Mimpi Kecil yang Bernilai
Oleh: Aisyah Rizkyana Ramadhani
Tantangan Lokit 8 (Mimpi)
Malam begitu sunyi. Namun, suara Ambulance terdengar begitu nyaring saat tiba di rumah sakit. Para perawat berjajar menunggu kedatangan kami. Mereka pun segera membuka pintu mobil dan memboyong ibu menuju ruang UGD.
Para perawat dengan sigap membawa ibu ke dalam UGD untuk memberi penanganan dini.
“Pak, Ibu akan baik-baik saja,” hiburku kepada sosok pria tua yang telah aku anggap seperti ayahku sendiri.
Bapak tersenyum, namun masih tampak rasa khawatir dalam raut wajahnya. Ibu dan Bapak memang bukanlah orangtuaku yang sebenarnya. Mereka adalah sepasang malaikat tak bersayap yang datang untuk melengkapi hidupku, terutama Ibu.
“Makanlah dulu, Nak. Bapak yang akan menunggu ibumu,” ujar Bapak yang melihatku sedang duduk sambil memandanginya.
“Tidak, Pak. Aku akan menjaga Ibu sampai ia sadar.”
Tiba-tiba, saku celanaku bergetar. Suara handphone berdering memekik keheningan. Kupandang Bapak yang sedang pergi, agar tak mengganggu diriku.
“Oh, ini handphone milik Ibu. Apa aku lancang bila mengangkat telepon miliknya?” pikirku sambil menggaruk kepala yang sedikit gatal.
Aku menoleh memastikan Bapak tetap duduk di kursi itu. Kulihat Bapak mulai tertidur, karena kelelahan. Aku pun mulai menerima telepon dari handphone Ibu.
“Assalamualaikum,” ujarku kepada seseorang di balik telepon itu.
“Ibu?” kata orang itu, yang terdengar seperti suara laki-laki.
“Abidzar? Apa itu kau? Pulanglah, Dik! Ibumu sangat membutuhkanmu.”
“Apa baru sekarang Ibu membutuhkanku? Bukankah Ibu lebih menyayangi Kak Salam daripada aku?” kata Abidzar dengan nada pedasnya.
“Aku pun menelepon Ibu hanya memberi kabar, bahwa aku sudah diterima menjadi seorang manajer di perusahaan ternama. Terbukti, bahwa aku bisa lebih sukses dari Kak Salam.”
Mendengar hal itu air mataku mengalir begitu saja, tanpa sadar sebuah tangan memegang pundakku dengan lembut. Betapa terkejutnya aku, ketika Bapak sudah berdiri di belakangku dengan mata berkaca-kaca.
“Innalillahiwainnailaihirojiun, ibumu sudah meninggal, Nak,” kata Bapak sambil memeluk erat tubuhku.
Braaakkk ….
Tubuhku tak mampu menahan beban kepedihan. Aku lemah dalam kesedihan. Tergeletak di atas dinginnya lantai rumah sakit.
***
Tiba-tiba badanku terasa berputar. Ketika tergambar jalanan yang dulu masih berupa tanah yang berlumpur dan aku adalah anak yang sangat malang saat itu, karena ayah dan ibuku dengan tega meninggalkanku.
Saat itu kakiku tersandung batu, saat di mana aku berjalan menyusuri jalanan sepi. Aku tak memiliki arah dan tujuan saat itu. hanya angin berembus yang menjadi petunjukku untuk berjalan terus.
“Oooh, kau tidak apa-apa, Sayang?” ujar seseorang yang membantuku bangun.
Tangannya sangat lembut, ketika memegang pundakku. Aku begitu penasaran dengan sosok baik yang mau membantu anak yang penuh kutukan ini.
“Terima ka—“ suaraku terpotong karena terkejut melihat sosok bidadari itu datang di hadapanku.
“Siapa namamu, Nak?” tanyanya kepadaku.
“Salam,” jawabku dengan penuh hati-hati. Saat itu, aku sangat takut dengannya.
“Wajahmu sangat tampan, Nak. Begitu indah nama Salam menghiasi hidupmu,” ujarnya sambil mencubit pipiku dengan lembut.
“Perkenalkan, nama ibu adalah Fatimah,” ujarnya dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya.
Senyuman itulah yang membuatku selalu nyaman berada disampingnya.
***
Aku terbangun. Aku melihat Bapak dengan wajah cemas menemaniku. Aku sudah merepotkan Bapak yang sudah banyak kehilangan hampir seluruh keluarganya.
“Pak?” kataku yang memanggil Bapak dalam tidurnya.
“Hmm, Nak. Kau sudah sadar? Kau sudah merasa baikan?” tanya Bapak sambil memegang keningku.
“Sudah, Pak. Ayo kita pulang untuk pemakaman Ibu,” ajakku. Bapak mengangguk.
***
Pagi mulai menghiasi hari. Namun, matahari masih bersembunyi di balik awan hitam nan tebal itu. Suasana sangat sejuk dan tentram. Tak ada rintik-rintik hujan yang turun membasahi bumi. Udara semakin dingin saja, namun banyak sekali orang yang datang berbelasungkawa. Mobil-mobil berjajaran rapi di depan rumah.
Lalu, seorang ibu berdiri di hadapanku dengan penuh tanda tanya besar. Ia merasa bingung melihat suasana di rumah Ibu Fatimah ini.
“Nak, apa benar ini rumah Fatimah?” tanya ibu itu sambil mengernyitkan keningnya.
“Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku yang melihat kebingungan dirinya.
“Apakah dia orang besar, Nak? Aku tak pernah melihatnya selalu berpenampilan mewah selama ini,” kata ibu itu sambil memandang mobil-mobil yang berbaris rapi.
“Bu, mungkin kesederhanaan dan kebaikan Ibu Fatimah yang membuat mereka datang ke sini untuk melihatnya yang terakhir kali,” kataku sambil tersenyum melihat kebingungannya yang hilang.
“Iya, dia memang orang baik,” ujar ibu itu dan segera pamit untuk meninggalkanku.
***
Tiba-tiba sebuah mobil muncul di tempat parkir. Seorang laki-laki muncul dari mobil itu dengan pakaian rapi. Wajahnya penuh kebingungan saat melihat sebuah bendera berkibar di depan teras rumah. Ia berjalan mendekat seakan ingin menemui seseorang. Bapak yang tak sengaja melihatnya pun bergegas berdiri untuk menemui laki-laki itu.
Plaaakkk ….
Suara tangis pelayat berubah menjadi hening seketika. Aku terkejut melihat tangan lembut Bapak itu mendarat kepada pipi laki-laki itu. Semenjak itu, aku sadar bahwa laki-laki itu adalah Abidzar.
“Bapak … maafkaan Abi. Abi mengaku bersalah telah melukai hati Ibu,” ujar Abidzar sambil bersimpuh lutut kepada Bapak.
Ia menangis tersedu-sedu, tak lain halnya dengan Bapak. Ia merasa emosi hingga tak bisa menahan tangannya itu.
“Kau terlambat, Abi! Ibumu sudah meninggal, sekarang! Bukankah kau senang?” kata Bapak dengan tangan yang didorongkan kepada tubuh lemah tak berdaya Abidzar.
“Kau hanya memendam iri dengan Kak Salam, Nak. Kami tak pernah membandingkan dirimu dengannya. Kau hebat dengan kemampuanmu, namun kau harus belajar bersyukur dan rendah hati!” sambung Bapak yang mulai luluh melihat kesedihan yang bergelayut di hati anaknya.
“Ma—maaf, Pak. Abi memang bodoh!” sesal Abidzar yang terus memukul kepalanya sendiri dengan sepatu besarnya itu.
Aku yang melihat Abidzar seperti itu, merasa tidak tega. Kuambil sepatu yang ia pegang dengan cepat dan kupeluk tubuh tegap itu dengan lembut. Abidzar adalah adikku. Abidzar adalah saudaraku. Dan selamanya akan tetap begitu.
“Tak perlu kau sesali, Dik. Ibu sudah tenang, ketika kau datang mengunjunginya hari ini. Meskipun ia tak melihat kedatanganmu, tapi ia memiliki keyakinan akan kehadiranmu di hari meninggalnya.”
Abidzar hanya memelukku dengan erat. Entah mengapa hatiku terasa tenang mendapatkan peluknya. Pelukan itu sama ketika Ibu Fatimah memelukku. Bapak hanya menangis melihat kami. Melihat kedua putranya saling berpelukan menebar kasih sayang.
Beberapa menit kemudian, pelukan itu semakin erat kala Bapak ikut memeluk kami. Air matanya masih mengalir dan membasahi pundakku.
“Nak, andai ibumu melihat hal ini. Betapa bahagianya dia! Kalian tahu mimpi apa yang ia ceritakan kepada Bapak?” Aku dan Abidzar terdiam. Ingin segera mendengarkan langsung dari Bapak.
“Ia ingin melihat keluarganya bersama dan bahagia. Dan benar katanya, kalau hanya dia yang bisa mempersatukan kalian. Hahaha …. Ibu kalian sungguh lucu!” ujar Bapak yang tertawa mengingat masa itu.
“Dan Abi berjanji, akan selalu mengabulkan mimpi Ibu,” ujarnya dengan mantab.
Senyum kembali menghiasi rumah ini. Meskipun tanpa Ibu yang mengisi hari-hari, tapi Abidzar sudah mengganti kesedihan Bapak menjadi kebahagiaan. Biarlah Ibu tidur dengan tenang di sana, ketika mimpi kecilnya sudah tercapai dengan kehadiran Abidzar, sang pelengkap keluarga kami. (*)
Aisyah Rizkyana Ramadhani, seorang perempuan yang berasal dari Kabupateng Lumajang, yang kini merantau ke Kota Malang untuk pendidikan.
FB : Aisyah Rizky Ramadhani
IG : @aisyahrramadhani
WA : 081334289443
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata