My House

My House

My House

Oleh: Triandira

“Aku sudah kenyang.”

Malam itu, kami menghabiskan waktu dengan makan malam bersama keluarga. Bukan, bukan keluargaku, tetapi keluarga Sean—lelaki yang sedang dekat denganku. Sayangnya, selera makanku sudah hilang dan aku tidak tertarik lagi untuk menghabiskan makanan yang sudah tersaji. Sup daging merah, kalkun panggang, dan salad dengan cairan kuning di dalamnya, benar-benar membuatku mual. Aku sontak berdiri untuk meninggalkan meja makan.

“Duduk,” sela Cristopher. Aku memandangnya, sedikit terkejut oleh tegurannya itu.

“Aku bilang duduk!”

Seolah sudah kenyang, Sean meletakkan pisau dan garpunya ke atas piring. Mengusap pelan mulutnya yang sedikit belepotan, lalu melirikku yang sudah berdiri dengan tangan mengepal kuat. “Joana, kumohon. Jangan memulainya lagi.”

“Aku akan kembali ke kamar,” sahutku pelan.

“Haruskah kau melakukannya setiap hari!” bentak lelaki berjambang tipis di hadapanku, namanya Cristopher. Karena paling tua dan berpengalaman, kami jadikan ketua dan pemimpin di rumah ini. Tempat di mana kami tinggal bersama meskipun tidak sekeluarga.

Seperti biasa, ia merasa geram dengan tingkahku yang tak pernah menghabiskan makanan di atas meja lantas pergi saat makan malam belum usai.

“Ayah, bukan begitu maksud Joana.”

“Lalu?” Mendengar pembelaan Sean terhadapku, Christopher kembali meradang. “Aku sudah pernah mengatakannya, bukan? Ajari kekasihmu itu sopan santun.”

Seketika dadaku terasa sesak. Meski pertengkaran semacam ini sering terjadi, tapi tetap saja ucapannya itu menyakiti hatiku. Ya, aku mengerti betul dengan peraturan yang mereka terapkan selama ini, dan aku tidak berniat untuk melanggarnya. Tapi bukankah akan lebih memalukan lagi jika sampai aku melakukan hal konyol di hadapan mereka semua. Memuntahkan sup yang belum sempat kutelan misalnya.

Menyebalkan. Apa pun yang kulakukan tidak pernah ada benarnya di mata Cristopher. Lelaki itu bahkan tak mau mendengarkan penjelasanku dan Sean, lalu memilih untuk menghilang dari hadapan kami begitu saja.

“Biar aku yang membujuknya,” saran Nicole, anggota termuda yang sudah Sean anggap seperti adik kandungnya sendiri. Ia adalah vampire yang hidup sebatang kara sebelum tinggal bersama kami. Wajahnya cantik dengan alis tebal dan bibir merah ranum. Ia juga memiliki tubuh yang ideal, kulitnya putih dan rambutnya hitam legam. Benar-benar pesona yang menjadi idaman para wanita.

“Sudahlah. Lanjutkan kembali makan malam kalian,” Aston ikut bersuara. Lelaki berusia 24 tahun itu adalah anggota keluarga yang paling ramah dan menyenangkan. Satu hal yang paling membuatku geli, tubuh Aston tetap kurus meski ia sudah menghabiskan banyak makanan dalam sehari. Namun aku sangat menyukainya, itu karena sejak kedatanganku ke rumah ini tak pernah sekali pun ia menunjukkan sikap yang buruk. Berbeda dengan Jeanice yang sekarang tengah melirikku dengan sorot mata tajam.

Entah hanya perasaanku saja atau memang ia menyukai Sean. Tapi yang aku tahu, ia sangat kesal jika lelaki bermata biru tersebut mulai memberi perhatian lebih terhadapku.

“Luar biasa. Kau yang baru datang tapi kami yang harus beradaptasi,” sindirnya masih dengan tatapan mengintimidasi.

“Jaga ucapanmu, Jeanice!”

“Apa aku tidak salah dengar? Ayolah, Sean. Bukan aku, tapi Joana yang seharusnya—”

“Maaf,” selaku memotong pertengkaran di antara mereka, kemudian melangkah cepat menuju kamar dan merebahkan tubuh di atas kasur. Malam ini aku benar-benar merasa lelah.

***

Kemunculan bulan purnama mengingatkanku kembali pada Ibu. Wanita berhidung mancung yang sangat senang menghabiskan waktu bersamaku ketika langit mulai gelap. Terkadang kami membicarakan banyak hal sambil menikmati secangkir minuman hangat kesukaannya, atau sekadar berdiri di balkon kamar untuk mengagumi keindahan malam.

Ah, aku sangat merindukannya. Mungkin Sean juga merasakan hal yang sama karena saat ini ia tengah termenung sendirian di halaman belakang rumah. Itu adalah tempat favoritnya. Setiap kali merasa rindu terhadap seseorang, ia pasti berada di sana. Duduk di pohon dengan daun yang rindang.

“Sebagus itukah sampai kau tak ingin turun?” sapaku membuyarkan lamunannya.

Sean terkekeh. Menoleh ke bawah dengan tangan yang mengayun pelan. “Kau ingin mencobanya? Percayalah, pemandangan dari atas sini sangat indah.”

“Seperti sup daging merah?”

Kami terpingkal, dan tak lama kemudian ia turun. Mendekatiku yang sibuk merapikan rambut setelah tertiup angin.

“Kau masih tidak menyukainya, ya?” tanya Sean perihal makanan yang kusebutkan tadi. Lebih tepatnya menu yang paling ia suka. Aku yakin, jika Nicole memasaknya setiap hari pun, lelaki itu tidak akan merasa bosan. Terlebih bila ada tambahan tulang di dalamnya. Jangan heran. Sebagai vampire, kami memang mengonsumsi darah, tak terkecuali dengan diriku. Hanya saja makanan yang mereka sajikan tak selezat buatan Ibu, salah satu alasan yang membuatku tidak betah tinggal bersama mereka. Tapi aku tidak punya pilihan selain bertahan.

Cristopher juga pernah bilang bahwa tidak ada tempat lain yang lebih aman untuk ditinggali. Lagi pula keadaanku yang sekarang sudah jauh berbeda. Ya, itu benar. Bagaimanapun juga, Ayah dan Ibu tidak akan pernah mengizinkanku tinggal bersama mereka lagi. Seperti dulu, ketika pulang dan baru menginap beberapa hari saja, aku sudah diusir.

Keluargaku dan Cristopher memang saling bermusuhan. Parahnya lagi, Ayah mengira bahwa aku telah memutuskan untuk pergi dari rumah hanya karena Sean pernah mengajakku ke suatu tempat. Malam hari ketika ia mengantarku pulang, Ayah langsung naik pitam. Lelaki penyuka bisbol itu mengusir kami, tapi syukurlah Sean mengajakku kembali ke rumahnya. Dan di sinilah kami sekarang. Tinggal di rumah tua berukuran besar yang berada di tengah hutan.

“Maaf. Kemarin aku sudah menyusahkanmu,” sahutku kemudian.

Sean menyunggingkan senyum, dan itu semakin membuatnya terlihat tampan. “Tidak masalah. Aku mengerti dengan hal itu. Tapi Joana, kau tidak bisa seperti ini terus.”

“Maksudmu aku harus—”

“Ya,” selanya cepat. Mengusap pipiku yang tirus sambil menatapku lamat-lamat. “Sekarang kamilah keluargamu, jadi akan lebih baik jika kau mulai membiasakan diri dengan semua hal yang ada di sini.”

“En—entahlah. Apa aku bisa melakukannya?”

“Tentu saja. Lagi pula …,” ia menghentikan ucapannya sejenak. “Ada aku yang akan membantumu.”

Sean maju selangkah hingga jarak di antara kami semakin kecil, dan itu sukses membuatku salah tingkah. Sialnya lagi, ketika aku hendak membuka mulut, ia telah lebih dulu mengejutkanku.

“Aku menyayangimu,” bisiknya usai mengecup lembut keningku.

***

“Siapa mereka?” tanya Cristopher dengan wajah memerah. “Jawab aku, Joana!”

“Aku tidak tahu.”

“Bohong!”

“Tidak. Mana mungkin aku membohongi kalian.”

“Benarkah?” sela Jeanice. Sebagai orang yang sudah lama menantikan hal ini, tentu saja ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mengusirku. Apalagi setelah mengetahui alasan Cristopher yang tidak bisa lagi menahan amarah.

Rumah yang kami tinggali didatangi oleh sekelompok orang tak dikenal. Mereka membawa benda-benda tajam yang biasa digunakan untuk merobohkan bangunan. Setelah bertahun-tahun Sean dan keluarganya menempati rumah ini, tentu saja mereka tidak akan rela jika ada yang ingin menghancurkannya.

“Kita semua tahu, Joana.” Aku menelan ludah ketika Cristopher kembali mendekat dan menatapku sinis. Raut wajahnya menyeramkan, apalagi saat ia menyeringai dan membuat gigi taringnya terlihat. “Cuma kau yang sering keluar rumah seorang diri.”

“I—iya, itu benar. Tapi aku tidak melakukan apa-apa. Aku bahkan tidak mengenal siapa mereka. Percayalah, aku keluar hanya untuk berjalan-jalan,” jawabku. Entah karena dingin malam atau karena panik, suaraku terkesan terbata-bata.

“Cukup!” bentak Cristopher sekali lagi, “sekarang kita tidak punya banyak waktu. Jadi kuharap kalian semua bisa bekerja sama.”

Aston dan Nicole mengangguk serempak. “Aku akan mengacaukan alatnya,” balas salah satu dari mereka.

“Kalau begitu biar aku yang mengurus orang-orang itu,” timpal Jeanice.

“Bagus. Dan kau Sean, bantu Ayah menghalau mereka nanti. Jangan menunggu, dan begitu ada kesempatan kita langsung bertindak.”

Semuanya setuju. Sejurus kemudian, mereka bertiga pergi. Tinggal Aston dan Sean yang kini tengah bersiap-siap untuk menjalankan perintah Cristopher. Rupanya mereka sudah tidak sabar untuk segera beraksi, tak seperti diriku yang masih tertegun di samping kursi.

“Kau percaya padaku, bukan?” tanyaku pada Sean begitu ia berada di dekatku.

“Ya, tapi dengar. Tetaplah di ruangan ini sampai kami kembali. Kau mengerti?”

Aku mengangguk cepat. Sebelum pergi, Aston sempat menoleh ke arahku dengan seulas senyum yang tersungging di bibir. Aku tahu, ia juga memercayaiku. Sama seperti Sean.

***

“Aston …?” Jantungku berdebar cepat begitu melihat lelaki itu sudah terkulai lemas menahan sakit. “A—apa yang terjadi? Lalu Sean, di mana dia?” cecarku yang sudah tak sabar mendengar penjelasannya.

“Jeanice berhasil mengatasi orang-orang itu, tapi sayangnya salah satu dari mereka memiliki mantra yang sulit untuk kami hindari.” Aston meraih pelan jemariku. “Aku tahu ini sangat berbahaya, tapi … bisakah kau membantuku, Joana?”

Tanpa berpikir banyak, aku langsung mengiyakan permintaannya. “Katakan. Apa yang harus kulakukan?”

“Lindungi Sean. Meski kau belum pernah mencobanya, tapi aku yakin kau bisa. Dia pernah melatihmu, bukan?”

Aku mengangguk cepat, dan setelah membaringkan tubuh Aston di atas ranjang, aku segera keluar. Menghampiri Sean dan keluarganya yang tengah berjuang mempertahankan wilayah mereka.

Sejak sore tadi, orang-orang di luar sana sudah menjalankan rencananya. Pagar besi dan teras rumah pun sudah mereka rusak dengan peralatan berat yang ada. Rerumputan yang tadinya memenuhi halaman sudah tak terlihat lagi. Hanya tersisa sebuah pohon besar yang gagal mereka tebang.

“Joana …,” panggil Sean dengan suara lemah. Wajahnya sangat pucat, dan bola matanya memerah.

Melihat kondisinya yang tak jauh berbeda dengan Aston, semakin membuatku cemas. “Kau tidak apa-apa?”

Sean tak menjawab. Ia hanya mengangguk sambil menunjuk ke arah di mana Jeanice dan Cristopher tengah berada. Mereka berdua akhirnya berhasil menghadapi dua orang berpakaian hitam yang mengenakan sesuatu di lehernya. Kalung dengan sebuah simbol yang membuat tubuh kami melemah seketika jika melihatnya.

“Masih ada seseorang lagi yang belum kita kalahkan,” ucap Jeanice dengan napas memburu.  “Bagaimana ini? Aku dan Cristopher sudah kehabisan tenaga.”

Tak ingin mengulur waktu, aku langsung melesat pergi. Namun baru saja melangkahkan kaki, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Wush!

Tubuhku terpental tak berdaya. Di saat yang bersamaan, dadaku rasanya terbakar hebat. Aku sempat melihatnya, cahaya putih yang keluar dari benda di tangan seseorang menjadi penyebabnya.

“Sial!” umpatku sambil berusaha berdiri. “Rasakan ini!”

“Arrgghh!!!” Lelaki berambut cepak itu tersungkur. Ia menjerit kesakitan usai aku menghentak keras lantai, disusul angin yang berembus kencang hingga menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang. Tapi ternyata usahaku tersebut tak membuatnya menyerah. Ia bangkit dan menyerangku dengan kekuatan yang lebih besar. Tak ingin kalah, aku mencoba sekali lagi.

“Hanya itu kemampuanmu, hah?” Kucekik leher lelaki itu hingga tubuhnya melayang ke udara. Tepat di saat aku mengerang keras dengan mata memerah.

“Tidaaakkk!” teriak Sean usai tubuhku membentur keras dinding. Tadi, pandanganku terhalang oleh jimat yang diangkat oleh pendeta itu. Hal yang baru kusadari setelah terbaring lemah dengan luka di sekujur tubuh. “Joana, kau masih mendengarku?”

Genggaman tangan Sean terlepas sebelum aku berhasil mengucapkan sesuatu.

“Hentikan, Sean! Apa kau tidak melihatnya? Kita akan mengurusnya nanti, tapi sekarang sudah saatnya untuk menyatukan tenaga.”

“Tapi Joana ….”

“Ayah mohon, Sean.”

Masih kudengar samar-samar perdebatan di antara mereka. Cristopher, entah mengapa aku sangat ingin membantunya. Tapi aku tak berdaya, bahkan hanya untuk berdiri tanpa bantuan mereka. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah menyaksikan perkelahian yang semakin sengit di rumah ini. Merasakan angin yang kembali berembus namun lebih kencang dari sebelumnya. Putaran udara itu pun semakin cepat bergerak seiring tangan Jeanice, Cristopher dan Sean yang berpegangan erat. Dan dalam hitungan detik tubuh pendeta itu langsung terdorong ke belakang.

Wush!

Aku merasakan sensasi yang luar biasa. Tubuhku seolah melayang setelah terhempas angin yang begitu besar. Bahkan untuk beberapa saat aku tak bisa mendengar apa-apa. Persis seperti yang pernah Nicole alami di tempat lain. Gadis yang semasa hidupnya telah banyak menghadapi kejadian buruk seorang diri.

“Joana, kau tidak apa-apa?”

Perlahan kubuka mata dan mendapati Sean yang sudah berjongkok di dekatku.

“Ya,” balasku sembari memeluk tubuhnya dan menatap punggung lelaki yang sedang lari terbirit-birit. Pun orang-orang yang telah Jeanice lawan tadi. Mereka meninggalkan rumah berperabotan mewah yang telah belasan tahun Sean tempati bersama keluarganya.

“Terima kasih, Joana.” Jeanice tersenyum samar dan aku membalasnya. “Kau sudah membantu kami.”

Aku menganggukkan kepala. Tak lama kemudian, ia membawa Cristopher masuk ke kamarnya setelah lelaki yang Sean anggap sebagai ayahnya itu mengucapkan terima kasih terhadapku. Sekarang tinggal kami berdua di ruangan dekat teras. Sementara di luar sana, halaman depan rumah telah diguyur gerimis.

“Syukurlah semuanya sudah berakhir. Tapi kau tenang saja, Joana. Aku dan Ayah pasti akan mencari tahu siapa dalang di balik semua ini. Lihat saja nanti, kami tidak akan pernah mengampuninya,” ujar Sean panjang lebar sambil membantuku berdiri.

Aku menggelengkan kepala, tak menyetujui ucapan Sean yang ingin membalas dendam itu. Bagiku, cukuplah nyawa mereka semua terselamatkan. Keluarga Sean … juga keluargaku.(*)

Tentang Penulis:

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: triwahyuu01@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata