Di Pagi yang Masih Berkabut

Di Pagi yang Masih Berkabut

Di Pagi yang Masih Berkabut

Oleh: Triandira

Tantangan Lokit 8 (Mimpi)

Terik matahari yang menyengat kulit tak mengurungkan niat Bagas untuk merebahkan diri di atas amben[1] yang salah satu sisinya sudah lapuk dimakan usia. Benda peninggalan kakeknya yang bernama Mijo itu memang sengaja diletakkan di luar rumah, dekat pohon pepaya yang sudah lama tak berbuah. Entah apa penyebabnya, tapi yang jelas bocah berperawakan kurus tersebut selalu senang berada di sana. Sudah menjadi kebiasaannya setiap hari, mencuri waktu untuk beristirahat setelah lelah beraktivitas atau sekadar mencari udara segar kala tubuh dipenuhi keringat.

Tak banyak memang yang bisa ia lakukan dengan kondisi seperti ini. Terlahir dari keluarga yang tak mampu menuntut Bagas untuk senantiasa bersabar. Jangankan memiliki kipas angin yang harganya lumayan mahal, menyisakan sedikit uang jajan yang ia punya untuk membeli es lilin saja rasanya sudah berat. Minuman menyegarkan itu memang dibandrol dengan harga murah, letak warung yang menjualnya pun tak begitu jauh dari rumah, tapi Bagas punya pemikiran sendiri. Baginya, air putih yang ibunya simpan di dalam kendi[2] sudah cukup melegakan tenggorokan tiap kali ia merasa haus. Selain itu, uang yang susah payah ditabungnya setiap hari takkan berkurang dan bisa terkumpul banyak seperti yang ia harapkan.

Akan ada saatnya, apa yang dicita-citakannya selama ini bisa terwujud. Begitulah yang Bagas yakini sejak ia pertama duduk di bangku sekolah. Semua kesusahan yang dialaminya sedari dulu, kelak bisa berganti kebahagiaan tatkala ia berhasil meraih mimpi—menjadi orang sukses yang bisa membanggakan bapak ibunya. Doa itu pun selalu diamini oleh Ratih. Perempuan yang kini tengah berdiri di depan Bagas sambil menenteng timba berisi air di tangannya.

“Le, bangun, Le!” ucap Ratih dengan nada tinggi, tapi yang dibangunkan masih terlelap dengan sebelah tangan menyangga kepala. Tak kekurangan akal, ia percikkan sedikit air ke muka anaknya.

“Oalah … dasar bocah.” Merasa geram karena Bagas tak kunjung membuka mata, Ratih mencoba cara lain. Hal yang sering ia lakukan dan terbukti manjur.

Byur!

Seketika air di dalam timba habis tak tersisa. Bagas gelagapan[3] mendapati tubuhnya yang sudah basah kuyup serupa baju yang baru dicuci. Lagi-lagi, bocah itu mendengus kesal seperti tadi saat ia membantu Bapak bekerja di pekarangan[4] milik tetangga. Banyaknya nyamuk yang menggigit kulitnya menyebabkan tubuh Bagas terasa gatal. Sial memang, sekarang pun kesabarannya kembali diuji.

Wis mari mimpine? Ayo, tangi.”[5 ]

“Bentar toh, Buk. Aku masih ngantuk,” jawabnya sambil mengucek-ngucek mata, lantas memiringkan tubuhnya menghadap ke pohon pepaya, membelakangi ibunya. Ternyata bocah itu masih ingin melanjutkan mimpinya yang terhenti sebab ulah Ratih barusan.

“Ibuk tau kamu masih ngantuk, tapi ini sudah jam berapa, Le? Ayo, bangun. Bapak pasti sudah nungguin kamu sekarang. Jadi cepat mandi terus bantuin bapakmu lagi. Kasihan kalau harus mengangkat singkong segitu banyaknya sendirian.”

Bagas menggeliat. Suara Ratih yang tak kalah berisik dari siaran radio yang sering ia dengar akhirnya tak mampu lagi diabaikan. Apalagi tiupan angin yang mengoyak dedaunan mulai membuatnya kedinginan. Tak ayal bocah bercelana pendek itu pun bergegas bangun, duduk bersedekap dengan kaki yang menggantung. Di bawahnya terdapat sendal jepit bergambar tokoh kartun yang telah memudar.

“O ya, kalau sudah mandi, isi lagi baknya ya, Le. Abis ini Ibuk mau nyuci,” lanjut Ratih sembari berjalan memasuki rumah. Hendak mengicipi masakan yang hampir matang.

“Iya,” sahut Bagas kemudian.

Teriakan Kang Ujang yang menjajakan barang dagangannya menemani langkah bocah itu yang sedikit terseok menuju sumur di belakang rumah. Di sana, seorang anak seumuran dirinya baru selesai menimba air hingga dua wadah yang ia bawa sudah terisi penuh.

Sumur yang lumayan dalam itu memang sudah biasa digunakan tetangga sekitar untuk mendapatkan air bersih. Ratih dan keluarganya pun sudah mengizinkan dan tidak merasa keberatan dengan hal tersebut. Kapan saja tetangga mereka membutuhkan air untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, maka tinggal mengambilnya saja, asal tak malas untuk menimba.

“Abis kehujanan lagi, Gas?”

Bagas memanyunkan bibirnya. “Iya. Kamu belum pernah nyoba toh, hujan-hujanan pas cuaca panas seperti ini? Enak, lho. Segeerrr ….”

“Haha, ndak pengen aku. Mending mandi sekalian, ndak cuma seger tapi juga wangi.”

“Halah, kayak yang rajin mandi aja kamu.”

“Lho, emang iya. Nih, buktinya. Aku wis ganteng, toh?” Kali ini giliran Bagas yang terpingkal. Sahabatnya yang bernama Galuh itu memang pintar membuatnya tertawa karena tak kuasa menahan geli.

“Mau tau sesuatu nggak?”

“Apa?”

“Kamu itu mau udah mandi atau belum, sama aja. Belum ganteng juga.”

“Hm, dasar. Kamu juga gitu.”

“Haha. O iya, nanti aku mau bantuin Bapak panen singkong di pekarangan. Kamu ikut ya, Luh.”

“Ada uang jajannya nggak?” goda Galuh.

“Ada, tenang aja. Makanya aku ngajak kamu. Lumayan kan, buat nambahin tabungan kita.”

“Eh, beneran? Oke, kalau gitu aku pulang dulu.”

“Jangan lama-lama. Nanti keburu—”

“Iya,” sela Galuh. Tanpa membuang waktu lagi, bocah itu bergegas pergi. Pulang ke rumahnya untuk menaruh air yang telah ia timba, sekaligus meminta izin kepada orangtuanya untuk pergi bersama Bagas.

***

2 tahun kemudian ….

Gemericik air sungai di tepi sawah menjadi hiburan gratis bagi Bagas dan Galuh yang tengah asyik menghabiskan waktu bersama. Di atas tanah yang ditutupi koran, mereka menikmati keindahan alam yang begitu menyejukkan. Cuaca kala itu memang cukup cerah meski matahari masih bersembunyi di balik awan.

Ikan-ikan kecil berenang di sepanjang sungai yang tampak jernih. Gerakannya yang lincah menggelitik hati Bagas untuk mencemplungkan tangan dan kakinya ke dalam air. Sementara itu, Galuh tengah berbaring dengan kepala berbantal tas yang ia bawa. Di dalamnya terdapat buah mangga pemberian Kang Ujang dan beberapa buku cerita yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah, termasuk buku terjemahan berjudul “Lima Sekawan” karangan Enid Blyton yang sedang ia baca.

“Jika besar nanti kamu ingin menjadi apa, Luh?” tanya Bagas tanpa mengalihkan pandangannya dari hewan bersisik yang berhasil ia tangkap.

“Guru.”

“Seperti Pak Bagiyo?”

“Hm, kelak aku juga akan mengayuh sepeda untuk pergi mengajar seperti beliau.”

Bagas tersenyum, membuat lesung pipinya semakin kentara. “Aku yakin kamu bisa meraih cita-citamu itu, Luh.”

“Semoga, Gas. Semoga aku bisa mewujudkannya. Kamu sendiri gimana?”

“Aku?” sela bocah penyayang binatang itu. “Aku ingin menjadi dokter, Luh. Tapi ….”

“Tapi apa?”

“Apa mungkin?”

Mendengar pertanyaan tersebut, sontak Galuh menghentikan aktivitasnya untuk membaca. Ditutupnya buku yang ia pegang itu, lantas duduk menjajari sahabatnya.

“Kamu abis kejedot pintu, ya?”

“Aku serius, Luh. Dengan keadaan Bapak yang sering sakit-sakitan, apa mungkin—”

“Payah,” potong Galuh. “Sejak kapan kamu jadi seperti ini? Memangnya kamu sudah lupa dengan ucapan Pak Bagiyo. Bagaimanapun keadaannya, kita semua boleh memiliki cita-cita. Iya, toh?”

“Hm.”

“O ya, gimana tabunganmu?”

“Alhamdulillah, sudah lumayan banyak. Kamu?”

“Sama, punyaku juga udah banyak. Jadi kalau sudah lulus nanti, kita akan mendaftar di sekolah yang sama, kan? Aku sudah bilang sama Bapak-Ibu, dan alhamdulillah mereka ngizinin.”

“Bagus deh, kalau gitu.”

“Janji ya, Gas. Waktu mendaftar nanti kita berangkat sama-sama.”

“Apa?”

“Aku bilang—”

“Bukan kamu, Luh. Tuh, Kang Ujang manggil kita. Ada apa, Kang?”

Sambil terengah-engah, lelaki paruh baya yang sering berjualan keliling itu datang menghampiri Bagas dan Galuh. Tak dihiraukannya lagi kaki yang menyentuh tanah meski banyak kerikil tajam yang menimbulkan rasa nyeri ketika diinjak. Baginya, mengajak pulang kedua bocah di hadapannya itu jauh lebih penting dan harus segera ia lakukan.

“Ayo, kita pulang, Le.”

“Kenapa, Kang?”

“Bapakmu, Le. Bapakmu ….”

***

Bagas segera bersiap. Semua alat tulis dan perlengkapan tes untuk mengikuti seleksi penerimaan siswa di salah satu sekolah yang ia idam-idamkan sejak lama, sudah dimasukannya ke dalam tas. Dengan memakai seragam SD bertuliskan identitas sekolahnya di salah satu sisi topi yang ia kenakan, bocah itu melangkah penuh keyakinan.

“Hati-hati ya, Le. Semoga tesnya lancar nanti,” pesan Ratih ketika anaknya berpamitan.

“Iya, Buk. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Bermodalkan doa orangtua, Bagas pergi meninggalkan rumah. Ia menyusuri jalanan desa yang masih terlihat sepi, hanya ada satu-dua orang yang berpapasan dengannya. Mereka adalah pedagang sayur yang hendak pergi ke pasar.

Letak sekolah yang lumayan jauh membuat bocah itu memutuskan untuk berangkat lebih awal, saat pagi masih diselimuti kabut tipis. Apalagi, untuk bisa sampai ke tempat tujuan ia juga harus menaiki kendaraan umum yang selalu menanti penumpang di dekat jembatan desa. Kira-kira 100 meter dari rumahnya.

“Sudah jam segini kenapa belum datang?”

Bagas tampak resah saat menyadari Galuh tak berada di tempat yang mereka janjikan, dan entah mengapa tiba-tiba ia merasa menyesal karena menuruti permintaan sahabatnya itu yang tidak mau dijemput dengan alasan tertentu. Namun akhirnya, kegelisahan yang ia rasakan sedikit berkurang ketika Udin, adik Galuh yang sekarang duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar, datang membawa pesan untuknya.

“Jadi Galuh sudah berangkat duluan?”

“Iya, Mas.”

“Ya, sudah. Kalau begitu aku pergi dulu ya, Din.”

Udin menganggukkan kepala. Selepas kepergian Bagas yang menghilang dari hadapannya, bocah itu memutar balik sepeda yang ia bawa, lantas memanggil seseorang yang tengah bersembunyi di balik pohon dengan mata berkaca-kaca.

“Makasih ya, Din.”

“Mas nggak papa?” tanya Udin mencemaskan kakaknya.

“Hm … ayo, pulang. Biar Mas yang boncengin kamu.”

“Mas.”

“Iya?”

“Kita masih bisa sekolah, kan?”

“Insyaallah. Meski Bapak sudah ndak ada, Mas janji bakal bekerja keras buat bantuin Ibuk supaya kamu bisa terus sekolah.”(*)

Keterangan:

[1] Balai-balai dari bambu yang digunakan sebagai tempat tidur atau tempat duduk.

[2] Tempat air seperti teko yang terbuat dari tanah liat.

[3] Keadaan seperti sulit bernapas; mengap-mengap

[4] Tanah sekitar rumah; halaman rumah

[5] Sudah selesai mimpinya? Ayo, bangun.

Tentang Penulis:

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: wahyutriandira1@gmail.com

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata