Pengabdian Mimpi
Oleh: Wewe
Tantangan Lokit 8 (Mimpi)
Sabar … sabarlah sayangku, takkan selamanya, kau harus bersamanya.
Karena sebenarnya, kau tahu sesungguhnya aku.
Aku yang paling kau sayang, aku yang paling cinta ….
Senandung lirih suara penyanyi manis ini membuka pagi. Mataku menatap geli, membuka hari. Mengingatkanku pada janji.
Tangis kemarin membukakanku pada jalan hari ini. Pada untaian janji yang sempat terlupa. Pada manis kehangatan yang sempat mengendap di atas namakan kenangan.
Cakrawala membuka, biru … sebiru cintaku. Cinta? Aku tersenyum sinis. “Love is bulsyit,” komentarku pada tulisan seorang kawan.
Aku yang paling kau cinta. Aku yang paling kau mau. Rahasiakan aku, sedalam-dalam cintamu. Afgan masih saja berlagu. Kenapa mesti mengingatkan jika aku bisa saja amnesia. Kulempari apa saja hingga aku terduduk lemas di pojok kamar. Sendiri.
“Aku akan menjemputmu, setelah masa pengabdianku selesai,” kata-kata itu terngiang lagi. “Ini hari pernikahanku Bang, dan aku ingin pergi bersamamu,” rajukku, pecah dalam tangis.
“Aku belum bisa membahagiakanmu, Dek. Aku cuma dokter muda yang baru lulus, belum dapat gaji.”
Aku meraung lagi, mencakari tembok yang aku tahu pasti tak bisa membalut darah di jemariku.
“Kau bohong, kau tak pernah menjemputku, bahkan sampai aku lelah menunggumu.”
Cermin dalam kamar seolah menertawaiku. Ini kali ketujuh aku memecahkannya, yang lantas kemudian suamiku menggantinya. Suami yang selama ini mengerti, aku masih menanti janji.
Suamiku, aku berlari dalam peluknya. Hangat, masih tetap hangat. Sehangat janji pernikahan kami, meski hatiku berontak, menawar kehalalan demi sebuah janji. Janji yang tak pernah usai.
Tak seindah cerita lalu, yang jalan dan jalin tanpa restu. Kuakhiri namun tak berakhir. Kuhindari hati tak ingin terpisah.
Marcel menyisipkan pesan cinta lewat nadanya kali ini. Mengantarku bangkit, menyeka air mata. Melanjutkan hidup meski ceritaku tak lagi sama.
***
Sepuluh waktu berselang. Aku tepat diambang maut. Sepersekian tahun menyimpan sakitku sendiri. Dan kau hadir bagaikan pahlawan kesiangan. Memaksaku pergi ke tempat di mana banyak orang penyakitan.
“Kau harus dioperasi, Dek.”
“Buat apa? Aku hidup atau mati tak ada bedanya,” tatapanku kosong.
“Buat mimpi kita,” matanya berkaca-kaca. Sembari kedua tangannya sibuk memasang segala peralatan selang, suntik di sana-sini. Mengambil, dan memasukkan kembali darah.
“Mimpi? Sudah sekian lama kau bohongi aku Bang, dan kau masih bicara tentang mimpi.”
Lelakiku, di sebelah ranjang diam mematung. Membiarkan aku, argumenku, egoku lantang meneriaki lelaki yang kusebut dokter, orang yang sepuluh tahun lalu meninggalkanku dalam kematian dalam hidup.
“Maaf, aku belum berhasil sampai kini, tapi aku masih sangat mencintaimu.”
Aku pasrah, hingga dua puluh satu hari. Membiarkan dua lelaki menyerangku untuk bertahan hidup dengan kasih sayangnya. Satu dengan suntikan-suntikan menyakitkan. Satunya lagi setia menemaniku, lelap di sampingku dalam tiap kegelisahan.
***
Buku-buku itu terserak. Gawai di tangan berayun ke sana kemari. DL sudah menyeru. Namun, mimpiku tak juga mau hadir.
“Bagaimana aku bisa menulis mimpi Bang, jika tidurku saja tidak pernah lelap,” aku mulai mengeluh.
“Kenapa Dek? Bukankah biasanya kamu muncul dengan twist sederhana berbalut puisi?” Wajah manis itu menawar keluhanku.
“Semua gara-gara Abang, yang tidak lagi pernah support Adek untuk menulis.”
“Hai-hai sejak kapan Adek jadi suka mencari kambing hitam?”
“Sejak Abang hadir berbulan lalu, dan sejak Abang pergi berminggu lalu.”
“Abang harus pergi Dek, tugas negara … kan Adek sudah sembuh, tidak perlu dokter lagi untuk sekadar meracik obat upin-ipin.”
“Tapi ….”
Suaraku tercekat, melihat lelaki lain tertidur di sebelahku. Manis, setia, dan apa adanya.
“Adek ingat selalu. Abang akan menepati janji, hadir di setiap Adek sakit, sekadar menggerus obat biar kita bisa melampaui mimpi bersama. Kelak, suatu hari jika janji pengabdian telah usai.”
“Adek juga harus janji, bertahan dengan apa pun, sampai Abang kembali.”
Ah, biar hidup ini berproses. Ajari aku setia dengan janji. Ajari aku setia mengabdi. Namun, ajari pula aku bermimpi.(*)
Wiwin Isti Wahyuni, penggila senja dan jingga. Sebagai pengajar di Islamic Full Day School di kota tahu Kediri. Membuat semangat berkarya semakin tinggi. Belajar tak mengenal usia adalah motto hidupnya. Hidup harus senantiasa menebar kebaikan dan selalu menjadi lebih baik adalah visinya.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata