Metamorfosis Kupu-kupu

Metamorfosis Kupu-kupu

Metamorfosis Kupu-kupu
Oleh: Evamuzy

Suatu hari di sebuah halaman sekolah sebelum jam masuk tiba.

“Jangan deket-deket dia, Nang! Bau.” Seorang ibu muda dengan garis wajah tajam meraih pundak anaknya saat sang anak sedang bermain dengan seorang teman sekolahnya.

Ditimpali oleh wanita-wanita berstatus ibu yang lainnya, “Ya benar. Jangan main sama si Rama. Udah dekil, bau, jorok, cuma anak pekerja serabutan lagi.”

Setelah puas dengan kalimat-kalimat merendah, mereka lantas melangkahkan kaki keluar gerbang sekolah tanpa ada rasa bersalah. Justru yang ada mereka berjalan angkuh, membusungkan dada. Geram aku melihatnya dari jendela kayu salah satu ruang kelas.

Awalnya aku ingin menghampiri dan menegurnya, lalu kupikir akan kucari waktu yang tepat nanti, sebab sekitar lima menitan lagi bunyi batangan besi yang dipukul akan segera terdengar, tanda kegiatan belajar dimulai.

Ialah Rama. Salah satu siswa di kelasku. Dia memang terlihat berbeda, bukan dari keluarga berada seperti yang lainnya. Dia berlatar belakang keluarga dengan ekonomi dan pendidikan yang rendah—tak sampai lulus Sekolah Dasar. Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga sementara ayahnya seorang pekerja serabutan dengan penghasilan sangat minim. Dilihat dari fisiknya dan dari sisi mana pun, ia memang tak ada sedap dipandang. Badannya kurus kering, kulitnya hitam legam, rambutnya tak rata sana sini, hidung pun jarang luput dari ingus yang belepotan serta aku sering menemukannya dengan kuku yang panjang dan penuh dengan kotoran.

“Bu Guru, nyuwun ngapunten[1]. Kami minta tolong jauhkan anak kami dari Rama di sekolah. Dia pengaruh buruk untuk anak-anak kami,” ujar kedua ibu muda yang akhirnya menemuiku sebelum aku yang memintanya terlebih dahulu.

Bahkan tak hanya ini, pandangan sinis juga didapatnya dari wajah-wajah pongah yang lain. Tak terhitung berapa pelakunya.

“Sekarang saya tanya. Apakah Rama pernah melakukan hal buruk kepada putra-putri Ibu? Memukul misalnya,” tanyaku pada mereka dengan nada setenang mungkin.

“Ti—tidak pernah memang,” jawab mereka kelagapan.

“Nah, benar, kan. Memang semua ini atas dasar ketidaksukaan ibu-ibu dengan Rama karena fisik dan latar belakang keluarganya. Bukan semata-mata pandangan objektif terhadap perilakunya.”

Selama belajar di kelasku, memang belum pernah kutemui kenakalannya yang berarti. Lalu kembali kuteruskan penjelasan kepada keduanya.

“Pendidikan bukan hanya milik guru dan siswanya saja tapi milik kita semua termasuk para orangtua. Belajar memahami semua karakter manusia menjadi salah satu tujuannya. Dan ibu-ibu sekalian ini sedang diminta untuk ikut belajar memahami karakter seorang anak bernama Rama. Saya akan mengarahkan dan memotivasi dia agar menjadi anak yang lebih baik. Dan ibu-ibu juga bertanggung jawab membantu tugas saya. Bukan malah membuatnya seperti pihak yang tak pantas memiliki kesempatan menjadi manusia lebih baik,” terangku sehati-hati mungkin agar tak menyinggung perasaan mereka.

Keduanya mendengarkan dengan wajah tertunduk lalu pamit undur diri tanpa sepatah kata pun.

***

Ini adalah minggu dengan tema belajar ‘Indahnya Ciptaan Allah’ untuk kelasku dengan siswa yang berusia sekitar enam sampai tujuh tahunan.

Kubawa seekor ulat pada sebuah ranting pohon yang diletakkan dalam sebuah kotak kaca.  “Lihat, teman-teman. Ibu Guru bawa apa hari ini?”

“Ulat, lucu.” Salah satu dari mereka berkata sambil mendekati kotak kaca. Namun tak banyak pula yang bergidik ketakutan.

“Ih, takut. Jijik.”

“Kenapa jijik? Ulat kan, juga ciptaan Allah. Dan dia juga punya manfaat, yaitu salah satunya membantu proses penyerbukan pada tumbuhan. Nah, sekarang kita akan menyimpan ulat ini beberapa hari dan akan melihat apa yang akan terjadi padanya. Anak-anak, siap?”

“Siap, Bu Guru!” jawab siswa-siswaku kompak.

“Memangnya akan jadi apa, Bu Guru?”

“Kita lihat saja nanti. Ok!”

“Ok!”

Seminggu kemudian.

“Ini adalah kotak ulat yang kita simpan minggu lalu. Mari kita amati yang terjadi padanya, Anak-anak.” Aku meletakan kotak kaca itu di hadapan papan tulis hitam kami. Beberapa siswa mendekatinya.

“Mana ulatnya, Bu Guru? Kok jadi lain,” kata salah satu dari mereka. Lalu semakin dalam menatap dengan wajah penasaran.

“Benar, kok jadi lain bentuknya. Tidak selucu ulat kemarin,” yang lain menimpali.

Dengan tersenyum, kujawab, “Iya. Ini adalah ulat yang kita simpan seminggu yang lalu. Sekarang sudah berubah menjadi seekor kepompong. Ya, anak-anak, ini namanya kepompong. Kalian ingin tahu dia akan berubah menjadi apa?”

“Iya, Bu Guru. Aku mau, aku mau.” Mereka berebut tempat untuk melihat isi kotak kaca.

“Baik. Kita akan saksikan bersama. Yang tenang dan teratur, ya.”

Mereka mengikuti perintahku. Suasana yang awalnya ramai menjadi lebih tenang. Mereka menyaksikan dengan saksama tanpa banyak suara. Beberapa bahkan ada yang mengisyaratkan perintah diam dengan menyilangkan telunjuknya di bibir kepada teman yang dirasa sering mengeluarkan suara.

Terlihat kulit kepompong terkelupas lalu keluarlah kepala seekor hewan. Pelan-pelan kepala hewan itu semakin jelas, memperlihatkan sebagian badannya yang ternyata terbungkus sayap berwarna cerah. Sepertinya cantik. Dan benar, setelah semua badannya terlepas dari kulit kepompong, terlihatlah seekor kupu-kupu dengan sayap warna-warni yang cantik. Sungguh sangatlah indah.

“Subhanallah,” bibirku mengucap keagungan-Nya.

“Wow. Cantik sekali.” Hampir semua siswa terpesona.

“Iya, benar, indah sekali.” Kubiarkan anak-anak menikmati keindahan ciptaan-Nya yang baru saja disaksikan sendiri oleh mata mereka. “Semua yang awalnya jelek masih bisa menjadi sangat indah pada saatnya nanti jika Allah sudah menghendaki. Sekarang ucapkan hamdalah sebagai rasa syukur kita, anak-anak.”

“Alhamdulillah …,” suara kompak mereka.

Lalu Rama berbicara, “Aku mau jadi kupu-kupu yang cantik juga, Bu Guru.”

Senyumku menjadi jawabannya.

***

Dan benar bahwa menilai manusia adalah hak mutlak sang Maha Pencipta.

Kuletakkan keranjang belanja di atas meja kasir setelah memastikan semua yang ada di daftar belanja sudah terbeli. Dengan menggandeng tangan kecil si bungsu, aku tunggu perempuan muda di depanku selesai menghitung jumlah belanja kami.

“Semuanya jadi tiga ratus lima puluh ribu, Ibu.”

“Iya, sebentar, Mbak.” Kubuka slim bag warna maroon yang menyelimpang di pundakku, merogoh isinya, mencari dompet abu-abu. Namun tak kunjung tanganku menemukan. Masya Allah … aku lupa memindahnya dari tas mengajar.

“Bisa saya titipkan belanjaan saya dulu, Mbak. Dompet saya ketinggalan. Saya janji untuk kembali lagi secepatnya.”

“Baik, Bu. Mohon tidak lama-lama.”

“Berapa yang harus dibayar, Mbak?” Suara seorang pria muda terdengar dari arah belakangku berdiri.

“Tiga ratus lima puluh ribu, Pak,” Mbak Kasir mengulang total belanjaan kami.

“Ini. Kembalinya ambil saja, Mbak.” Dia menyerahkan empat lembar uang ratusan ribu.

“Terima kasih, Mas. Saya boleh minta nomor rekeningnya untuk mengembalikan uang … maaf dengan Mas atau Pak siapa?”

“Saya Rama, Bu. Ibu lupa ya dengan saya?”

“Rama?”

“Iya, saya Rama. Murid di kelas Ibu dulu. Murid yang pernah berjanji akan menjadi seekor kupu-kupu.” Pria dengan kulit tak begitu putih namun bersih, berjas dongker lengkap dasi layaknya gaya pria perlente itu mengakhiri kalimatnya dengan seulas senyum. Lalu mengantarkan kami pulang dengan Honda Terios warna hitam miliknya setelah mendengar kami berangkat berbelanja tadi dengan sebuah taksi. (*)

Brebes, 14 September 2018

Evamuzy adalah seorang gadis bungsu. Seorang pendidik di tempat pendidik anak usia dini. Gadis pecinta literasi dan sepi.

Catatan:
[1] nyuwun ngapunten: mohon maaf

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata