15 Mimpi
Oleh: Lily Rosella
Tantangan Lokit 8 (Mimpi)
Gadismu serupa jelmaan bunga kecubung yang kautemui kala menjelajah hutan pada bulan April beberapa tahun silam. Yang mekar ke bawah sebab tertunduk malu. Kulitnya putih merona seperti secawan susu yang diberi setitik pewarna stoberi, hidungnya mirip kebanyakan orang Indonesia pada umumnya, matanya agak sipit, dan tubuh rampingnya dibalut gamis ladung berwarna ungu lembut, dengan hijab labuh yang menutupi kepala hingga bawah dadanya.
Kau memimpikannya malam ini. Bukan mimpi basah, hanya mimpi biasa seperti halnya kalian berbincang di sebuah taman atau bepergian ke tempat tak berpenghuni. Melompati angka-angka pada jam di pergelangan tanganmu dan menghasilkan malam yang berkali-kali lebih cepat datang setelah sebelumnya matahari baru saja terbit dari timur. Dia berpamitan kepadamu meski enggan, dan kau tak bisa menggampai tangannya untuk mencegah kepergiannya sebab tak ada ikatan.
Gadismu berlalu diiringi suara azan subuh yang terdengar dari pengeras suara di masjid tak jauh dari rumahmu. Membangunkanmu dari mimpi yang membuatmu basah kuyup saking takutnya. Barusan adalah mimpi kedelapan dan tersisa tujuh mimpi lagi, batinmu.
“Aku melihat kamu di mimpiku. Kita menonton satu pertunjukkan di pasar terbuka tak jauh dari masjid. Entah dari mana adikku tahu namamu, tapi katanya dia ingin bertemu Bara Pradipta. Lucu memang, aku menonton pertunjukkan itu hanya untuk mempertemukannya denganmu,” ucap gadismu sambil tertawa kecil dengan mulut yang ditutup punggung tangan kanan.
Kau tersentak. Perasaanmu yang lihai kausembunyikan selama setahun belakangan nyatanya berbalas. Mudah saja bagimu tahu, sebab mimpi yang diceritakan gadismu hari itu juga kaumimpikan di waktu yang bersamaan. Kauingat jelas suara riuh suasana pasar dan para pedagang asongan atau kaki lima yang ikut menyaksikan pertunjukkan sembari menjajaki dagangan mereka. Gerakan anak-anak yang menerobos kerumunan sebab asyik bermain kejar-kejaran, bendera-bendera kecil yang berjajar dan mengaitkan diri di tali temali yang diikat dari satu tiang ke tiang lain, juga kau yang tengah berdiri di samping gadismu. Kauingat semuanya.
Itu adalah siang yang terik. Gadismu memakai kerudung labuh merah kembang sepatu, dengan gamis putih kecokelatan—tak jauh berbeda dengan warna kemejamu. Adik perempuannya yang seusia keponakanmu merengek minta pulang sebab mengantuk di saat orang-orang sedang bersorak sambil menepuk tangan mereka kuat-kuat. Dia tak banyak suara, langsung setengah membungkuk hingga sedetik kemudian kau menawarkan diri untuk menggendong adiknya, membawa ke ruang istirahat di samping masjid.
Untuk sebelumnya kaubisa tersenyum ketika terbangun dari tidur. Membayangkan kalau kalian adalah sepasang suami istri yang sudah dikaruniai seorang putri yang manis. Tapi tidak kali ini. Kaumulai berharap mimpi-mimpi itu tidaklah terjadi. Kautakut jika kejadian dua tahun silam merenggut kembali semua yang harusnya menjadi milikmu.
Di masjid iqomah telah berkumandang. Kau mengambil segelas air putih di meja samping ranjangmu dan menghabiskannya dengan sekali teguk. Kemudian mengelap kasar wajahmu lantas beranjak untuk membasuh diri dan menghadap Ilahi.
***
Gadismu kembali hadir dalam mimpi dan menggenapi semua risaumu. Mungkin dia keras kepala atau barangkali tak menganggapmu bicara perkara fakta, padahal kautelah susah payah menjadi orang gila untuk membuatnya mengerti bahwa mencintaimu adalah hal yang mematikan.
“Kenapa tanganmu?” tanyamu saat sedang menunggu bus bersamanya.
Dia menarik baju di bagian pergelangan tangannya, menyembunyikan sesuatu yang terlihat seperti luka bakar. Entah dia hendak menyembunyikannya dari sengat matahari atau darimu, tapi kini tangannya sudah berada di balik punggung, lenyap dari pandanganmu.
“Kamu terluka?” tanyamu lagi.
Dia hanya menjawab dengan senyuman. Membuat matanya yang sipit tak ubah seperti dua buah garis lurus. “Hanya luka biasa. Alergi karena akhir-akhir ini cuaca terus bertambah dingin,” jawabnya kemudian.
Ah, kauingat sekarang kalau gadismu sensitif terhadap cuaca dingin. Dia bisa bersin-bersin sepanjang hari atau tubuhnya dipenuhi ruam hingga tampak seperti udang rebus. Tapi kausadar satu hal. Ruamnya tak pernah begini, melebar dan melepuh seperti halnya dia terkena cipratan minyak panas atau tersenggol besi setrikaan.
“Kamu yakin?”
“Aku tidak tahu. Tadinya hanya bintik-bintik merah kecil, lalu lama kelamaan dia melebar dengan sendirinya dan terasa perih juga gatal. Bahkan begitu panas,” jawabnya sambil melirik tangannya yang masih disembunyikan dari pandanganmu.
“Mulai sekarang kita tidak perlu bertemu. Tidak usah berteman. Tidak usah menjadi siapa-siapa. Kamu juga tidak perlu mencintaiku lagi.”
Gadismu membelakakkan mata. Mungkin dia bingung dari mana kautahu tentang perasaan yang juga dipendamnya sendiri sejak pertama mengenalmu.
“Jika kamu terus mencintaiku, maka kamu akan mati.”
“Kenapa kamu begitu. Apa ada yang salah denganku?” tanya gadismu.
“Kamu tidak boleh—” kau menghentikan ucapanmu setelah sadar kalau gadismu salah paham. “Bukan … aku tidak sedang mengancammu. Tapi jika kamu mencintaiku, maka kutukan ini akan menimpamu dan membunuhmu,” jelasmu serba salah.
Dia memicingkan mata untuk kemudian tertawa berbarengan dengan suara embus angin yang sampai ke telingamu. Kautidak mengerti mengapa dia tertawa di saat genting seperti ini. Tawanya pelan, tapi mampu memecah sunyi kala tak ada satu pun kendaraan yang lewat di halte yang kalian singgahi.
“Kamu percaya dengan kutukan?”
“Awalnya tidak, tapi semuanya terjadi dua tahun lalu. Itu bukan sekadar bualan atau sugesti yang menyeret seseorang ke dalam lubang ketakutan. Dia benar-benar nyata. Kutukan itu bekerja seperti yang sudah dijabarkan kepadaku beberapa tahun lalu.”
“Tidak apa-apa. Kamu tidak perlu susah payah untuk menjelaskan lebih banyak. Aku mengerti bahwa ada seseorang lain yang kamu sukai,” jawabnya santai.
Kauingin membantah pernyataan terakhirnya, tapi kaubungkam. Pikirmu, biar saja dia beranggapan seperti itu sampai hilang cintanya perlahan serupa bunga di musim gugur. Layu, jatuh satu per satu setiap helainya, kemudian mati.
***
Kau menatap kalender di ruang kerjamu. Suara detak jam dinding yang jarum pendeknya sudah menunjukkan angka 2, serta suara cicak jantan yang sedang mengejar betina untuk diajaknya berkawin, nyatanya lenyap ketika kau menatap tanda yang baru saja kaubuat dengan spidol merah pada angka 21. Kau menghitung satu per satu tanda itu hingga mendapati angka sebelas. Ya, sebelas, dan itu artinya hanya tersisa empat mimpi.
Kau menunduk dalam-dalam, menutup wajahmu dengan kedua telapak tangan yang cukup besar, lantas mendorongnya agak keras naik ke kepala dan menjambak rambutmu sendiri. Gadismu bertambah sekarat dari hari ke hari sementara kau tak dapat mencegah kematian yang akan segera mendekapnya erat.
Kemarin, kau mengunjungi gadismu yang terbaring tak berdaya ditemani jarum infus, alat bantu pernapasan, dan berbagai kabel yang menempel di tubuhnya. Sejak pertemuan terakhir kalian di halte atau mungkin sejak di mimpi kesekian, jantungnya terus bertambah lemah. Detaknya menjadi dua kali lebih lambat dari biasanya. Sudah empat hari dia terbaring tak sadarkan diri dan anehnya dia hadir di mimpimu satu jam sebelum kautiba di ruang rawat inapnya.
“Apa kamu tidak bisa berhenti mencintaiku?”
“Jika itu kamu, apa kamu bisa?” tanyanya dengan suara saru.
Kau terkejut. “Kamu sudah sadar?”
Dia berkedip untuk menjawab pertanyaanmu. Di wajahnya yang pucat, sebaris senyum nan teduh masih bisa kaulihat. Pandangannya beralih menatap kaca jendela yang berembun dan satu dua tetes air mendarat serupa air mata yang membelah pipi.
“Jika cinta begitu mudah untuk dikendalikan, maka orang-orang tidak akan pernah menemukan arti ketulusan,” ucapnya tiba-tiba. Kautahu maksud ucapannya meski tak dikatakannya secara gamblang.
“Adakah hal yang lebih romantis dari ini? Saat dua orang yang saling mencintai dalam diam bertemu dalam satu mimpi yang sama lantaran mereka memiliki perasaan yang sama. Ah, orang-orang akan iri kepada kita karena Tuhan seperti sedang pilih kasih,” lanjutnya.
Malam ini, jarum panjang di jam dindingmu menunjuk ke angka empat. Kausengaja tidak beranjak menuju kasurmu sebab enggan bermimpi. Namun kauharus tidur, begitulah yang sekarang diucapkan hatimu dalam pertentangan sengit.
Cicak jantan masih bersuara dan mengejar betinanya yang enggan diajak berkawin. Suara detak jam masih terdengar dengan ketukan yang sama. Bahkan di luar suara kendaraan mulai terdengar satu-dua, melesat membelah jalanan lengang. Kau mengabailkan semua itu, manarik laci meja kerjamu setelah kembali memandangi angka 21 yang sempat kau silang tadi. Mengambil sebotol obat tidur yang kaukeluarkan semua isinya. Menelan butir-butir kecil itu serempak lantas meneguk segelas air yang sengaja kausiapkan sedari tadi.
***
Lima tahun telah berlalu sejak kepergianmu. Awan kelabu yang menyelimuti kota sejak semalam enggan menurunkan setetes air pun. Di pemakanam umum, gadismu menatap gundukan tanah merah tempat pembaringan terakhirmu selepas menaburkan kembang. Perasaannya masih sama, tapi mungkin sedikit berbeda. Dia tidak tahu pasti.
“Aku tidak tahu kalau memimpikan seseorang yang kamu cintai bisa menjadi hal paling mematikan,” ucapnya pelan.
Angin berembus lembut memainkan kerudung hitamnya. Di sampingnya seorang pria bertubuh kurus memandangi gadismu dengan tatapan hangat. “Aku rasa itu sesuatu yang indah. Sama seperti aku yang senang setiap kali kau datang di mimpiku.”
“Kamu pernah memimpikanku?”
“Ya, beberapa kali.”
“Kita berjalan di taman dan bunga sakura berguguran. Salah satunya jatuh di atas kepalamu, lalu aku mengambilnya dan kamu tersenyum?”
“Ya, kemarin aku memimpikan hal seperti itu.” Pria itu terdiam, menatap balik sepasang mata sipit milik gadismu. “Tapi, bagaimana kau tahu tentang mimpi itu. Aku tidak pernah menceritakannya kepada siapa pun.”
Perlahan, awan mendung mulai menurunkan setetes demi setetes air. Sore ini, gerimis resmi menemani aktivitas kota yang agak sunyi. Gadismu bergeming, kemudian dipandanginya makammu dengan tatapan sendu. (*)
Jakarta, Oktober 2018
Lily Rosella, atau biasa disapa Lily. Penulis amatir asal Jakarta yang menyukai warna-warna pastel.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata