Sebuah Rasa

Sebuah Rasa

Sebuah Rasa
Nama : Helen AF
Cerpen Terpilih ke-5 pada #Tantangan_Lokit_6

Kata orang, cinta pertama itu sulit dilupakan. Aku tidak percaya. Aku beranggapan bahwa cinta pertama hanyalah sejenis cinta monyet yang akan menghilang terhapus waktu. Akan lenyap tanpa sisa, dan tidak akan merasuk ke dalam ingatan. Tentu saja aku mengira seperti itulah definisi dari cinta pertama, sebelum akhirnya aku dipertemukan dengan dirinya.

“Boleh aku duduk di sini?”

Aku yang sedang fokus membaca novel kesukaanku pun langsung mendongak tatkala mendengar suara itu. Belum sempat aku bersuara, namun Arka, cowok paling tampan di kelasku, langsung menjatuhkan ransel hitamnya tepat di kursi sebelahku. Tanpa banyak kata dia mengeluarkan buku tulis dan sibuk menulis sesuatu di sana.

“Kamu … ngapain?” aku bertanya pelan. Sebab aku bingung, kenapa tiba-tiba dia memilih duduk di sampingku.

“Amel nggak masuk, kan? Aku mau duduk di sini nggak boleh?”

“Eh? Boleh, kok,” sahutku cepat, takut menyinggung. Aku yang dikenal sebagai cewek pendiam di kelas sering sekali duduk sendirian karena Amel, teman sebangkuku, suka membolos. Jadi, rasanya aneh saja karena entah kenapa, cowok ini tiba-tiba ingin duduk di sebelahku.

Arka adalah jenis cowok pemeran utama dalam novel yang kubaca. Selain tampan, dia anak orang kaya dan kepribadiannya sungguh ramah. Dia mudah bergaul dan mempunyai banyak teman. Semua orang di kelas ini sangat menyukai dan sering bercanda bersamanya, kecuali aku. Jadi, jangan tanyakan bagaimana canggungnya aku sekarang.

Namun, meskipun dia mengagumkan, aku sama sekali tidak tertarik. Karena dari segi mana pun, aku tidak akan bisa menyamai posisinya. Aku hanya menganggap dia sebatas teman sekelas, tidak lebih. Tidak sebelum dia melakukan hal yang membuatku berdebar.

Seperti hari itu, kami ditugaskan untuk membuat karya seni dari gulungan koran. Kami diberi waktu dua minggu. Di minggu pertama, saat guru itu masuk kelas, dia menyuruh kami mengangkat tangan dari bangku masing-masing seraya menunjukkan hasil kerja kami.

Aku ingat sekali, kala itu aku baru menyelesaikan beberapa gulungan. Tapi, saat merogoh isi tas sampai kubolak-balik, punyaku tidak ada. Aku baru sadar bahwa milikku tertinggal di rumah. Di saat genting seperti ini, aku tidak mampu berkata-kata dan bersiap mendapat hukuman karena aku tahu guru itu tidak ingin mendengar alasan. Namun, yang tak kusangka-sangka, Arka memberikan separuh hasil gulungannya kepadaku.

“Pakai punyaku, cepat angkat tangan,” katanya.

Aku mengerjap dan mengikuti ucapannya. Dalam diam aku tersenyum, dan hati kecilku tersentuh.

Bermula dari sanalah aku mulai merasa tertarik kepadanya. Rasa itu semakin besar di saat dia tetap duduk di sampingku esok hari dan seterusnya, saat Amel tidak masuk sekolah. Jika Amel masuk pun dia mundur diam-diam, kembali ke tempat duduknya sambil memandangku dari kejauhan. Sungguh, aku berdebar karena tingkah lakunya.

Pernah aku merasa bosan mendengar penjelasan guru sejarah di depan kelas. Jadi, aku meletakkan kepalaku di meja dan memandang ke samping, tepat ke arahnya. Di saat itu Arka juga melakukan hal yang sama. Dia juga menatapku dari sana. Posisi tempat dudukku di sudut kiri dan dia di sudut kanan membuat kami leluasa saling memperhatikan. Terkadang dia tersenyum, dan pernah juga raut wajahnya terlihat serius. Demi apa pun, aku mengakui bahwa dia tampan.

Lalu, kami bersikap seakan tak pernah dekat seperti sedia kala. Aku tidak tahu apa yang salah dan aku tidak ingin dibilang sok akrab. Jadi, aku diam tak berani menyapa. Dia juga tak pernah lagi duduk di sebelahku, terlebih karena Amel mulai rajin pergi sekolah.

Pada kenaikan kelas, kami berpisah. Dia berada di kelas yang posisinya jauh dari kelasku. Aku sempat merasa sedih pada saat itu, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku menerima dan membiarkan satu tahun kulewati tanpa kenangan berarti bersamanya. Nyatanya aku baik-baik saja, dan kupikir rasa ini hanya sebatas kagum belaka.

Di tahun ketiga, kami juga tidak dipertemukan. Namun kelas kami bersebelahan. Aku tahu karena pada saat aku hendak menuju ruang kelas untuk memilih bangku, dia bersandar di depan kelasnya. Saat itu dia menatapku lama sampai aku gugup setengah mati dibuatnya.

“Tetangga?”

Aku mengangguk dan buru-buru berjalan melewatinya. Aku yang mengira perasaanku hanya sebatas kagum ternyata salah. Karena, rasa itu kembali. Perasaan ingin terus melihatnya, dan merasa sedih jika dia tidak ada.

Aku ingat saat sedang pelajaran matematika, dia melewati kelasku bersama rombongannya. Mereka baru saja selesai berolahraga dan hendak berganti baju. Di saat melewati kelasku, dia menatapku dari balik jendela. Pandangannya berbeda, dan bolehkah aku berharap bahwa dia mempunyai perasaan yang sama?

Kami memang tidak sering bertegur sapa. Jika berpapasan, aku memilih membuang muka dan sebisa mungkin menyembunyikan rasa. Aku tidak siap jika dia tahu perasaanku. Aku akan merasa malu, dan aku yakin dia pasti akan merasa risih denganku.

Waktu terus berjalan dan tinggal menghitung hari untuk merayakan kelulusan. Aku sempat berharap waktu akan berjalan lama, tapi aku salah. Cepat atau lambat, kami akan berpisah. Kami akan menempuh jalan hidup masing-masing dan tidak akan menemui satu sama lain.

Saat itu aku gelisah. Rasanya tidak kuat karena memendam perasaan bukanlah hal yang mudah. Teman sebangkuku di bangku terakhir sekolah, Ayu, sudah memberi saran terbaiknya. Dia mengusulkan bahwa aku harus mengungkapkan isi hatiku sebelum semuanya terlambat.

“Kamu mau menyimpan perasaan itu seumur hidup tanpa dia tahu?” Ayu berkata gemas. “Ayolah, Hel, nggak ada yang tahu kapan kalian bisa ketemu lagi setelah ini. Aku menyarankan ini agar kamu tidak menyesal.”

“Aku nggak bisa, Yu. Aku malu,” sahutku.

“Ya sudah, kalau gitu kirim surat aja kayak di film-film. Nanti aku bantu naruh di laci mejanya,” sarannya kemudian. Aku berpikir sejenak kemudian mengangguk.

Jadi, pada malam itu, aku berkali-kali merangkai kata. Menghabiskan puluhan lembar kertas untuk mengutarakan isi hati. Tulis, buang, tulis, buang lagi, dan seterusnya hingga aku tertidur karena mengantuk.

Aku tidak bisa melakukannya. Aku tak memiliki keberanian sebesar itu. Meskipun hanya sebatas surat, aku tetap tak berani. Jadi, kuputuskan untuk tetap menyimpan perasaan ini sendirian. Biar saja hanya aku yang tahu dan dia tidak. Ayu tentunya merasa kesal kepadaku, tapi tidak berkata apa-apa. Dia menghargai keputusanku.

“Apa kamu akan baik-baik saja?”

“Iya. Ini keputusanku, Yu,” ujarku mantap.

Dan beginilah akhirnya. Aku menjauhi Arka dan berusaha agar tak bertemu dengannya. Di sisa akhir masa sekolah hanya aku gunakan untuk menghapus semua ingatan tentangnya. Kalau hendak bertemu dengan dia pun aku akan cepat-cepat lari dan sembunyi. Pengecut, akulah orangnya.

Lalu hari itu datang juga. Hari di mana kami dinyatakan lulus semua. Begitu bahagianya hingga kami berpesta dengan cara mewarnai seragam sekolah. Mengambil foto bersama kawan-kawan dan membuat kenangan terindah.

Seragamku sudah penuh warna dan coretan di sana-sini. Aku juga sudah berpelukan dengan Ayu dan Amel. Hari yang sungguh indah. Tapi aku merasa ada yang kurang karena belum melihat dia.

Aku berjalan sendirian di koridor sekolah. Menatap para murid yang sibuk mengukir momen paling berharga. Tanpa sadar aku tersenyum. Namun senyum itu tidak bertahan lama karena mataku menangkap sosok dia di ujung sana.

Kami bersitatap dan aku mematung seperti orang bodoh. Aku tidak bergerak dari posisiku hingga dia berjalan mendekat. Setelah berhadapan, dia menyapaku dan percakapan kami dihiasi rasa canggung.

“Kamu jarang terlihat,” katanya. Aku diam saja. Mataku malah sibuk melihat seragam penuh coretan yang dikenakannya. Wajah tampan itu pun juga ternoda oleh spidol warna.

“Begitulah,” jawabku. Tidak tahu lagi harus menjawab apa.

“Nanti kamu kuliah atau kerja?” dia bertanya. Pertanyaannya itu sukses menarik perhatianku.

“Tidak tahu,” Aku menggeleng. “Dan kamu? Kudengar kamu ingin kuliah? Di mana? Aku harap kamu bisa mencapai impianmu, Arka.”

Dia terdiam sesaat sebelum mengangguk. “Makasih,” katanya.

Kami larut dalam keheningan. Aku ingin sekali mengatakan banyak hal dan sempat terbesit dalam pikiran untuk mengungkapkan. Tapi buru-buru aku menepisnya karena tidak ingin mempermalukan diriku sendiri.

“Kamu punya spidol?” Tiba-tiba dia bertanya. Sontak saja aku mengangguk. Kukeluarkan spidol merah di saku rokku dan kuberikan kepadanya.

Dia menerima dan maju beberapa langkah. Tanpa kusangka dia membubuhkan tanda tangannya di seragamku pada bagian bahu yang masih bersih dari coretan.

“Kenang-kenangan,” ucapnya. Lalu memberikan spidol itu kepadaku. “Kamu mau coret baju aku silakan.”

Aku sempat ragu. Tapi inilah saatnya. Setidaknya aku harus meninggalkan kenangan untuknya. Jadi aku beringsut maju, menandatangani seragamnya di bagian dada. Hanya tanda tangan dan sebuah inisial namaku.

“Selamat hari kelulusan, Ar,” kataku. Dia memberikan senyuman yang tidak kutahu maksudnya.

“Selamat hari kelulusan juga.”

Aku diam. Dia juga diam.

“Kamu tidak ingin mengatakan sesuatu?” dia bertanya. Aku mendongak dan melempar tatapan bingung. Aku melihat dengan jelas bahwa dia hendak berucap sesuatu, namun diurungkan.

“Lupakan saja. Sampai jumpa, Hel.”

“Iya.”

Kemudian dia berjalan melewatiku. Menjauh, hanya punggungnya saja yang tertangkap oleh mata, dan inilah akhirnya. Begini akhir dari kisah aku dan dia.

Aku menatap punggungnya dari kejauhan. Memperhatikan seragamnya yang dipenuhi coretan tak beraturan. Tapi kalau aku tidak salah lihat, ada simbol hati yang tergambar besar dengan huruf I di atasnya dan U di bagian bawah.

I love you too,” gumamku sambil tersenyum sedih. Karena beginilah akhirnya, aku hanya bisa berkata tanpa dia bisa mendengar. Karena aku hanya seorang pecundang yang takut menghadapi kenyataan. Rasa sesak menghimpit dada. Sakitnya begitu kentara. Tapi ini pilihanku. Sudah pasti sakit ini menghujamku. Karena akulah yang memilih memendam dan menyimpan rasa sendirian.

***

Benar kata Ayu, dipertemukan lagi tidaklah mudah. Karena sampai sekarang, aku tidak lagi bertemu dengannya. Jangankan melihat, mendengar kabarnya pun tidak. Meskipun begitu, aku berharap dia akan tetap baik-baik saja di mana pun dia berada.

Aku sempat merasa sedih karena perasaanku tak tersampaikan. Tapi aku tidak menyesal. Aku senang karena berkat dia aku merasakan cinta pertama. Karena dia pula aku sadar, bahwa tidak semua cinta harus diungkapkan. Kepadamu, cinta pertama, mari kita berbahagia. (*)

Helen AF, pecinta drama korea yang suka menyanyi. Lahir di kota Palembang pada tahun 1999. FB: Helen AF

Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata