Tengah Malam

Tengah Malam

Tengah Malam
Oleh: Kartika Sari

Cerpen Terbaik ke-13 Tantangan Lokit 7

Kau tersentak, menangkup mulut dengan kedua tangan bergetar. Matamu perlahan basah, kaca-kaca itu kemudian berubah menjadi butiran air mata setelah beberapa detik berdiri di ambang pintu. Tidak percaya dengan apa yang baru saja kau lihat.

“Mas!” Kau memanggilnya, mengejutkannya pula di tengah kesyahduan.

“Airin!” Laki-laki yang kau anggap sebagai suami terbaik itu pun menoleh, tersentak melihat keberadaanmu dalam kondisinya tanpa sehelai kain.

Dia berlonjak, berdiri di samping ranjang, tempat di mana ia telah bermain-main dengan wanita lain. Menyambar selimut untuk kemudian menutupi separuh tubuhnya.

“K-kapan kau pulang?” tanyanya gelagapan. “Anak-anak mana?”

Hening. Kau masih bergeming di antara kebimbangan. Sedangkan dia berulang kali membenahi selimutnya.

Bibirmu pun terkatup rapat bersama gigi yang bergemeletuk, menahan sakit yang luar biasa. Begitu juga tubuhmu, sekujurnya kaku oleh getaran hebat yang mengguncang jantung dan hati.

Sedangkan seseorang yang lain, seseorang yang suamimu nikmati aroma tubuhnya tampak malu. Wanita itu bangkit dan meraih pakaiannya yang berserakan.

“Dasar wanita jalang!” Akhirnya kau bersuara. Tanganmu kau lepas setelah menangkup mulut beberapa lama. Mengepal.

“Airin, dengarkan aku dulu,” kata ayah dari anak-anakmu. Dia sedikit maju hendak menghentikanmu yang siap menerkam mangsa.

Tapi kau sama sekali tidak peduli. Semua rasa telah hancur termasuk hati yang saat itu juga terluka. Bahkan bentuknya tak lagi utuh, berkeping-keping oleh pukulan tak kasat mata.

Matamu pun sama sekali tidak melihat ke arahnya, melainkan tertuju dengan tajam pada wanita yang sibuk dengan celana dalam.

“Percuma saja! Untuk apa kau tutup tubuhmu, kalau tanpa malu kau biarkan siapa pun menikmatinya?” Kau melangkah dengan sisa-sisa tenaga. Menghampirinya.

“Pergilah … dan rasakan apa yang aku rasakan!” Kau menyambar pakaiannya, menggenggamnya erat dan tidak membiarkan wanita itu meraihnya.

“Airin … kumohon maafkan dia. Biarkan dia pergi dengan pakaiannya. Dia tidak mungkin keluar dengan kondisi seperti itu.”

Kedua tanganmu kemudian kembali mengepal, menahan amarah dan membiarkan laki-laki itu selesai dengan ucapannya. Lalu kau bicara dengan lantang tanpa sedikit pun menoleh, untuk melihat wajahnya yang menjijikkan. “Diam kau! Aku tidak akan pernah peduli, seperti kau yang tidak memedulikanku.”

“T-tapi jangan seperti itu. Aku rela melakukan apa pun asal kau biarkan dia pergi dengan pakaiannya. Kita bisa bicara baik-baik bukan?”

Kau tertawa. “Baik-baik kamu bilang, Mas? Lalu bagaimana dengan hatiku, anak-anakmu?” Kau menyapu cairan bening yang semakin lama semakin deras.

“A-aku … “

“Pergi … kubilang pergi kau dari rumahku!” Matamu kembali tertuju pada wanita yang matanya mulai berderai, tanpa peduli dengan penjelasan suamimu walau sedikit. “Aku tidak akan kasihan, sekalipun kau menangis darah.”

“Ai … “

“Diam! Atau kau juga mau pergi, hm? Silakan, Mas.”

Hening. Hanya suara isak yang terdengar di pertengahan malam. Bahkan jangkrik enggan bersuara mendengar percekcokanmu di dalam kamar.

Tak lama kau menariknya, menjambaknya untuk kemudian membawa dia ke depan pintu. Kau memukulinya tanpa ampun walau wanita itu memohon maaf.

Pintu rumahmu pun kau banting sampai tertutup.

Detik kemudian kau terhuyung, bersujud sampai akhirnya tubuhmu tumbang. Kau tergolek di atas lantai putih yang dingin. Menangis.

“Airin … kumohon maafkan aku.”

Suara laki-laki itu kemudian kau dengar dari belakang. Tapi kau diam, kau tak peduli mengingat hati yang telah hancur.

“Bangunlah, Airin. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik. Kumohon jangan seperti ini.”

Laki-laki yang tak ingin kau lihat wajahnya lagi menyentuhmu, merangkulmu hendak membantu agar kau bangun.

“Ceraikan aku, Mas.”

Kata-kata itu pun keluar dari mulutmu. Kata-kata yang selalu kau tahan, setiap kali bertengkar itu akhirnya terlontar setelah tak sanggup menahan sakit.

“Tidak, Rin. Aku tidak mau kita bercerai. Percayalah kalau aku tidak sengaja melakukan hal ini. Aku khilaf … aku bodoh karena terlalu banyak minum.”

“Ceraikan aku, Mas.” Lagi, mulutmu terbuka hanya untuk mengucapkan hal itu.

“Tidak, Rin. Tidak.” Dia merangkulmu, memelukmu dengan erat tanpa kau lawan. Tubuhmu pun terlalu lemas untuk sekedar berontak saja.

Bahkan matamu enggan terbuka setelah sesak menguasai saluran pernapasanmu. Kau pun tergolek di atas pangkuan suamimu, tidak sadarkan diri.

***

Sebuah pernikahan seharusnya diawali dengan komitmen untuk tidak melakukan sesuatu di luar batas bukan?

Lalu kenapa, tidak sedikit kehidupan di luar sana yang mementingkan kepuasan dari pada kesetiaan?

Bukankah pernikahan itu sendiri dilakukan untuk saling melengkapi, bukan sekedar menuangkan ego semata dan mengungkit-ungkit kekurangan satu sama lain?

Kau terdiam di antara bintang-bintang sebagai teman. Bergumam, kemudian berpikir tentang kehidupan macam apa yang kini kau jalani.

Menjadi seorang ibu, sekaligus ayah bagi anak-anakmu memang tidak terlalu sulit. Tapi ada satu hal yang kerap kali menyakitimu, menyayat luka lama setelah mati-matian kau memendamnya.

Seperti malam ini, sebelum anak-anakmu tidur bersama mimpinya, kau menangis mendengar satu pertanyaan yang tak pernah bisa kau jawab setiap saat.

Lidahmu begitu kelu saat anakmu bertanya, “Di mana Ayah?”

Cianjur, 6 Oktober 2018

 

Kartika Sari, seorang emak dari Cianjur pencinta aksara. Telah menikah dan memiliki dua orang putra.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata