ada yang tidak beres hari ini.

***

“Abang kerja di sini?” tanyanya padaku saat aku sibuk merapikan ban mobil dari sebuah truk pengangkut barang ke dalam toko majikanku.

Aku sedikit kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba. “Iya, Dik. Apa kabar?,” tanyaku berbasa-basi. Padahal jantungku sudah meloncat-loncat begitu senang sedari tadi.

“Baik, Bang.Aku masuk dulu ya, Bang. Jam istirahat sudah lewat,” ucapnya melambaikan tangan.

Aku memandangi punggung gadis mungil itu, gadis yang akhir-akhir ini menyita perhatianku, membuat semangatku menjadi dua kali lebih banyak dan kekuatanku untuk bekerja berat menjadi dua kali lebih kuat.

Hari ini menjadi hari yang luar biasa buatku, seketika semua energi positif datang. Senyum ramah selalu duduk manis di bibirku, semangatku bekerja terasa sangat luar biasa. Hingga makan siang tiba, lapar pun tidak begitu terasa.

Aku jatuh cinta.

Sejak kejadian itu aku sibuk memperbaiki diri untuknya, aku tahu dia gadis yang baik setelah beberapa kali bertemu dan bercerita. Kami bertemu di sebuah warung makan saat aku makan siang, gadis itu masuk memilih lauk untuk santap siang dan melupakan dompet yang tertinggal di meja kerja kantornya.

Basa-basi aku membantu membayarkannya, setelah mengobrol lama aku baru tahu kalau dia baru di kota ini, kami juga dari kampung yang sama. Senyumnya, cara ia berbicara, dandanannya hingga pakaian yang ia kenakan selalu membuat aku suka. Dia gadis modis dengan rambut berwarna. Awalnya aku mengira dia sedikit “nakal”, tapi dugaanku salah, cara bicaranya sangat sopan. Walau tidak berhijab, ia tidak menerima sentuhan tangan lelaki saat diajak bersalaman

Mungkin, suatu hari dia akan berhijab. Aku yakin itu.

Hal itu membuatku semakin gencar mengejarnya, menghubunginya lewat pesan-pesan dan beberapa pembicaraan lewat telepon setiap malam sebelum tidur. Ada rasa harap yang berlebihan untuk mendapatkannya.

***

“Sha, kamu sudah punya pacar?” tanyaku memulai pembicaraan saat kami duduk berdua di sebuah warung yang menyajikan makanan kecil.

“Pacar?” Dia tertawa menatapku yang serius bertanya. Aku hanya bisa menunduk malu karena terlalu terang-terangan bertanya.

“Bang, kita pulang ya. Maaf, pekerjaanku besok banyak, aku harus survei lapangan, harus meeting juga. Aku harus persiapkan semuanya malam ini. Maaf, makan malamnya kita tunda saja.”

Aku pasrah atas penjelasan yang ia utarakan. “Aku antar ya sampai kos-an,” ucapku menawarkan.

“Tidak usah, Bang. Aku naik angkot saja dari sini, tidak enak dilihat sama tetangga kalau aku diantar cowok terus. Sesekali tidak masalah, kalau sering aku tidak berani. Maaf,” ucapnya sambil tersenyum.

“Oo, ya udah,” jawabku kecewa, padahal aku masih ingin lama bersamanya.

“Ini, uang yang dulu aku pinjam di rumah makan dulu, aku kembalikan, hutangku lunas ya, Bang. Terima kasih.”

“Tidak usah, buat kamu aja, Sha. Anggap itu Abang yang traktir.”

“Sha tidak biasa begini, Bang. Maaf. Tolong diterima, ini kali keberapa Abang tidak mau menerima hutang Sha?”

“Bukan begitu, Abang ikhlas, Sha.”

“Sha, maksa lo, Bang.”

“Memaksa? Apakah kalau hutang ini sudah dibayar Sha juga akan pergi dari Abang?”

“Pergi?”

“Ya, pergi, meninggalkan Abang. Abang suka kamu, Sha. Abang serius suka, walaupun kita berbeda. Abang tahu Sha seorang wanita yang pintar, kerja kantoran dan seorang sarjana, tapi Abang serius suka.”

“Serius yang bagaimana?”

“Serius untuk menjadikan Sha sebagai pacar Abang, kekasih Abang, Sha. Tolong jangan tinggalkan Abang ya.”

Shanum hanya tersenyum saat itu melihatku menitikan air mata. Air mata dari seorang preman kampung yang mencoba mencari hidup yang lebih baik sejak bertemu gadis pujaan yang menghangatkan hati. Sejak bertemu Shanum, aku mencoba berubah menjadi lelaki yang lebih baik. Tapi, aku terlambat saat Shanum menyodorkan sebuah kartu berwarna merah hati padaku. Kubuka dengan cepat dengan jantung yang berlomba ingin keluar.

Di sana tertulis namanya dengan seorang lelaki yang aku tahu adalah teman sekantornya.

“Maaf, Bang. Lelaki di kartu ini, tidak pernah mengajakku pacaran. Kami bertemu sebagai rekan kerja. Lalu, ia datangi orangtuaku. Ia bukan menginginkan aku menjadi pacarnya, ia menginginkan aku sebagai istrinya. Aku tidak mungkin mengecewakan lelaki seperti ini, bukan?”

Aku terdiam, tertunduk malu. Banyak hal yang berputar-putar di kepalaku. Shanum gadis yang baik, tentu ia memilih lelaki yang baik pula, bukan preman sepertiku. Shanum memilih menjadi halal daripada aku yang mengajaknya untuk berdosa bersama.

Ia tersenyum sambil melambaikan tangan. Angkutan umum berwarna biru itu membawanya jauh. Membawa hatiku yang tak sampai. (*)

 

Cahaya Fadillah, Pernah mempertanyakan kenapa kuliah di jurusan Komunikasi sedangkan sastra adalah sebagian jiwanya.
FB: Cahaya Fadillah
IG: CatatanCahayaFadillah
Wattpad: @CahayaFadillahStory

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata