Kau Hanya Aku Sewa
Oleh: Eni Ernawati
Subuh tadi, hujan mengunjungi kotaku dengan rintik malu-malu. Tubuh kecil di balik selimut bermotif kupu-kupu itu masih terlelap. Kukecup keningnya lalu kutaruh selembar kertas yang kulipat menjadi dua di atas meja bundar di kamar tersebut.
Seperti biasa, setiap pagi aku menyiapkan perlengkapan sekolah untuk Alin. Sebelumnya, meletakkan seragam merah putih di meja memang bukan hal yang istimewa. Namun tidak untuk pagi ini. Semua itu terasa … ah, sulit untuk kujelaskan.
Setelah memasukkan buku gambar ke dalam tas Alin, bibirku kembali mendarat ke kening gadis berparas ayu itu. Selang beberapa detik, kudapati tetes air di kening yang aku kecup. Aku mendongak menatap langit-langit kamar. Barangkali hujan berhasil menerobos kokohnya plafon kamar yang bernuansa oranye ini. Dugaanku salah, yang membuat basah wajah Alin adalah air mataku. Sesegera mungkin aku mengusapnya penuh kasih. Kemudian melangkah meninggalkan ruangan yang terletak di samping ruang makan.
Malam ini hujan kembali datang begitu deras. Di tempat yang tidak lagi sama, aku tetap memikirkan orang yang sama—dua orang yang kuanggap malaikat. Namun … mungkin tidak sebaliknya.
“Apa kau yakin?” tanyaku di satu waktu pada pria berhidung minimalis.
“Kenapa tidak? Bukankah ini akan mewujudkan mimpimu yang sempat tertunda?” jelasnya sambil memandangku. “Oh tidak, mimpi kita berdua maksudnya.”
Mendengar ucapannya yang terakhir membuat aku terdiam. Dalam hati aku membenarkan apa yang dikatakan teman-temanku dulu. Bahwa dia menaruh perasaan padaku. Dari gelagatnya memang sudah bisa kutebak. Akan tetapi aku tidak berani menyimpulkannya sendiri. Bukan apa, hanya saja aku tidak mengizinkan sifat ke-PD-an mendiami diriku. Lagi pula Radit memang care ke semua orang.
Pernah ada yang mengatakan mengapa Radit tidak mengutarakan perasaannya padaku, itu karena aku dengannya mengikuti organisasi yang sama. Iya, di sekolah kami ada satu organisasi yang di mana antar anggotanya tidak boleh menjalin hubungan.
***
Mataku menyapu bersih kafe Adera yang berada di jalan pemuda di kota Bandung. Kafe yang cukup ramai membuat aku sedikit kesulitan untuk mencari seseorang. Ditambah kami berdua belum pernah ketemu sebelumnya.
“Dera?” tanya seorang wanita sambil mengarahkan jari telunjukknya ke arahku.
“Seli?” aku balik bertanya. Wanita itu mengangguk, kemudian dia menarik tanganku dan diajaknya ke meja paling ujung.
“Kau sudah datang dari tadi?” tanyanya basa-basi.
“Tidak, Mbak,” jawabku ramah.
“Maaf jika sudah membuatmu menunggu lama.”
“Tidak masalah.”
Kami sama-sama diam sembari menunggu pesanan datang. Tidak ada dialog sama sekali di antara kami. Perempuan yang mengenakan baju berwarna cokelat itu sibuk dengan gawainya, Sambil sesekali memandang pengunjung yang keluar masuk kafe, tampak seperti mencari seseorang.
“Mbak, maaf sebelumnya,” ucapku memecah keheningan. “Apa maksud Mbak mengajakku ke sini?”
“Sebentar,” sahutnya tanpa memandangku.
Sejurus kemudian, benda berwarna gold yang sedari tadi berhasil mencuri perhatiannya itu dihadapkannya padaku. Sebuah foto bayi bersama ayahnya kutemui di ponsel perempuan yang sedang bersamaku. Kepala seorang ayah itu menunduk memandang bayi yang digendongnya. Wajahnya yang tidak terlihat membuat aku kesulitan mengenali pria itu.
“Apa maksudnya?” tanyaku penasaran.
Seli hanya tersenyum. Salah satu jarinya menggeser foto yang diperlihatkannya padaku, hingga muncullah foto yang berhasil membuatku terperangah.
“Kenapa dengan suami dan anakku?” tanyaku dengan cepat.
“Anakmu kau bilang?” serunya lantang, diiringi tawa yang seolah meledekku. “Sejak kapan kau punya anak? enak saja kau mengakui anakku.”
Hatiku tersentak. Hal yang aku takutkan selama ini terjadi juga. Telingaku sudah tidak bisa mendengar apa yang diucapkan Seli dengan baik, cairan bening menerobos begitu saja dari sudut mataku dan terus mengalir.
Entah apa saja yang telah dijelaskannya padaku. Aku tidak bisa menangkap semuanya, yang jelas dia memintaku untuk meninggalkan putrinya—Alin. Juga suaminya, Mas Radit.
***
Alin adalah putri dari Mas Radit dan Mbak Seli. Dengan sebab yang tidak kuketahui dengan pasti, setelah kelahiran buah hatinya yang pertama mereka berdua bercerai. Kalau tidak salah kedua orangtuanya terlibat permasalahan yang cukup berat. Dan kini, setelah semuanya membaik mereka dipersilakan untuk rujuk.
Kukira Mas Radit adalah milikku seutuhnya. Nyatanya dia hanya aku sewa. Dan sebaliknya.
Eni Ernawati, Gadis pengagum senja yang berasal dari Tuban, Jatim.
Ia bisa dihubungi melalui. FB: Eni Erna Ig: @enierna__
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata