Gejolak Hati

Gejolak Hati

Gejolak Hati
Oleh: Asrunalisa

Sejenak aku merebahkan tubuhku di pembaringan. Rasanya lelah sekali setelah melewati berbagai aktivitas yang cukup menguras tenaga. Aku melirik jam yang telah menunjukkan pukul delapan malam lewat lima belas menit. Perlahan kupejamkan mata sambil menikmati waktu istirahatku.

Tiba-tiba handphone-ku berdering, seakan merebut ketenangan yang sedang kunikmati. Dengan sigap Naila meraihnya sambil berteriak, “Ayah telepon! Mama … bangun, Ayah telepon.”

Naila adalah putri pertama kami, usianya baru empat tahun tiga bulan. Dia sangat lengket dengan ayahnya. Jika suamiku sedang tidak di rumah, dia selalu menanyakan kapan ayahnya pulang.

Suamiku merupakan salah satu karyawan di sebuah tempat pengambilan minyak tanah. Setiap hari dia bekerja menimba minyak tanah dari sebuah sumur. Memang suatu pekerjaan yang berat dan melelahkan. Tapi, akhir-akhir ini dia sering terlambat pulang atau bahkan tidak pulang selama dua hari. Sikapnya pun berubah sedikit aneh. Perasaanku sering dilanda kecurigaan yang belum tentu pasti.

“Ayah sudah makan?” Terdengar suara Naila yang sedang ngobrol dengan ayahnya via telepon.

“Ayah, kapan Ayah beliin Naila sepeda. Kawan-kawan Naila semua sudah punya sepeda. Naila pengen sepeda baru, Yah,” Naila merengek.

Dengan perasaan sedikit malas, aku bangun dan segera duduk di samping Naila yang sedang asyik mengobrol dengan ayahnya. Me-loudspeaker telepon agar terdengar juga olehku.

“Iya, nanti ayah belikan, kalau uangnya sudah cukup, ya?” kata suamiku.

Naila hanya mengangguk dan tersenyum kepadaku. Sejak dua bulan yang lalu dia sudah minta dibelikan sepeda. Tapi suamiku selalu bilang belum cukup uang. Kasihan Naila, lama menunggu.

Aku juga bingung, akhir-akhir ini suamiku tidak pernah lagi membicarakan soal penghasilannya. Bahkan aku tidak tahu berapa pemasukannya sekarang. Dia hanya memberikan uang belanja kepadaku, dan itu pun kurang dari biasanya. Ketika aku minta lebih, dia selalu bilang kalau kita harus hemat, tidak boleh boros.

“Ayah kenapa jarang pulang sekarang, Naila kangen Ayah,” suara Naila mengejutkanku.

“Ayah kan, lagi kerja. Ini baru aja istirahat sebentar, langsung deh ayah telepon anak ayah yang manis ini,” jawab suamiku.

“Tapi, Ayah nggak pulang ke rumah Mama Baru, kan. Karena selama ini Ayah jarang pulang ke rumah. Naila takut …,” suara Naila sedikit parau.

“Memangnya Naila mau punya Mama Baru?” tanya suamiku.

Naila tidak menjawab pertanyaan ayahnya, dia langsung naik ke tempat tidur dan membenamkan wajahnya ke bantal. Aku mengatakan pada suamiku kalau Naila sudah mengantuk dan aku pun mengakhiri sambungan telepon.

Setelah malam itu, Naila seperti orang yang patah semangat. Dia tidak ceria seperti biasanya. Dia selalu melamun, entah apa yang dipikirkannya. Kemudian aku mengajaknya jalan-jalan ke pasar dan menemani Naila main di sebuah tempat yang disediakan khusus permainan anak. Sekarang, Naila kelihatan sedikit ceria, syukurlah.

***

Tidak terasa, hari sudah sore. Aku mengajaknya pulang. Setiba kami di rumah, ternyata suamiku sudah berada di rumah sejak tadi. Dia memandangku dengan perasaan kesal, karena waktu aku pergi tadi tidak pamit dulu padanya.

Dia mengajak Naila masuk dan memperlihatkan sesuatu. Ternyata suamiku baru saja membelikan sepeda baru untuk Naila. Aku merasa sedikit bersalah dan langsung menuju kamar.

Ayah Naila menyusulku ke kamar. Kemudian menyodorkan sebuah amplop kepadaku. Dengan hati berdebar dan tangan sedikit bergetar aku membukanya. Aku melihat isi amplop tersebut berupa surat tanah dan kwitansi pembelian rumah yang baru saja dilunaskan. Gejolak hatiku ingin menjerit menahan rasa, antara senang dan terharu. (*)

 

Asrunalisa, sang perindu senja yang selalu haus akan inspirasi. Selalu berusaha menuangkan imajinasinya dalam secangkir tulisan. FB: Asrunalisa Asnawi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata