Kemarau Merindu

Kemarau Merindu

Kemarau Merindu 

Oleh: Dyah Diputri

Terbaik ke-12 Tangntanan Lokt 7

Jemarimu masih saja mengusap lelehan bulir bening di pipi. Sesekali kau terisak dan mengelus dada. Kemudian kau ambil lagi bingkai foto yang terpajang di atas nakas untuk kau titikkan air matamu di kacanya. Pedih yang seperti apa, aku tak berani menerkanya.

“Sudah dua hari kau tak makan. Makanlah dulu,” bujukku.

Kau menepis tanganku yang hampir sampai di ubun-ubunmu. Lalu kau memalingkan muka. Sungguh, meskipun aku tak memiliki naluri wanita sepertimu, aku bisa merasakan bahwa penyesalan yang kau miliki membawa tautan kemarahan akan keadaan padaku.

“Jemputlah anakku, kumohon.” Lirih sekali kata-katamu, membuat ngilu di hatiku.

Kuletakkan sepiring nasi itu di meja dengan harapan kau akan mengecapnya meski hanya sedikit saat aku pergi bekerja. Kupegang tanganmu yang masih selalu hangat oleh pendar kasih sayang. “Biarkan saja Gladis di sana sementara waktu. Nanti—”

“Aku tak bisa jauh dari anakku, Heri! Mengertilah!” Kau berteriak. Bahkan dengan menyebut namaku secara langsung. Bukan memanggil mesra dengan sebutan “Mas” seperti biasanya. Sudah kuduga kerinduanmu pada putri kita sudah mencapai puncaknya.

“Kau yang harus mengerti, Nur! Gladis bukan lagi seorang anak kecil yang dengan senang hati menerima kasih sayang. Dia sudah dewasa.”

“Apa itu membuatnya lupa bahwa aku … aku ibunya.” Tangismu kembali luruh. Ya, Tuhan! Jika aku mampu, aku tak ingin kau membuat matamu semakin sembap dari sebelumnya, tapi aku bisa apa? Aku hanya seorang pria yang sedang dihukum Tuhan atas kesalahanku di masa lalu.

Aku bangkit dari dudukku. Untuk saat ini, berdebat denganmu hanya akan memperkeruh suasana. Aku sungguh tak ingin lebih menyakitimu dengan mengingatkan bahwa Gladis bukanlah anakmu. Hingga akhirnya kalimat itu terucap dengan sendirinya olehmu.

“Gladis memang bukan anakku. Dia hanya anakmu. Tapi, aku menyayanginya, Her. Tak ada yang lebih berharga darinya. Kenapa? Kenapa dia lupakan itu?”

Langkahku terhenti demi mendengar ucapanmu. Hatiku memanas, berdesir-desir nelangsa menyelusup dalam batin. Kau tak pernah tahu, bahwa kesedihanmu menjalar di nadiku.

Kemudian kita menangis bersama. Hanya dua sejoli yang tak pantas disebut keluarga. Kita hanyalah dua nurani yang mengiba pada satu jiwa agar ia kembali ke peraduannya. Gladis, gadis yang tujuh belas tahun tersenyum dalam belaimu telah berlari jauh. Menghindari kenyataan bahwa ibu yang dikasihinya hanyalah orang ketiga yang menyebabkan perceraian orangtuanya.

Apa itu salahmu? Tidak, Nur. Itu bukan salahmu, melainkan dosaku. Aku yang menarikmu dalam lingkaran pernikahanku dengan Desti. Aku yang memujamu di setiap detik setelah tatap mata kita. Kau selalu menghindari pria berstatus milik orang sepertiku, namun tak henti kukejar atas nama cinta. Cinta yang tak pernah kurasakan getarnya pada mantan istriku.

Jangan kau menangis, itu bukan salahmu, Nur! Bahkan saat dengan rela Desti menyerahkan Gladis pada kita kemudian pergi entah ke mana, kau tak meraung-raung ketakutan menjadi ibu tiri. Dengan senyum tulusmu kau bungkam dunia yang menyebutmu ibu asuh atasnya, karena kecup yang kau jatuhkan di keningnya setiap waktu adalah doa yang melangit.

Lalu, ketika putri kita tahu segalanya … keadaan menyudutkanmu pada liang cela. Ini sungguh tak adil! Sama sekali bibirku belum tergerak untuk membelamu, sudah kau tumpahkan genangan demi genangan kepedihan yang mengiris kalbu.

***

“Badanmu semakin kurus, Nur. Kau bahkan hanya bisa merebah.”

Ucapan maafku tersendat di tenggorokan. Sudah dua bulan Gladis tinggal bersama ibu kandungnya. Sama sekali tidak ingin bertemu denganmu. Air matamu mulai mengering, berganti tatap kosong yang menyayat hatiku. Nestapa menggerogoti kalbumu. Duhai, Nur! Tak cukupkah cintaku saja bagimu?

Kemarau berpeluk manis dengan embus angin yang biasa saja. Setiap napas merindu gerimis yang tak kunjung tiba. Semua berjalan begitu saja tanpa gigil dan hiruk pikuknya.

Tiba-tiba kau menangis lagi di pembaringan. Aku terjaga dari tidurku, mengerjap, menguap, dan mengecup tanganmu.

“Aku bermimpi putriku datang, Mas,” racaumu dalam tangis.

Untuk pertama kalinya aku pun ikut menangis. Seuntai mimpi saja bisa membuatmu melengkungkan senyum walau dalam tangis. Kecantikanmu menguar kembali dalam binar. Namun mimpi tetaplah mimpi, Nur. Bisa apa aku untuk mewujudkannya?

Setelah mimpi itu berlalu, perlahan kesehatanmu pulih. Bagai tersihir mantra, tubuhmu tegap berdiri dengan senyum semringah. Kecantikanmu yang berpadu dengan ketulusan serupa pancaran melati yang tumbuh saat hujan pertama. Kau berjalan padaku dan memelukku. Kesedihanmu atas Gladis tak terlihat lagi. Aku sungguh bahagia. Tak henti aku menatapmu yang tengah sibuk menata bingkai-bingkai foto kita.

“Kalau kau mau, besok kita jenguk Gladis. Siapa tahu hatinya mulai terbuka,” tawarku.

Kau hanya tersenyum tipis sembari memandang potret Gladis saat berusia tiga tahun. Kau berbisik pelan. Samar-samar kudengar. “Dia akan ke sini.”

Benar saja, Sayang. Firasat seorang ibu tak akan salah. Mendung membawa putrimu datang setelah sekian lama. Aku memeluknya erat tepat saat hujan mengguyur pelataran rumah kita. Bunga bougenville yang rimbun menjadi saksi kepulangannya. Walau dengan rintik air mata sesal, aku tak peduli. Kugiring ia masuk ke kamarmu. Kukira ini akan menjadi kejutan yang indah saat kau membuka mata dari tidur siangmu.

“Bangunlah, Nur. Putrimu telah tiba.”

Mengapa? Mengapa tak kau hiraukan lirihanku yang sudah tepat di sisi telingamu? Bahkan, tangis histeris Gladis tak jua membangunkanmu dari tidurmu. Hei, Nur! Bukankah detik ini yang kau tunggu berbulan-bulan lamanya? Putrimu telah tiba. Putrimu telah bersimpuh di hadapan wanita yang pernah dicelanya sebagai orang ketiga. Dia datang memohon ampun pada ibunya, katanya.

Bangunlah! Lihat hujan dan berkahnya untuk kita. Jangan terlelap, Nur! Aku mohon! Tidak cukupkah tangis yang kuhimpun untuk membangunkanmu kembali?

Malang, 8 Oktober 2018.

Dyah Diputri, Pecinta diksi yang tak sempurna.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata